YOGYAKARTA dan angkringan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Di kota
bersejarah ini, angkringan ada hampir di setiap sudut jalan. Tak pelak, selain
terkenal karena kebudayaannya yang masih lestari, angkringan menjadi ciri khas
tersendiri dari Kota Ngayogyakarta.
Bagi pendatang
dari daerah lain, angkringan membawa kesan yang unik. Meskipun di banyak daerah
sudah ada angkringan, tapi tetap saja, angkringan Jogja memberikan sensasi yang
benar-benar istimewa. Padahal kalau dilihat sekilas, sebagian besar menunya
sama persis seperti nasi kucing dan aneka lauk pauknya.
Mungkinkah
ada hal lain yang membuat angkringan jadi berbeda selain yang terlihat oleh
mata? Mungkin sesekali saat kembali ke angkringan, sorot perhatian jangan hanya
tertuju pada yang menu, melainkan justru kepada yang lainnya.
Faktor yang
memberikan kesan berbeda di angkringan mungkin adalah penjaja angkringan-nya. Kita
sebagai wisatawan, maupun penduduk asli Jogja sendiri sering lupa pada sosok
penjaja angkringan. Selama ini obrolan mengenai pesona angkringan hanya muter-muter
tak jauh dari soal murah meriah, selera kuliner, omset ekonomi, dan potensi pariwisata.
Padahal, angkringan
tidak akan diketahui secara utuh saat hanya dilihat dari kacamata ekonomi
maupun pendekatan lainnya yang tidak menempatkan manusia itu sendiri sebagai
objek. Oleh karena itu realitas angkringan beserta ke-unikannya pun tidak akan
tergali secara benar tanpa menghadirkan kacamata budaya.
Sekelumit Kisah
Suatu siang,
saat ngangkring di daerah Sorowajan, seberang
tempat ngopi Blandongan. Sebagai orang baru, tentu saya tidak banyak bicara
pada penjaja angkringan. Tak disangka ternyata dia memancing obrolan. Dan
setelah itu dia obrolannya makin deras. Keheranan juga muncul saat penjaja
angkringan ini mempunyai wawasan yang luas. Dari mulai isu-isu daerah, dalam
negeri hingga luar negeri.
Orang-orang
Jogja memang sangat rakus melahap informasi, baik dari koran dan televisi.
Tidak pandang kelas, dari mulai tukang sol sepatu sampai akademisi umumnya
memang suka mencari informasi dari media-media. Hebatnya, dari semua cerita
yang ddan informasi yang didapat tidak dibebaskan sama sekali dari filter
tradisi.
Seperti saat
penjaja angkringan menanggapi isu terorisme yang santer di daerah sekitaran
Jogja: “Orang tuh ada-ada saja, kalau saya sih apa umumnya orang, tidak mau
melakukan yang aneh-aneh”. Nah, yang-umum-dilakukan-orang inilah yang disebut
budaya, tradisi dan tentu yang mengandung nilai-nilai di dalamnya. Nilai yang
menjadi dasar bagi orang Jogja hidup dan berkehidupan.
Watak Orang Jogja
Sementara
itu, kajian terdahulu banyak mengatakan bahwa Orang Jawa, termasuk Jogja
memiliki perangai yang ramah, sopan dan halus. Hal ini bisa dilihat misalnya
dari cara mereka berinteraksi dengan orang lain. Mengajak bicara orang lain
(yang baru dikenal sekalipun) bagi mereka adalah bagian dari kesopanan dan
keramahan.
Ditambah
lagi, Bahasa Jawa sebagai alat komunikasi dalam interaksi tersebut memiliki aturan
yang menjaga betul nilai-nilai kesopanan. Maka tak heran bila dalam Bahasa Jawa
dikenal beberapa strata. Hanya saja, sikap hati-hati ini mungkin akan mengakibatkan
orang Jogja tidak suka berterus terang. Yang pasti, semua sikap ini bersumber
pada keyakinan terdalam orang Jogja pada kosmologi. Kosmos sebagai realitas
kehidupan (baik makro maupun mikro) harus selalu terjalin harmoni.
Hasil kajian
terdahulu diatas memberikan sedikit gambaran, dan tentu harus diuji lagi karena
pesatnya kemajuan teknologi dan pengaruh globalisasi. Apalagi, Jogja sekarang
sudah sangat lidig, banyak sekali jejak-jejak tradisi mewarnai Jogja yang turut
serta bersama para pendatang dari luar kota, dari suku yang berbeda.
Kembali lagi
jika menarik Watak Orang Jogja ke realitas angkringan, entah kenapa penjaja
ankringan tidak merasa tertarik untuk menjual dagangannya dengan harga yang
sedikit mahal. Mereka berdagang kelihatan sama sekali tidak untuk menumpuk
harta akan tetapi hanya untuk mencari penghidupan, makan hanya agar tetap bisa hidup.
Seperti yang
tersurat dalam kata-kata bijak: Mlarat
ora gegulat, sugih ora rerawat (miskin tidak membabi-buta mencari uang,
kaya tidak menumpuk harta). Karena hakikatnya ning dunyo cuman mampir ngombe (hidup di dunia hanya mampir sejenak
untuk minum).[AR]
Comments
Post a Comment