Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2016

Hate Speech, Medsos dan Konflik

Sumber ilustrasi: hate-speech.org PADA zaman serba digital, ujaran kebencian ( hate speech ) dengan berbagai macam bentuknya seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, penghasutan ataupun penyebaran berita bohong meluncur dengan cepat. Sekali saja disebarkan, ribuan bahkan jutaan orang bisa terpengaruh. Ujaran kebencian melalui media sosial ataupun sebuah forum di internet tak pelak berpotensi sangat besar memicu konflik antar golongan. Dulu, tidak semua orang bisa mengabarkan informasi ke orang lain secara massif. Manusia perlu waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun untuk menyampaikan informasi hanya ke satu orang. Kini, dengan semakin pesatnya teknologi, semua orang bisa menyampaikan informasi dengan cepat. Bukan hanya itu, informasi bisa disebarkan kepada jutaan orang. Hal tersebut tentu menggembirakan karena kita jadi lebih efektif dan efisien dalam berkomunikasi dengan orang lain. Akan

Bertemu Nyi Mas Gandasari (2)

MAGELUNG   mengembara tak tentu arah. Tapi kakinya itu membawa dia berjalan ke arah barat laut dari tempat dia bertemu Sunan Gunung Jati. Langkah demi langkah dilewati hingga dia tiba di daerah yang disebut Selapandan. Semakin masuk ke perkampungan, dia menjumpai keramaian. Orang-orang berkumpul seperti sedang menyaksikan sebuah pertunjukkan. Ah, ternyata ada adu tanding digelar di tengah mereka. Sayembara yang diikuti orang-orang sakti mandraguna dari berbagai daerah itu digelar oleh Ki Ageng Selapandan atau Mbah Kuwu Cirebon. Orang-orang sakti tersebut bertarung, beradu kesaktian dengan seorang perempuan ayu jelita, Nyi Mas Gandasari. Meskipun perempuan, dia tak terkalahkan dalam sayembara tersebut. Nyi Mas Gandasari sering dikenal dengan nama Syarifah Muthmainnah, putri Syekh Datuk Soleh dari Kerajaan Pasai. Dia merupakan adik kandung Fadhilah Khan atau yang sering disebut Faletehan. Nyi Mas Gandasari konon dibawa serta Mbah Kuwu Cirebon saat dia pulang dari berhaji.

Anak Ketiga

Ilustrasi: arbamedia.com MEMBACA koran hari itu mengingatkan kejadian yang membuatku pilu. Kejadian yang menimbulkan sesal dan keprihatinan mendalam. Waktu itu, tetangga depan rumahku bekerja sebagai tenaga kerja luar negeri di Arab Saudi. Dia adalah Wati, seorang istri bagi suaminya dan ibu bagi kedua anaknya. Wati menyerahkan sepenuhnya segala urusan rumah tangga kepada suaminya, Dasman, selagi dia pergi ke tanah rantau mencari duit untuk keberlangsungan hidup dan kehormatan keluarganya. Tiba pada suatu hari, Wati pulang setelah beberapa lama bekerja di luar negeri. Dia pun disambut begitu hangat oleh keluarganya dan para tetangganya. Aku ingat betul, waktu itu aku pun ikut larut dalam kebahagiaan menyambut pahlawan devisa, tetangga depan rumahku itu. Aku ingat sekali Wati, tetanggaku itu. Aku kenal dia sejak kecil. Dia perempuan yang gesit dan lincah. Meskipun dia tidak pintar karena tidak sekolah, tapi dia ringan tangan. Sejak kecil dia tidak pernah menolak setiap d

Jejak Peristiwa Petrus di Cirebon

Cover majalah Tempo terbitan tahun 1983. BUKAN bermaksud sombong, tapi bolehlah cerita kalau saya termasuk ke dalam orang yang suka membaca buku, mencari informasi dan senang berdiskusi. Paling tidak itulah selintas yang sering diceritakan kawan seperjuangan. Tapi segala itu, seolah tak ada artinya saat duduk-duduk di jondol bersama-sama orang kampung di desa saya.   Bagaimana tidak, saya yang selama bertahun-tahun sekolah dan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dari orang-orang kampung ternyata tak tahu apa-apa tentang peristiwa yang begitu membahana. Peristiwa di kampungku sendiri, di dekatku, bahkan sangat dekat. Mereka sering menyebut peristiwa itu dengan nama Petrus . Perlu hidup 25 tahun bagi saya untuk sek a dar men dengar riwayat peristiwa keji itu. Di Desa Kertasura Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, tepatnya di Blok II Siwalan ada sebuah jondol. Jondol adalah semacam balai persegi yang ditopang empat buah tiang dari kayu dolog atau bisa juga bam

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Tuhan Umat yang Mendengar

Sumber foto: kompas.com PAK Handoyo selalu mencari kata-kata yang pas untuk melukiskan sesuatu yang tak terlukiskan. Dia mengejar kepastian dari gelombang-gelombang bunyi yang menggetarkan jiwanya. Puluhan tahun menjadi seniman membuat telinganya sangat akrab dengan tetabuhan gamelan. Alat musik yang mengeluarkan bunyi mistis tersebut dipercaya masyarakat diciptakan para wali. Wali membuat perangkat gamelan dengan perhitungan sempurna dan matang.  Hasilnya, setiap bunyi yang keluar akan menghasilkan nada yang menghanyutkan. Konon katanya, nada-nada itu memanggil orang datang ke pagelaran semisal wayang dan mereka merelakan diri masuk Islam untuk mengenal Tuhan lebih dalam.  Hingga sekarang, setiap Muludan tiba, gamelan di Cirebon yang disebut gong sekati ditabuh. Orang-orang berduyun-duyun datang. Bahkan orang-orang dari Trusmi rela berjalan kaki puluhan kilometer untuk mendengarkan alunan yang 'memabukkan' itu.  Tuhan benar-benar merasuk dalam kalbu mereka lewa