Skip to main content

Posts

Muharam, Penetapan Kalender Hijriyah

HARI itu Abu Musa al-Asy'ari mengusulkan kepada Umar bin Khattab untuk membuat kalender yang akan digunakan umat Islam. Amirul Mukminin kemudian mengajak para sahabat berdiskusi menentukan kalender tersebut. Setelah berdiskusi, Umar menetapkan tahun pertama penanggalan berdasarkan pada peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekah ke Madinah. Meski ada yang mengusulkan ditetapkan saat tahun kelahiran Nabi saja. Ada pula yang mengatakan sebaiknya ditetapkan pada tahun Muhammad diangkat jadi Nabi. Ada banyak lagi peristiwa besar seperti kemenangan gilang gemilang pada saat Perang Badar. Juga perjalanan agung Nabi, Isra Mi'raj. Tapi sepertinya peristiwa Hijrah amat bermakna di dalam dada Umar. Baginya, hijrah adalah titik yang paling menentukan bagi perjalanan ajaran-ajaran Tuhan yang dibawakan Muhammad. Ada banyak rasa sakit, tetesan darah, kucuran keringat, derasnya air mata dan kesakitan umat Islam. Tapi semuanya menjadi berbeda saat mereka berbondong-bondong hijr
Recent posts

Cendrawasih

PEDAGANG Melayu menyebutnya "Manuk Dewata" atau Burung Tuhan. Orang Portugis menyebutnya Passaros de Col atau Burung Matahari. Karena dia hidup di udara, menari-nari menuju matahari, dan menginjakkan kakinya setelah mati. Orang Belanda menyebutnya dalam bahasa latin, Avis Paradiseus, atau dalam bahasa Inggris, Paradise Bird (burung surga). Tapi cendrawasih tak hanya satu jenis. Dia beraneka spesies. John van Linschoten menamainya satu satu pada medio 1960. Tapi dari semua jenis yang dia ketahui tak ada yang melihat burung ini dalam keadaan hidup. Orang-orang Eropa mengetahuinya dalam bentuk sudah mati, seringkali dalam bentuk yang sudah tidak utuh. Lambat laun orang-orang memburunya. Menjual dan memperdagangkannya. Dijual dalam keadaan mati. Hingga burung yang indah ini dinamai para pedagang dengan nama yang aneh, Burong Coati, artinya burung mati. Karena orang melihatnya dalam keadaan sudah mati. Diawetkan, diperjualbelikan, untuk dinikmati ke

Tanda Berakhirnya Malam

SEORANG guru spiritual bertanya kepada murid-muridnya bagaimana mereka dapat membedakan kapan malam telah berakhir dan hari yang baru telah dimulai. Seorang murid menjawab, "ketika Anda melihat seekor binatang dari kejauhan dan dapat membedakan apakah binatang itu seokor sapi atau kerbau." "Bukan itu jawabannya," kata seorang guru. Murid yang lain menjawab, "ketika Anda melihat pohon dari kejauhan dan dapat membedakan apakah pohon itu pohon kelapa atau pohon pinang." "Salah lagi," kata sang guru. "Kalau begitu, apa jawabannya?" tanya salah seorang murid yang lain. "Ketika Anda menatap wajah setiap laki-laki dan mengenalinya sebagai saudaramu; ketika Anda menatap wajah setiap perempuan dan mengenalinya sebagai saudarimu. Kalau Anda tidak dapat melakukan hal ini, entah hari menunjukkan pukul berapa menurut perhitungan matahari, hari masih tetaplah malam." Hari akan disinari penuh cahaya tatkala

Perlakuan yang Baik untuk Semua Orang, Belajar dari Raja Habasyah

PADA awal kerasulan, sekitar tahun 615, kaum muslim banyak yang berhijrah ke Habasyah atau Abyssinia (sekarang Ethiopia). Mereka berhijrah karena perlakuan yang buruk dari masyarakat Mekah kepada Mereka. Habasyah pun menjadi pilihan karena Nabi Muhammad SAW menyarankannya. Pemimpin Habasyah, Raja Negus (Najasyi) dikenal sebagai orang yang menerima tamu dan menghormati semua pemeluk agama. Sebanyak 12 muslim laki-laki dan empat perempuan yang dipimpin sepupu Nabi, Ja’far bin Abi Thalib disambut dan diperlakukan dengan baik oleh penguasa yang beragama Kristen itu. Mereka mengendap-endap meninggalkan Kota Mekah dan naik perahu, menyeberangi lautan untuk menuju Kota Axum, di Negara Habasyah, benua Afrika. Kaum musyrik Mekah meminta agar mereka dipulangkan, tetapi raja menolaknya. Dia melindungi segenap kaum muslim yang berada di sana. Tiga bulan berikutnya, 80 orang sahabat kembali datang ke Habasyah, negeri asal sahabat Nabi yang terkenal, Bilal bin Rabah. Kaum musyrik Quraisy

Sini, di Luar Hujan

HUJAN sudah turun. Sini, masuk ke dalam. Lekas meneduh, biar tidak kebasahan. Kalau kamu basah dan masuk angin, toh aku juga yang sedih. Tapi kau terlihat enggan. Air hujan adalah berkah, katamu. Dan dalam hujan, bersemayam rindu yang tak lekang oleh waktu. "Dalam hujan, aku bisa mengingatnya," katamu, pagi itu. Bulir-bulir hujan jatuh ke atas tanah yang telah becek. Menjelma lumpur. Sebagian kecil pekarangan samping rumah sudah mulai tergenang air. Dan pola-pola melingkar sahut menyahut mengiringi jatuhnya tetesan air. Tetesan-tetesan itu seperti penari saman, membentuk pola berulang yang atraktif. Dari setitik kemudian kian membesar, lalu hilang. Sebelum datang tetesan berikutnya. Seperti rinduku padanya. Awalnya kecil, lalu membesar, sebelum akhirnya hilang dan menyatu. Lalu datang lagi rindu berikutnya. Sini, Nak. Di luar hujan. Aku akan sedih kalau kau kedinginan. Tapi kau bilang, hanya dingin yang mampu mempertemukan aku dan kamu. Lewa

Lalu Kenapa Kalau Nabi Tak Bisa Baca Tulis?

SAYA percaya Nabi itu ummi, dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak bisa membaca dan menulis. Yang saya tidak percaya adalah logika kita di zaman ini yang meyakani bahwa "buta aksara" itu identik dengan bodoh dan terbelakang. Buta aksara inilah justru yang menjadi kelebihan beliau. Nabi tidak terjebak logika teks, gramatika tulisan, yang kerap kali membelenggu. Bukankah al-Quran sendiri adalah ujaran? Perhatikan bentuk rima, pengulangan, dan formulawi kelisanannya. Jelas sekali di sana bahwa Quran adalah lisan. Meski sudah dituliskan sekalipun, dia tetap lisan. Karakternya sebagai ujaran membuat kitab suci ini selalu dekat dengan pendengarnya. Selalu aktual. Karena ujaran hidup bersama waktu. Sementara tulisan menjauhkan "yang mengetahui" dengan "yang diketahui". Tapi zaman setelahnya, juga zaman ini, kita memperlakukan Quran sebagai teks mati yang tak hidup. Hilanglah makna dan relevansinya dalam kehidupan. Lalu kita juga memaksakan

Buya Husein dan Kegelisahannya

SETIAP kali ngobrol dengan Buya, otakku berdegup kencang. Ngos-ngosan seperti kuli angkut pelabuhan yang kelebihan beban. Bagaimana tidak, yang dia obrolkan masalah-masalah kelas kakap. Berat. Masalah peradaban. Sesuatu yang bagi kebanyakan orang, mungkin akan bilang kurang kerjaan. Kok mikiri sesuatu yang bukan urusanku, ngawang-ngawang atau mikiri jeh kang langka duit e (memikirkan yang tidak mendatangkan uang), atau mikiri jeh nasib orang lain. Iya, tapi itulah KH Husein Muhammad. Orang-orang di sini suka memanggilnya Buya Husein. Saya sangat sering bertemu dan ngobrol dengan Buya. Dari setiap obrolan dengan tema yang berbeda dari mulai gender, demokrasi, pluralisme, hingga isu-isu aktual, saya menangkap ada hal yang menggelisahkan beliau. Kegelisahan inilah yang membuatnya tak pernah berhenti berpikir, membaca literatur masa lampau untuk kemudian menuliskan hasil refleksinya. Buya mengatakan bahwa umat Islam masih dibayangi masa lalu. Dia tak habis pikir, kenapa