Skip to main content

Reproduksi, Kini di Sini


Bicara kekinian tentu tidak bisa lepas dari gelombang pemikiran yang mengejutkan di abad 20, posmodernisme. Sejenak mari membincang sedikit satu bilah dari diskusi sengit dalam putaran wacananya: reproduksi. Tentu tidak akan relevan jika tidak kita tarik hubungan paradigmatiknya terhadap masa kini di sini.

Sebagai bentuk kritik menyeluruh terhadap modern, diskusi mengenai posmodern tentu akan lebih baik jika didahului dengan pandangan tokoh yang berpandangan modern. Hal ini untuk memperoleh sedikit gambaran tentang pemikiran modern. Begitupun dengan diskusi tentang poskolonial, akan lebih baik jika kita menghadirkan dulu biang keladi dari situasi yang serba kolonial terlebih dahulu.


Risalah dari Jhon Lecthe

Baiklah kita mulai dari salah satu tokoh yang mengagungkan modernitas dan paling mudah dilihat pemikirannya. Dia  adalah Walter Benjamin (lahir tahun 1829). Dalam bukunya The Word of Art in the Age of Mechanical Reproduction dia berbicara tentang karya seni. Menurut benjamin, karya seni, utamanya dalam zaman film dan fotografi bisa direproduksi, hal ini mengakibatkan kualitas estetis dari karya seni menurun, apalagi akibat reproduksi tersebut akses massa terhadap seni menjadi semakin intens. Seni jadi lebih dekat dengan masyarakat pada umumnya.

Negatif kamera membuat kenyataan yang terekam oleh foto bisa direproduksi. Yang mana hasil dari jepretan ini menghasilkan hantu tiruan dari kenyataan (simulacrum). Potret sebagai simulacrum mempertipis perbedaan yang mencolok diantara yang asli dan yang tiruan. Tapi perhatian Benjamin sebenarnya bukan pada simulacrum maupun karya seni. Dia sangat terkesan dengan kehebatan modern dan teknologinya.

Pada saat fotografi bisa mereproduksi karya seni dan menipiskan perbedaan antara yang nyata dengan foto maka dia ingin mengatakan bahwa memang foto tidak akan se-sakral dan se-suci karya seni lukis pada zaman dulu, akan tetapi foto tidak serta merta menghilangkan aura. Benjamin ingin mengatakan bahwa yang menjadi titik pembicarannya adalah tekhnic fotografi. Dia pun mulai menawarkan kemungkinan estetis baru di zaman modern dan konsep baru tentang orisinalitas.

Tekhnik pulalah yang dibicarakan oleh benjamin saat dia mengomentari sebuah film. Saat orang lain membandingkan film dengan hieroglif mesir atau lukisan klasik, dia melihat bahwa film mempunyai tekhnik baru dibanding misalnya dengan sandiwara. Dalam film, para penonton tidak mempunyai peranan aktif dalam film dan juga film bisa mengubah medan pencerapan kita. Selain itu, film juga bisa membukakan aspek-aspek lingkungan dan pengalaman baru yang belum diperhatikan sebelumnya.

Dalam The Task of The Translator (1923) Benjamin ingin mengatakan bahwa yang asli tidak boleh dipahami sebagai yang benar-benar terisolasi dari penerjemahan selanjutnya. Dia mempercayai seperti misalnya puisi Baudelaire yang aslinya ditulis dalam bahasa Perancis bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dengan taat asas. Tekniknya adalah dengan tidak menterjemahkan puisi hanya secara harfiah melainkan dengan menyentuh makna yang asli secara ringan. Oleh sebab itu, prinsip penerjemahan -prinsip reproduksi- adalah asli, bukan objek yang direproduksikan. Dia pun mensitir Kitab Perjanjian Baru “pada mulanya adalah sabda”.

Dia mempercayai bahwa sejarah itu ada dalam modernitas, bukannya terpisah darinya. Bagaimana di dalam yang asli yang dibentuk pada suatu masa terkandung kemungkinan berlangsungnya reproduksi di dalamnya. Pemahaman historis memungkinkan kehidupan sesudah kematian dari modernitas.


Hiperrealitas

Kehidupan sesudah kematian dan proses reproduksi tersebut seperti yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard (lahir 1929) berlangsung sampai masa modern akhir. Di mana pada saat itu terjadi kode-isasi, komputerisasi dan digitalisasi secara massif utamanya dalam fisika, biologi, dan ilmu lainnya. Menurut Baudrllard, proses reproduksi suatu objek atau situasi bisa berlangsung secara sempurna. Kode bisa mem- by pass sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut olehnya sebagai hiperrealitas.

Awalnya, titik pijak dari pemikiran Baud sebenarnya adalah teori Karl Marx tentang nilai tukar dan nilai guna suatu objek. Nilai tukar akan terkait dengan nilai objek tersebut di pasar dan nilai guna akan terkait dengan sifat pemenuhan dari objek tersebut. Walaupun berangkat dari teori Marx, tidak seperti dirinya, Baudrillard meyakini ada nilai tanda dari suatu objek. Teorinya ini adalah perkawinan antara teori produksi dan semiotika.

Perkawinan ini terjadi karena memang Baud tidak menolak sama sekali strukturalisme, ia hanya menggaapnya dari sisi yang berlawanan. Ini membuatnya leluasa untuk membuka keterbatasan srukturalisme dalam menggunakan tanda, sistem dan perbedaan terutama kaitannya dengan pembedaan antara yang real dan yang imajiner.

Selain berdasar atas keraguannya pada teori ekonomi politik Marx yang berdasarkan atas konsepsi semiotik, Baud juga banyak dipengaruhi oleh teori hadiah Mauss dan teori ongkos dari Bataille. Menurut mereka berdua, manusia yang bisa direduksikan ke landasan utilitarian yang secara umum bisa diterima dan keadaan yang normal adalah keadaan keseimbangan. Sebaliknya, lembaga-lembaga yang menunjukkan upaya membuang yang ada dalam dorongan untuk mendapatkan prestise adalah landasan non-utilitarian pada konsumsi.

Dari sinilah kemudian Baud meyakini bahwa suatu objek harus juga dipahami sebagai yang memiliki nilai simbolik yang tidak bisa direduksikan baik ke nilai guna maupun nilai tukar. Dia pun memperluas analisisnya dengan menambahkan objek simbolik dan objek tanda. Masing-masing mempunyai logika  yang berbeda: logika operasi praktis yang sesuai dengan nilai guna, logika kesetaraan yang sesuai dengan nilai tukar, logika kemenduaan yang sesuai dengan pertukaran simbolik, dan logika perbedan yang sesuai dengan nilai tanda.

Manusia tidak mencari kebahagiaan, mereka tidak berusaha untuk mendapatkan persamaan, konsumsi tidak melakukan homogenisasi, melainkan perbedaan, differensiasi. Sesuatu yang melandasi kehidupan sosial adalah gaya hidup dan nilai bukan kebutuhan ekonomi. Pengertian tentang kebutuhan primer, sebagai batasan, menjadi suatu mitos belaka. Dari mana gaya hidup itu menjadi bermakna? Dari rasa berbeda pengkonsumsi komoditas atas yang liyan

Baud mengatakan bahwa tidak memadai lagi kritik ditujukan pada kansumerisme dan pengertian tentang homo economicus. Sesuatu yang anti bisa diperbaiki, inilah yang membuat Marx menjadi masa lalu. Karena menurut dia, masyarakat konsumsi adalah juga masyarakat yang mengutuki konsumsi itu sendiri. Bahkan iklan pun memainkan parodi tentang dirinya sendiri.

Walaupun Baud memakai konsepsi semiotik yang biasa digunakan oleh kaum strukturalis, akan tetapi tidak seperti Eco, dia tidak menjelaskan detil tentang konsep semiotik yang ia bicarakan. Baud menerima semiotik dan bidang-bidang lain sebagai yang sudah ada sebelumnya. Seperti saat dia mengatakan tentang kode. Dia tidak menjelaskan apa itu kode secara tuntas, pengertian kode itu terbuka dalam konteks, saat dia sandingkan kode dengan reproduksi.

Kode –seperti kode DNA dalam biologi- mensyaratkan salinan tidak seperti yang dipahami biasanya bahwa salinan hanya sekedar salinan dari yang asli. Perbedaan antara yang salinan dan yang sli menjadi berlebihan, sepenuhnya berlebihan. Walaupun keadaan kode berada dalam keadaan hegemonik akan sulit terjadi, akan tetapi pengertian kode-nya Baud sangat penting. 

Dalam suatu masa, dimana objek tidak lagi bisa dipercaya, seperti yang belum pernah diacapai sebelumnya, kode membuat simulasi menjadi sangat penting. Simulasi dan model adalah contoh dari reproduksi murni. Kode bisa memotong realitas, maka muncullah apa yang disebut oleh Baud sebagai “kedapatbalikan”. Hal ini tampak jelas dalam simulasi dan simulacra.

Dalam zaman simulasi, yang penting itu bukanlah produksi objek, melainkan reproduksinya. Asal-usul benda bukanlah benda aslinya, atau makhluk, melainkan rumus, tanda yang dikodekan, dan bilangan. Karena dalam reproduksi, asal-usul itu tidak lain merupakan prisnsip pembangkitan. Maka di sini memunginkan adanya suatu kedapatbalikan yang lengkap: “yang asli” yang terakhir bisa direproduksikan dengan sempurna. Dengan demikian terhapuslah perbedaan antara yang nyata dan representasinya, dan muncullah zaman simulacra.

Secara sosial, Baud mendapati bahwa zaman kode mulai merasuki keseluruhan jaringan sosial. Salah satu gejalanya adalah runtuhnya hal-hal yang saling berlawanan dan “segala sesuatu menjadi tidak pasti”. Cantik dan buruk dalam mode, kiri dan kanan dalam politik, benar dan salah dalam media, yang berguna dan tidak berguna dalam tataran objek, alam dan kultur. Dalam zaman reproduksi dan simulasi semua ini menjadi saling dipertukarkan.

Maka dari itu, Baud menunjukkan bagaimana suatu sistem itu menjadi sistem tertutup yang berpotensi runtuh ke dalam. Hiperrealitas menghapuskan perbedaan antara yang nyata (real) dan yang imajiner. Pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana suatu intervensi politik yang tidak dibangkitkan lagi oleh sistem itu bisa terjadi. Baud menawarkan suatu jalur pemecahan dengan pembahasannya tentang “godaan” dan “strategi mematikan”.

Dalam kedua kasus ini, ia berpendapat bahwa objek itu perlu diunggulkan atas subjek, teori yang mematikan (fatal theory) ditentukan oleh objek atas teori kritis dangkal yang ditentukan oleh subjek. Tujuannya adalah bergerak ke yang ekstrem untuk menentang keseimbangan sistem. Keadaan mabuk, kepuasan resiko dan kebingungan di depan objek penggoda menjadi lebih unggul daripada refleksivitas sederhana teori yang umum diterima.

Teori yang umum diterima ini selalu bersifat tautologis: awalnya selalu sama dengan akhirnya. Pada yang fatal (=kematian dan nasib) tidak ada “ujung” dalam pengertian transendental atau teleologis. Oleh sebab itu, godaan itu menjadi fatal dalam pengertian bahwa subjek itu didominasi oleh objek yang tidak bisa diramalkan perilakunya-objek kepuasan. Massa yang karena kurang reflektivitas dan konformitasnya sebelumnya adalah sumber keputusasaan para intektual revolusiner, sekarang menjadi suatu model yang harus diikuti.

Baud menulis “Dalam konformitas ini terdapat kekuatan godaan dalam makna harfiahnya, suatu kekuatan menyimpang, distorsi, penangkapan dan pemuasan ironis. Di sini terdapat konformitas yang mematikan.”


Tinjauan

Tulisan di atas lebih dekat sebagai sebuah resume kecil dari bukunya Jhon Lecthe, 50 Tokoh Filsuf Kontemporer. Di dalamnya dia menyertakan sub-bahasan modern dan postmodern. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Walter Benjamin dari modern dan Jean Baudrillard dari posmodern.

Dari jasa Lecthe inilah saya mencoba membaca dan meninjau seadanya. Nah, berangkat dari tulisan tersebut sebenarnya ada titik singgung di antara pembicaraan mereka berdua. Ben dan Baud sejauh yang saya tangkap dari terjemahan dari tulisannya Lechte sama-sama bersumber dari konsentrasi awal mereka pada bahasan tentang reproduksi.

Dalam hal ini, Ben mendasarkan pemikirannya tentang reproduksi dalam konteks fotografi dan film. Dia meyakini bahwa teknik yang ada pada foto dan film bisa mengobati dua kekurangan seni hasil reproduksi. Dua kekurangan itu adalah nilai estetis hasil reproduksi tidak setinggi lukisan klasik ataupun pertunjukan panggung. Kedua, nilai eksklusifitas-nya tidak setinggi pendahulunya karena seni hasil reproduksi dapat dinikmati keroyokan. Dari situ kemudian dia mengusulkan untuk membuka kemungkinan estetis baru, yakni teknik. Dan pada akhirnya mengusulkan re-definisi konsep orisinalitas.

Karya seni hadir karena seniman menciptnya. Seni adalah hasil intuisi dan pengembaraan perasaan dari seniman untuk kemudian dia hadirkan dalam satu media. Entah itu media rupa, suara atau yang lainnya. Di sini berlaku juga bahwa karya seni sebagai bahasa, karena dia ingin mengungkapkan sesuatu. Sesuatu tersebutlah yang sifatnya essensial yang oleh Ben tidak diperhatikan dengan serius. Dia terlalu mengagungkan teknik yang ada pada mesin reproduksi. Alhasil, motivasi di balik produk menjadi tidak terlihat.

Lain Ben lain juga dengan Baud. Dia mengatakan bahwa ada nilai tanda (tambahan dari nilai guna dan nilai tukar-nya Marx) dari setiap sesuatu hal apapun di dunia ini. Nilai tanda ini terejawantah pada prestise dalam kehidupan sosial keseharian kita. Nilai tanda inilah yang akan sangat menentukan duplikasi dan simulasi realitas yang ada. Batas antara yang asli dan yang tiruan menjadi tidak ada, karena apa yang menjadi substansi dari yang asli dapat dikodekan dengan hampir sempurna oleh yang tiruan. Dia menyebutnya dengan istilah simulacrum.

Ketiadaan perbedaan antara yang asli dan yang tiruan inilah yang semakin meyakinkan Ben untuk mengatakan bahwa perlu ada konsep baru tentang orisinalitas. Orisinalitas dipahami sebagai yang asli dan berbeda dengan yang lain. Atau mungkin harus diakui bahwa tiruannya juga asli dan layak disebut orisinil. Atau sebenarnya tidak ada yang orisinil sama sekali. Yang ada, semuanya adalah tiruan dari alam (mimesis).

Dari perbincangan mengenai reproduksi di atas terbit sebuah pertanyaan besar, Benarkah yang tiruan menjadi sama dengan yang asli? Motivasi-ulang adalah kata kunci dari perbincangan ini. Yang tiruan menjadi seperti asli karena dia bisa dimotivasi ulang, diberi nilai ulang, diberi penanda ulang, diberi makna ulang, diberi arti ulang.

Intinya, kesamaan antara yang asli dan yang tiruan adalah kesamaan bahwa mereka hanyalah sebagai media yang menjadi tempat tafsir manusia atas alam. Lukisan klasik adalah hasil tafsir dari keindahan alam yang menyeruak ke dalam sanubari pelukis. Begitupun dengan foto, dia hadir dengan pilihan-pilihan yang diambil secara insting dan intuitif oleh kameraman. Proses reproduksi yang menghasilkan simulasi pada akhirnya mempunyai motivasinya sendiri untuk hadir sebagai tanda dan mengabarkan pada khalayak.

Hanya saja mungkin sekarang-sekarang ini yang menjadi semakin terang benderang adalah proses menjadi-nya tanda dan juga proses pengabaran menjadi semakin njelimet dan manipulatif. Kerumitan tersebut sebagai konsekuensi dari terjabarkannya proses penandaan, proses pemaknaan dan penelanjangan struktur bahasa. Manipulasi juga ada karena dalam lingkaran pengetahuan selalu didampingi oleh kekuasaan yang dengan otoritasnya[1] yang bersifat hegemonic. Pengarusutamaan makna dilakukan dan terlihat dengan jelas melalui simulasi-simulasi yang mau tak mau secara halus disepakati oleh semua orang.

Contoh paling sederhana (mungkin kita perlu mendiskusikannya lagi) adalah saat Orde Baru menggalakan proyek Keluarga Berencana (KB) dan P4. Sekarang berlangsung juga Demokrasi sebagai simulasi dari keadilan dan kesejahteraan -yang kita tak lagi bisa memilih-. Tanpa mempertimbangkan liyan, pandangan lain tentang hal yang motivasinya sebenarnya sama.

Dari sekian banyak obrolan, maka yang menggelisahkan banyak posmodernis dan juga aktivis kemanusiaan adalah sifat pengetahuan yang otoritatif tersebut. Oleh karena itu kemudian mereka memunculkan ide tentang keragaman otoritas dengan tanpa hegemonisasi satu dengan yang lainnya, bisakah? Dari bacaan terhadap kajian Bambang Sugiharto jawabannya adalah optimis. Bahkan dia lebih memerinci lagi bisanya seperti apa? Pembela modern mengatakan tidak perlu meruntuhkan bangunan modern karena itu percuma, kita bisa memperbaiki sifat-sifat yang tidak baik dari modern (Habermas). Sementara itu kaum postmodern mengatakan dengan tegas bahwa yang rusak dari modern adalah konsepsi-konsepsi dasarnya, sehingga harus diluruhkan (Lyotard).

Sementara itu ada yang meyakini bahwa cara menghentikan putaran roda gila kekuasaan dan pengetahuan yang otoritatif adalah dengan mengembalikan manusia pada kesadaran kerendah-hatian. Dengan mengakui ada otoritas yang lebih tinggi dibanding manusia. Dengan demikian manusia tidak akan bersitegang antar sesama dengan berebut otoritas dan saling menghegemoni. Karena ada liyan yang lebih tinggi melebihi apapun otoritas kemanusiaan. Walaupun sedikit berbeda tetapi konsep ini dipakai oleh gerakan New Age, sufi dan gerakan keagamaan kontemporer.


Poskolonial

Otoritas yang menghegemoni menimbulkan tidak hanya rasa minder. Jauh dari itu warga koloni akan terus menerus merasa inferior walaupun imperialism sudah berakhir. Ketakutan akan tidak diakui oleh sejarah dan peradaban membuat masyarakat ini sulit bergerak bebas. Selain itu, dengan rel nilai dan norma warisan dari Negara pengoloni, koloni menjadi terus tertekan secara psikologis, kehidupan sehari-hari maupun ideologis.

Kolonialisme tidak sama dengan imperialisme, walaupun keduanya sering disamakan. Keduanya memang datang hampir berbarengan dalam sejarah bangsa ini. Tapi sekarang, saat imperialisme sudah berakhir, kolonialisme diyakini masih belum juga mau pergi. Hal ini mengakibatkan munculnya imperialisme baru, yang juga pada akhirnya kolonialisme baru.

Masalah utama kolonialisme sebenarnya adalah masalah identitas, masalah kekerasan epistemologis dan hegemoni kekuasaan. Ketiganya bersatu membangun realitas pengetahuannya sendiri dan menerjemahkan orang lain dengan pengetahun itu. Orang lain yang diterjemahkan menjadi hanya boneka yang mau diapakan juga tidak berdaya. Seperti bahasan postmodern di atas, untuk memainkan bondeka tersebut, pengoloni memakai otoritas. Snouck Hurgonje memakai otoritas agama Makkah (wahabi) untuk mendefinisikan Islam tradisional yang musysik, klenik, kufarat dan jauh dari kemajuan.

Untuk memastikan tafsir itu berjalan dan memapankan paham seperti itu, kemudian dibentuklah kantor agama (pada masa itu) sebagai kendali birokratis yang mengendalikan semua kegiatan keagamaan. Jadilah orang-orang Indonesia yang mayoritas muslim berjalan, berkehidupan atas dasar makna agama yang dimotivasi-ulang oleh pengoloni.

Dari peristiwa itu kita belajar bahwa perlu ada kewaspadan terhadap ajaran trans-nasional dan pewacanaan dari luar. Sekalipun itu berbau surga. Juga tentang demokrasi, HAM, pluralism, Gender, atau apapun itu. Semua itu harus juga dipahami sebagai liyan yang berpendapat dan mentafsir kehidupan kita. Bukan kebenaran tentang kita. Karena kebenaran selalu dekat dengan keseharian kehidupan kita dan terus bergerak.

Selain itu juga perlu ada pemahaman yang kokoh mengenai konsep identitas kita. Sehingga pada saat kapan-kapan paham yang datang dari luar dengan maksud menghegemoni kita dapat lebih cantik menyikapinya. Tapi semua itu tugas yang berat, tugas peradaban. Dan Tugas peradaban memang tidak akan pernah mudah. Meskipun begitu, bukankah manusia memang selalu hidup di atas puing-puingnya?








[1] Otoritas itu adalah Negara, Agama, Ilmu Pengetahuan, Norma, Survei, Nilai, dll. Otoritas tersebut hanya satu variable, dia bertindak sebagai alat. Sementara motor dan penggeraknya adalah “aku”, diri yang selalu butuh eksis (eksistensialisme). Aku pribadi, aku kelompok, aku golongan, dan sebagianya. Aku sebagai pembeda dengan liyan. Dann hubungan antara aku dan liyan tersebut untuk melanggengkan kekuasaan yang otoritatif dan hegemonic tadi. Berputaslah terus roda gila kuasa.   


Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: