Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2016

Sekelumit tentang Perempuan di Dalam Grup Masres

PEREMPUAN yang ikut dalam grup seni masres atau sandiwara di Cirebon biasanya menempati tiga posisi, sebagai dalang (pemeran), penari dan juru kawi (penyinden). Jika dilihat dari kuantitasnya, jumlah perempuan di dalam grup sangat sedikit. Dari sekitar 50-an personel, hanya ada sekitar 3-5 perempuan di dalam grup. Penari dan penyinden jelas adalah peran yang dilakukan perempuan. Selain dua posisi itu, perempuan juga bisa menjadi dalang, meski dalam setiap pementaran hanya dibutuhkan 2-3 dalang perempuan. Biasanya mereka mendapatkan peran sebagai sosok yang cantik jelita, sosok ibu ataupun sosok antagonis semacam wanita sihir. Para perempuan masres ini bagi anggota grupnya adalah keluarga yang dituakan atau dihormati. Antar anggota grup terjalin hubungan kekeluargaan karena saban hari  mereka bekerja bersama dalam waktu yang relatif lama. Mereka juga, dengan perannya masing-masing, saling membutuhkan di dalam grup. Lazim pada sebuah grup masres kemudian seorang perempuan di

Kuitansi Man Abadi

Ilustrasi. Diambil dari diana-agustine.blogspot.com PAGI masih gelap saat sekelompok perempuan berangkat ke sawah untuk menanam padi. Setitik kabut dan tetesan embun memenuhi udara pagi yang dingin, menusuk tulang. Kaki-kaki mereka tak beralas meski jalan penuh dengan kerikil-kerikil tajam. Kadang mereka menghindari lubang yang tergenang hujan semalam. Tapi tak jarang ada satu atau dua orang yang lebih suka berjalan dengan memasukkan kakinya ke kubangan. Toh sama saja pada akhirnya seluruh badan akan kotor, terkena air tanah dan lumpur. Samar-samar terdengar suara orang mengaji dari pengeras suara masjid dan tajug. Satu sama lain bersahutan, yang satu terdengar keras yang lainnya sedikit jelas ada pula yang begitu lirih. Tapi kelakar perempuan-perempuan itu mengalahkan semuanya. Memang tak pernah ada keheningan saat perempuan berkumpul dalam satu tempat. Mereka selalu senang untuk saling bertukar informasi atau hanya sekadar bergunjing dan bergosip.

Banyak Hal Tentang Cirebon Bisa Dituliskan Secara Ringan

HAL yang kecil biasanya diabaikan dan dibiarkan berlalu begitu saja. Entah itu karena tidak penting, tidak berbobot atau memang remeh temeh. Tapi bagi seorang penulis dan wartawan, sebenarnya tidak ada hal yang kecil. Sebab, besar kecilnya sesuatu adalah sejauh mana daya nalar dan wawasan orang yang melihatnya. Satu peristiwa kebakaran bisa jadi kecil jika dilihat hanya sebagai peristiwa kebakaran. Tapi peristiwa kebakaran menjadi sangat besar jika kita bisa membongkar konspirasi pemerintah dan pengusaha di balik kebakaran tersebut. Kira-kira contohnya demikian. Jadi yang membuat besar dan kecilnya nilai tulisan bukan pada fenomenanya, tapi pada seberapa tajam pandangan kita terhadap fenomena tersebut. Seorang teman yang baru saya kenal, M Anis Hilmi, ngobrol barang sejenak di lobi kantor. Dia bercerita tentang banyaknya hal-hal kecil yang belum dituliskan secara menarik. Hal-hal kecil tersebut dia katakana menjadi menarik karena mempunyai nilai kelokalan dan keunikan yan

Cerita tentang Srabi, Mitos yang Diciptakan dan Gaya Marketing Orang Cirebon

SELALU saja ada yang menarik saat saya mencoba untuk ngobrol dengan para penjaja makanan di pinggir Jalan Raya Cirebon-Indramayu. Kemarin, sekitar jam setengah lima sore, saat tenaga matahari mulai melemah, saya dan istri yang sedang hamil jalan-jalan sore sambil mencari sekadar cemilan. Baru saja berangkat dari rumah kami di Desa Kapetakan dan melewati Kreteg Kembar langsung masuk daerah Desa Grogol, sebuah tenda kecil tempat jualan srabi (sorabi) di pinggiran jalan raya berhasil menarik perhatian. Kue klasik seperti srabi di zaman serba instan ini bagi kami seperti eksotisme pulau Prawan. Antik. Lidah yang terbiasa makan makanan berbungkus menarik pada akhirnya kangen juga mencicipi srabi yang sudah mulai langka itu. Begitu motorku berhenti tepat di samping penjual srabi, belum juga pantat bergeser dari jok, si pedagang srabi langsung menyergap dengan sapaan yang khas wong loran .  “ Gage mumpung masih anget, Dek,” katanya dengan penuh rayuan. Aku hanya senyu

Gemar dan Gembar-gembor Membaca

Sumber foto: merdeka.com SEJAK kemarin saya melihat banyak sekali perayaan dan hiruk pikuk seputar Hardiknas. Di seluruh daerah digelar apel dan mendengarkan pidato tentang tema pendidikan. Dari berita seorang teman, yang istimewa di Kabupaten Kuningan, panitia membuat acara khusus setelah apel dan di dalam acara tersebut ada satu acara yang cukup menggelitik, meski sedikit konyol. Tiba-tiba saja seluruh orang di acara tersebut diwajibkan membaca selama 10 menit. Sontak semua orang membaca apa yang bisa dibaca, kebanyakan koran, yang memang disediakan panitia. Tapi yang menarik dari adegan sepuluh menit tersebut adalah nikmatnya melihat beberapa orang (bisa dihitung dengan jari) yang memilih tidak membaca koran. Mereka lebih suka membaca buku yang mereka bawa sendiri. Adegan mengeluarkan buku dari tas, kemudian membacanya barang sejenak, bagi saya adalah pemandangan langka, setidaknya di negeri ini. Negeri yang indeks minat membaca masyarakatnya nungsep , hanya mencapa