Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2015

Antara Topeng Venice dan Topeng Cirebon

Dall ’Osto menunjukkan topeng  Tragic Komika . TOPENG biasanya digunakan orang di Barat untuk menyembunyikan identitas pemakainya. Di Kota Venice, Italia, Setiap orang yang memakai topeng merasa sama dengan orang lain. Sebab, dengan memakai topeng, orang-orang Venice merasa nyaman dan sejajar dengan orang lain saat tidak ada yang mengenalinya. Demikian yang dikatakan Gualtiero Dall ’Osto dalam satu acara di Cirebon. Menurutnya,  sejak tahun 1700-an, di Italia mulai banyak orang memakai topeng dalam pergaulan sehari-hari dan karnaval tahunan. “Pada tahun 1700-an, banyak orang di Venice dan Italia mulai suka memakai topeng. Orang yang memakai topeng ini menyembunyikan identitas dirinya. Dengan memakai topeng, setiap orang sama. Tidak ada nama orang, keluarganya siapa,” katanya lewat seorang penerjemah. Gualtiero sendiri sebenarnya bukan orang Venice. Akan tetapi, pria kelahiran Kota Viacenza itu mulai tertarik dan mendalami topeng Venice saat masuk ke juru

Buddhayah

Ilustrasi tari topeng kelana. Sumber: actanesia.com.  SENI bisa diibaratkan seperti barang antik yang cantik. Dia mengeluarkan cahaya berkilauan, memukau semua mata yang melihatnya. Tetapi, keindahan seni sendiri bisa jadi hanya keindahan artifisial yang selesai di tataran memuaskan syahwat. Di sisi lain, dalam tataran yang lebih dalam, seni sejatinya amat erat kaitannya dengan budi dan akal manusia, buddhayah . Paradoks itu mungkin saja terjadi, setidaknya hal itu bisa terasa saat melihat perbedaan ekstrem antara seni popular dan seni tradisi. Dalam hal ini seni popular merupakan pengaruh kebudayaan barat, sementara seni tradisi merupakan seni yang tumbuh dari kebudayaan Indonesia. Bagi orang Timur, budaya yang berasal dari kata jamak buddhayah (singular: buddhi ) lebih menekankan bahwa proses kebudayaan –dan seni di dalamnya- merupakan proses holistik manusia. Dalam hal ini, proses kebudayaan merupakan wujud upaya manusia untuk memaknai kehidupan ke arah dal

Laut yang Terlupa

Relief perahu di Candi Borobudur. Sumber: wikimedia.com. KEBUDAYAAN sering dimaknai sebagai benda, artefak, semisal prasasti, monumen, keraton, gua, keris, batu dan sebagainya. Padahal, artefak itu lebih menunjukkan arti sebagai jejak kebudayaan. Ada juga yang beranggapan kebudayaan itu sama dengan kesenian. Meskipun tidak sepenuhnya keliru, tapi antara keduanya tidaklah sama. Kesenian lebih merupakan pewujudan yang indah dari proses kebudayaan sineasnya. Kesenian hanya bagian kecil saja dari kebudayaan. Lalu apa kebudayaan itu sendiri? Kebudayaan sulit dikenali, direpresentasikan dengan bahasa dan ditentukan definisinya. Istilah kebudayaan selalu menunjuk pada sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan dan bukan substansinya. Kesulitan yang sama juga saat berusaha mendefinisikan “manusia”. Kebudayaan dan manusia selalu liat, berlari, dan menghindar dari semua upaya akal untuk mengategorikannya dengan rigid.  Meskipun demikian, mengartikan kebudayaan diperlukan un

Kapal, Njaluk Duite!

Ilustrasi ADA beberapa kebiasan di masa kanak-kanak yang kalau teringat, saya kerap kali tertawa sendiri. Waktu masih seusia anak sekolah dasar, saya dan teman-teman riang betul saat ada kapal mabur (pesawat terbang) yang kebetulan melintas di atas langit. Kadang ada pesawat yang terbang tinggi hingga kelihatan kecil, kadang ada pula yang terbang agak rendah sehingga terlihat lebih besar.  Kadang ada pesawat yang terlihat tak berasap, tapi kadang pula ada yang mengeluarkan asap dari ekornya.  Betapa nikmat memandangi asap pesawat yang kian lama terus mengembang dan menghilang perlahan-lahan. Seperti bentangan coretan putih di papan tulis berwarna biru. Bila malam hari kebetulan pesawat yang lain lewat, tentu kelap-kelip lampunya juga menarik perhatianku. Tapi dari sekian ketakjuban, kegirangan yang sangat itu tak lain karena cerita-cerita yang terdengar di telinga bahwa pesawat yang lewat hanya punya satu tujuan: menebar uang kepada para penduduk bumi. Entah dari man

Riak Kecil Itu Bernama Essena O'Neill

Essena O'Neill SEORANG artis medsos, Essena O'Neill, dengan sangat dramatis meninggalkan dunia maya yang telah memberikannya ketenaran dan uang yang menjanjikan. Dramatis, karena selain meninggalkan dunia maya, perempuan cantik ini juga membuka sisi buruk media sosial dan kecanduannya. Dalam sebuah video di Youtube, O'Neill  dengan   blak-blakan mengatakan bahwa media sosial itu tidak nyata. Menurutnya, media sosial adalah sistem yang berlandaskan pada persetujuan sosial, suka. Penilaian berdasar pandangan serta keberhasilan mengumpulkan pengikut.  Pernyataan dari perempuan yang memiliki sekitar 612 ribu followers di akun instagramnya ini tentu mengundang banyak komentar.  Salah satu media menulis, O'Neill mulai aktif di dunia maya sejak usia 12 tahun dan pada usianya yang menginjak 18 tahun, pengikutnya mencapai ratusan ribu. Setiap unggahannya disukai dan dikomentari ratusan orang. Dia pun di- endorse produk kenamaan dan memperoleh banyak uang. Tapi semua

Untuk Ndu

Hari ini terik, Ndu Tapi tak sepanas kata-kata itu Semua tahu baunya busuk, sebusuk sampah Bahkan kemarin ada yang merapalnya dengan kejam Awalnya kukira satu atau dua saja Akhirnya menyusul tiga dan empat dan seterusnya Di tengah panasnya kemarau ini, Ndu Hanya cerita-cerita tentang Zam-zam yang terus menghiburku Aku bersyukur, kau juga sepertinya teduh Walau semua orang kampung tahu Energimu habis menahan amarah Percayalah, Ndu Hari ini kucium bau ampu di mana-mana Adakah hujan sudah turun di desa seberang? Ataukah perlu kubawa awan-awan kelabu itu ke rumah kita Agar tetesan airnya segera membasahi hatimu Tahukah, Ndu Bukan kebahagian yang membuatku terlena Tapi kepedihan yang membuatku terus terjaga Aku tersadar. Beban hidupku yang berat Menjadi ringan saat kutahu kau ada di sampingku Cirebon, 30 Oktober 2015