Bicara
kekinian tentu tidak bisa lepas dari gelombang pemikiran yang mengejutkan di abad
20, posmodernisme. Sejenak mari membincang sedikit satu bilah dari diskusi sengit
dalam putaran wacananya: reproduksi. Tentu
tidak akan relevan jika tidak kita tarik hubungan paradigmatiknya terhadap masa
kini di sini.
Sebagai
bentuk kritik menyeluruh terhadap modern, diskusi mengenai posmodern tentu akan
lebih baik jika didahului dengan pandangan tokoh yang berpandangan modern. Hal
ini untuk memperoleh sedikit gambaran tentang pemikiran modern. Begitupun
dengan diskusi tentang poskolonial, akan lebih baik jika kita menghadirkan dulu
biang keladi dari situasi yang serba kolonial terlebih dahulu.
Risalah dari Jhon Lecthe
Baiklah kita mulai dari salah
satu tokoh yang mengagungkan modernitas dan paling mudah dilihat pemikirannya. Dia adalah Walter
Benjamin (lahir tahun 1829). Dalam bukunya The Word of Art in the Age of Mechanical Reproduction dia berbicara
tentang karya seni. Menurut benjamin, karya seni, utamanya dalam zaman film dan
fotografi bisa direproduksi, hal ini mengakibatkan kualitas estetis dari karya
seni menurun, apalagi akibat reproduksi tersebut akses massa terhadap seni
menjadi semakin intens. Seni jadi lebih dekat dengan masyarakat pada umumnya.
Negatif
kamera membuat kenyataan yang terekam oleh foto bisa direproduksi. Yang mana
hasil dari jepretan ini menghasilkan hantu tiruan dari kenyataan (simulacrum). Potret sebagai simulacrum
mempertipis perbedaan yang mencolok diantara yang asli dan yang tiruan. Tapi
perhatian Benjamin sebenarnya bukan pada simulacrum
maupun karya seni. Dia sangat terkesan dengan kehebatan modern dan
teknologinya.
Pada
saat fotografi bisa mereproduksi karya seni dan menipiskan perbedaan antara yang
nyata dengan foto maka dia ingin mengatakan bahwa memang foto tidak akan se-sakral dan se-suci karya seni lukis pada zaman dulu, akan tetapi foto tidak serta
merta menghilangkan aura. Benjamin ingin mengatakan bahwa yang menjadi titik
pembicarannya adalah tekhnic
fotografi. Dia pun mulai menawarkan kemungkinan estetis baru di zaman modern dan konsep baru tentang orisinalitas.
Tekhnik
pulalah yang dibicarakan oleh benjamin saat dia mengomentari sebuah film. Saat
orang lain membandingkan film dengan hieroglif mesir atau lukisan klasik, dia
melihat bahwa film mempunyai tekhnik baru dibanding misalnya dengan sandiwara.
Dalam film, para penonton tidak mempunyai peranan aktif dalam film dan juga
film bisa mengubah medan pencerapan
kita. Selain itu, film juga bisa membukakan aspek-aspek lingkungan dan
pengalaman baru yang belum diperhatikan sebelumnya.
Dalam
The Task of The Translator (1923) Benjamin
ingin mengatakan bahwa yang asli
tidak boleh dipahami sebagai yang benar-benar terisolasi dari penerjemahan selanjutnya.
Dia mempercayai seperti misalnya puisi Baudelaire yang aslinya ditulis dalam
bahasa Perancis bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dengan taat asas. Tekniknya adalah dengan tidak
menterjemahkan puisi hanya secara harfiah melainkan dengan menyentuh makna yang
asli secara ringan. Oleh sebab itu, prinsip penerjemahan -prinsip reproduksi-
adalah asli, bukan objek yang direproduksikan. Dia pun mensitir Kitab
Perjanjian Baru “pada mulanya adalah sabda”.
Dia
mempercayai bahwa sejarah itu ada dalam modernitas, bukannya terpisah darinya.
Bagaimana di dalam yang asli yang dibentuk pada suatu masa terkandung
kemungkinan berlangsungnya reproduksi di dalamnya. Pemahaman historis
memungkinkan kehidupan sesudah kematian dari modernitas.
Hiperrealitas
Kehidupan
sesudah kematian dan proses reproduksi tersebut seperti yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard (lahir 1929)
berlangsung sampai masa modern akhir. Di mana pada saat itu terjadi kode-isasi,
komputerisasi dan digitalisasi secara massif utamanya dalam fisika, biologi,
dan ilmu lainnya. Menurut Baudrllard, proses reproduksi suatu objek atau
situasi bisa berlangsung secara sempurna. Kode bisa mem- by pass sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya
realitas yang disebut olehnya sebagai hiperrealitas.
Awalnya,
titik pijak dari pemikiran Baud sebenarnya adalah teori Karl Marx tentang nilai tukar dan nilai guna suatu objek. Nilai tukar akan terkait dengan nilai objek
tersebut di pasar dan nilai guna akan terkait dengan sifat pemenuhan dari objek
tersebut. Walaupun berangkat dari teori Marx, tidak seperti dirinya,
Baudrillard meyakini ada nilai tanda
dari suatu objek. Teorinya ini adalah perkawinan antara teori produksi dan
semiotika.
Perkawinan
ini terjadi karena memang Baud tidak menolak sama sekali strukturalisme, ia
hanya menggaapnya dari sisi yang berlawanan. Ini membuatnya leluasa untuk
membuka keterbatasan srukturalisme dalam menggunakan tanda, sistem dan perbedaan terutama kaitannya dengan
pembedaan antara yang real dan yang imajiner.
Selain
berdasar atas keraguannya pada teori ekonomi politik Marx yang berdasarkan atas
konsepsi semiotik, Baud juga banyak dipengaruhi oleh teori hadiah Mauss dan teori
ongkos dari Bataille. Menurut mereka berdua, manusia yang bisa direduksikan
ke landasan utilitarian yang secara umum bisa diterima dan keadaan yang normal
adalah keadaan keseimbangan. Sebaliknya, lembaga-lembaga yang menunjukkan upaya
membuang yang ada dalam dorongan untuk mendapatkan prestise adalah landasan non-utilitarian pada konsumsi.
Dari
sinilah kemudian Baud meyakini bahwa suatu objek harus juga dipahami sebagai
yang memiliki nilai simbolik yang
tidak bisa direduksikan baik ke nilai guna maupun nilai tukar. Dia pun
memperluas analisisnya dengan menambahkan objek simbolik dan objek tanda.
Masing-masing mempunyai logika yang
berbeda: logika operasi praktis yang sesuai dengan nilai guna, logika
kesetaraan yang sesuai dengan nilai tukar, logika kemenduaan yang sesuai dengan
pertukaran simbolik, dan logika perbedan yang sesuai dengan nilai tanda.
Manusia
tidak mencari kebahagiaan, mereka tidak berusaha untuk mendapatkan persamaan,
konsumsi tidak melakukan homogenisasi, melainkan perbedaan, differensiasi. Sesuatu yang melandasi
kehidupan sosial adalah gaya hidup dan nilai bukan kebutuhan ekonomi. Pengertian
tentang kebutuhan primer, sebagai batasan, menjadi suatu mitos belaka. Dari
mana gaya hidup itu menjadi bermakna? Dari rasa berbeda pengkonsumsi komoditas
atas yang liyan.
Baud
mengatakan bahwa tidak memadai lagi kritik ditujukan pada kansumerisme dan
pengertian tentang homo economicus.
Sesuatu yang anti bisa diperbaiki,
inilah yang membuat Marx menjadi masa lalu. Karena menurut dia, masyarakat
konsumsi adalah juga masyarakat yang mengutuki konsumsi itu sendiri. Bahkan
iklan pun memainkan parodi tentang dirinya sendiri.
Walaupun
Baud memakai konsepsi semiotik yang biasa digunakan oleh kaum strukturalis,
akan tetapi tidak seperti Eco, dia tidak menjelaskan detil tentang konsep
semiotik yang ia bicarakan. Baud menerima semiotik dan bidang-bidang lain sebagai
yang sudah ada sebelumnya. Seperti saat dia mengatakan tentang kode. Dia tidak
menjelaskan apa itu kode secara tuntas, pengertian kode itu terbuka dalam
konteks, saat dia sandingkan kode dengan reproduksi.
Kode
–seperti kode DNA dalam biologi- mensyaratkan salinan tidak seperti yang
dipahami biasanya bahwa salinan hanya sekedar salinan dari yang asli. Perbedaan
antara yang salinan dan yang sli menjadi berlebihan, sepenuhnya berlebihan.
Walaupun keadaan kode berada dalam keadaan hegemonik akan sulit terjadi, akan
tetapi pengertian kode-nya Baud sangat penting.
Dalam
suatu masa, dimana objek tidak lagi bisa dipercaya, seperti yang belum pernah
diacapai sebelumnya, kode membuat simulasi menjadi sangat penting. Simulasi dan
model adalah contoh dari reproduksi murni. Kode bisa memotong realitas, maka
muncullah apa yang disebut oleh Baud sebagai “kedapatbalikan”. Hal ini tampak
jelas dalam simulasi dan simulacra.
Dalam
zaman simulasi, yang penting itu bukanlah produksi objek, melainkan
reproduksinya. Asal-usul benda bukanlah benda aslinya, atau makhluk, melainkan
rumus, tanda yang dikodekan, dan bilangan. Karena dalam reproduksi, asal-usul
itu tidak lain merupakan prisnsip pembangkitan. Maka di sini memunginkan adanya
suatu kedapatbalikan yang lengkap: “yang asli” yang terakhir bisa
direproduksikan dengan sempurna. Dengan demikian terhapuslah perbedaan antara
yang nyata dan representasinya, dan muncullah zaman simulacra.
Secara
sosial, Baud mendapati bahwa zaman kode mulai merasuki keseluruhan jaringan
sosial. Salah satu gejalanya adalah runtuhnya hal-hal yang saling berlawanan
dan “segala sesuatu menjadi tidak pasti”. Cantik dan buruk dalam mode, kiri dan
kanan dalam politik, benar dan salah dalam media, yang berguna dan tidak
berguna dalam tataran objek, alam dan kultur. Dalam zaman reproduksi dan
simulasi semua ini menjadi saling dipertukarkan.
Maka
dari itu, Baud menunjukkan bagaimana suatu sistem itu menjadi sistem tertutup
yang berpotensi runtuh ke dalam. Hiperrealitas menghapuskan perbedaan antara
yang nyata (real) dan yang imajiner. Pertanyaan yang harus dijawab adalah
bagaimana suatu intervensi politik yang tidak dibangkitkan lagi oleh sistem itu
bisa terjadi. Baud menawarkan suatu jalur pemecahan dengan pembahasannya
tentang “godaan” dan “strategi mematikan”.
Dalam
kedua kasus ini, ia berpendapat bahwa objek itu perlu diunggulkan atas subjek,
teori yang mematikan (fatal theory)
ditentukan oleh objek atas teori kritis dangkal yang ditentukan oleh subjek.
Tujuannya adalah bergerak ke yang ekstrem untuk menentang keseimbangan sistem.
Keadaan mabuk, kepuasan resiko dan kebingungan di depan objek penggoda menjadi
lebih unggul daripada refleksivitas sederhana teori yang umum diterima.
Teori
yang umum diterima ini selalu bersifat tautologis: awalnya selalu sama dengan
akhirnya. Pada yang fatal (=kematian dan nasib) tidak ada “ujung” dalam
pengertian transendental atau teleologis. Oleh sebab itu, godaan itu menjadi
fatal dalam pengertian bahwa subjek itu didominasi oleh objek yang tidak bisa
diramalkan perilakunya-objek kepuasan. Massa yang karena kurang reflektivitas
dan konformitasnya sebelumnya adalah sumber keputusasaan para intektual
revolusiner, sekarang menjadi suatu model yang harus diikuti.
Baud
menulis “Dalam konformitas ini terdapat kekuatan godaan dalam makna harfiahnya,
suatu kekuatan menyimpang, distorsi, penangkapan dan pemuasan ironis. Di sini
terdapat konformitas yang mematikan.”
Tinjauan
Tulisan di atas lebih dekat sebagai sebuah
resume kecil dari bukunya Jhon Lecthe, 50 Tokoh Filsuf
Kontemporer. Di dalamnya dia menyertakan sub-bahasan modern dan postmodern. Di
antara tokoh-tokoh tersebut adalah Walter Benjamin dari modern dan Jean
Baudrillard dari posmodern.
Dari jasa Lecthe inilah saya
mencoba membaca dan meninjau seadanya. Nah, berangkat
dari tulisan tersebut
sebenarnya ada titik singgung di antara pembicaraan mereka berdua.
Ben dan Baud sejauh yang saya tangkap dari terjemahan dari tulisannya Lechte sama-sama
bersumber dari konsentrasi awal mereka pada bahasan tentang reproduksi.
Dalam hal ini, Ben mendasarkan pemikirannya tentang reproduksi dalam konteks fotografi
dan film. Dia meyakini bahwa teknik yang ada pada foto dan film bisa mengobati
dua kekurangan seni hasil reproduksi. Dua kekurangan itu adalah nilai estetis
hasil reproduksi tidak setinggi lukisan klasik ataupun pertunjukan panggung. Kedua, nilai eksklusifitas-nya tidak
setinggi pendahulunya karena seni hasil reproduksi dapat dinikmati keroyokan.
Dari situ kemudian dia mengusulkan untuk membuka kemungkinan estetis baru,
yakni teknik. Dan pada akhirnya
mengusulkan re-definisi konsep orisinalitas.
Karya seni hadir karena seniman menciptnya. Seni adalah hasil intuisi
dan pengembaraan perasaan dari seniman untuk kemudian dia hadirkan dalam satu
media. Entah itu media rupa, suara atau yang lainnya. Di sini berlaku juga
bahwa karya seni sebagai bahasa, karena dia ingin mengungkapkan sesuatu. Sesuatu tersebutlah yang sifatnya essensial yang oleh Ben
tidak diperhatikan dengan serius. Dia terlalu mengagungkan teknik yang ada pada
mesin reproduksi. Alhasil, motivasi
di balik produk menjadi tidak terlihat.
Lain Ben lain juga dengan Baud. Dia mengatakan bahwa ada nilai tanda
(tambahan dari nilai guna dan nilai tukar-nya Marx) dari setiap sesuatu hal
apapun di dunia ini. Nilai tanda ini terejawantah pada prestise dalam kehidupan sosial keseharian kita. Nilai tanda inilah
yang akan sangat menentukan duplikasi dan simulasi realitas yang ada. Batas
antara yang asli dan yang tiruan menjadi tidak ada, karena apa yang menjadi
substansi dari yang asli dapat dikodekan dengan hampir
sempurna oleh yang tiruan. Dia menyebutnya dengan istilah simulacrum.
Ketiadaan perbedaan antara yang asli dan yang tiruan inilah yang semakin
meyakinkan Ben untuk mengatakan bahwa perlu ada konsep baru tentang
orisinalitas. Orisinalitas dipahami sebagai yang asli dan berbeda dengan yang
lain. Atau mungkin harus diakui bahwa tiruannya juga asli dan layak disebut
orisinil. Atau sebenarnya tidak ada yang orisinil sama sekali. Yang ada,
semuanya adalah tiruan dari alam (mimesis).
Dari perbincangan mengenai reproduksi di atas terbit sebuah pertanyaan
besar, Benarkah yang tiruan menjadi sama dengan yang asli? Motivasi-ulang adalah kata kunci dari perbincangan ini. Yang tiruan
menjadi seperti asli karena dia bisa dimotivasi ulang, diberi nilai ulang, diberi
penanda ulang, diberi makna ulang, diberi arti ulang.
Intinya, kesamaan antara yang asli dan yang tiruan adalah kesamaan bahwa mereka
hanyalah sebagai media yang menjadi tempat tafsir manusia atas alam. Lukisan
klasik adalah hasil tafsir dari keindahan alam yang menyeruak ke dalam sanubari
pelukis. Begitupun dengan foto, dia hadir dengan pilihan-pilihan yang diambil
secara insting dan intuitif oleh kameraman. Proses reproduksi yang menghasilkan
simulasi pada akhirnya mempunyai motivasinya sendiri untuk hadir sebagai tanda
dan mengabarkan pada khalayak.
Hanya saja mungkin sekarang-sekarang ini yang menjadi semakin terang
benderang adalah proses menjadi-nya tanda dan juga proses pengabaran menjadi
semakin njelimet dan manipulatif. Kerumitan tersebut sebagai konsekuensi dari
terjabarkannya proses penandaan, proses pemaknaan dan penelanjangan struktur
bahasa. Manipulasi juga ada karena dalam lingkaran pengetahuan selalu
didampingi oleh kekuasaan yang dengan otoritasnya[1]
yang bersifat hegemonic.
Pengarusutamaan makna dilakukan dan terlihat dengan jelas melalui
simulasi-simulasi yang mau tak mau secara halus disepakati oleh semua orang.
Contoh paling sederhana (mungkin kita perlu mendiskusikannya lagi) adalah
saat Orde Baru menggalakan proyek Keluarga Berencana (KB) dan P4. Sekarang
berlangsung juga Demokrasi sebagai simulasi dari keadilan dan kesejahteraan
-yang kita tak lagi bisa memilih-. Tanpa mempertimbangkan liyan, pandangan lain tentang hal yang motivasinya sebenarnya sama.
Dari sekian banyak obrolan, maka yang menggelisahkan banyak posmodernis
dan juga aktivis kemanusiaan adalah sifat pengetahuan yang otoritatif tersebut.
Oleh karena itu kemudian mereka memunculkan ide tentang keragaman otoritas
dengan tanpa hegemonisasi satu dengan yang lainnya, bisakah? Dari
bacaan terhadap kajian Bambang Sugiharto jawabannya adalah optimis. Bahkan dia
lebih memerinci lagi bisanya seperti apa? Pembela modern mengatakan tidak perlu
meruntuhkan bangunan modern karena itu percuma, kita bisa memperbaiki
sifat-sifat yang tidak baik dari modern (Habermas). Sementara itu kaum
postmodern mengatakan dengan tegas bahwa yang rusak dari modern adalah konsepsi-konsepsi
dasarnya, sehingga harus diluruhkan (Lyotard).
Sementara itu ada yang meyakini bahwa cara menghentikan putaran roda
gila kekuasaan dan pengetahuan yang otoritatif adalah dengan mengembalikan
manusia pada kesadaran
kerendah-hatian. Dengan
mengakui ada otoritas yang lebih tinggi dibanding manusia. Dengan demikian
manusia tidak akan bersitegang antar sesama dengan berebut otoritas dan saling
menghegemoni. Karena ada liyan yang lebih tinggi melebihi apapun otoritas
kemanusiaan. Walaupun sedikit berbeda tetapi konsep ini dipakai oleh gerakan
New Age, sufi dan gerakan keagamaan kontemporer.
Poskolonial
Otoritas yang menghegemoni menimbulkan tidak hanya rasa minder. Jauh
dari itu warga koloni akan terus menerus merasa inferior walaupun imperialism
sudah berakhir. Ketakutan akan tidak diakui oleh sejarah dan peradaban membuat
masyarakat ini sulit bergerak bebas. Selain itu, dengan rel nilai dan norma
warisan dari Negara pengoloni, koloni menjadi terus tertekan secara psikologis,
kehidupan sehari-hari maupun ideologis.
Kolonialisme tidak sama dengan imperialisme,
walaupun keduanya sering disamakan. Keduanya memang datang hampir berbarengan
dalam sejarah bangsa ini. Tapi sekarang, saat imperialisme sudah
berakhir, kolonialisme diyakini masih belum juga mau pergi. Hal ini
mengakibatkan munculnya imperialisme baru, yang juga pada akhirnya kolonialisme baru.
Masalah utama kolonialisme sebenarnya adalah masalah identitas, masalah
kekerasan epistemologis dan hegemoni kekuasaan. Ketiganya bersatu membangun
realitas pengetahuannya sendiri dan menerjemahkan orang lain dengan pengetahun
itu. Orang lain yang diterjemahkan menjadi hanya boneka yang mau diapakan juga
tidak berdaya. Seperti bahasan postmodern di atas, untuk memainkan bondeka
tersebut, pengoloni memakai otoritas. Snouck Hurgonje memakai otoritas agama
Makkah (wahabi) untuk mendefinisikan Islam tradisional yang musysik, klenik, kufarat
dan jauh dari kemajuan.
Untuk memastikan tafsir itu berjalan dan memapankan paham seperti itu,
kemudian dibentuklah kantor agama (pada masa itu) sebagai kendali birokratis yang mengendalikan
semua kegiatan keagamaan. Jadilah orang-orang Indonesia yang mayoritas muslim
berjalan, berkehidupan atas dasar makna agama yang dimotivasi-ulang
oleh pengoloni.
Dari peristiwa itu kita belajar bahwa perlu ada kewaspadan terhadap ajaran trans-nasional dan pewacanaan dari luar. Sekalipun itu berbau
surga. Juga tentang demokrasi, HAM, pluralism, Gender, atau apapun itu. Semua
itu harus juga dipahami sebagai liyan yang berpendapat dan mentafsir kehidupan kita.
Bukan kebenaran tentang kita. Karena kebenaran selalu dekat dengan keseharian
kehidupan kita dan terus bergerak.
Selain itu juga perlu ada pemahaman yang kokoh mengenai konsep identitas
kita. Sehingga pada saat kapan-kapan paham yang datang dari
luar dengan maksud menghegemoni kita dapat lebih cantik menyikapinya. Tapi semua itu tugas yang
berat, tugas peradaban. Dan Tugas peradaban memang tidak akan pernah mudah.
Meskipun begitu, bukankah manusia memang selalu hidup di atas puing-puingnya?
[1]
Otoritas itu adalah Negara, Agama, Ilmu Pengetahuan, Norma, Survei, Nilai, dll.
Otoritas tersebut hanya satu variable, dia bertindak sebagai alat. Sementara
motor dan penggeraknya adalah “aku”, diri yang selalu butuh eksis
(eksistensialisme). Aku pribadi, aku kelompok, aku golongan, dan sebagianya.
Aku sebagai pembeda dengan liyan. Dann hubungan antara aku dan liyan tersebut
untuk melanggengkan kekuasaan yang otoritatif dan hegemonic tadi. Berputaslah
terus roda gila kuasa.
Comments
Post a Comment