Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2016

Dampu Awang dan Celaka Cinta yang Dipaksakan

Situs Dampu Awang di Lebak Since. Dok: pribadi. HAMPIR semua daerah di pesisir utara Jawa yang dulu menjadi pelabuhan internasional terkemuka lekat dengan legenda tentang seorang saudagar dari Tiongkok, Dampu Awang. Legenda ini berkembang dan mempunyai jalan cerita sendiri dari mulai daerah Rembang, Kedu, Tuban hingga Cirebon dan Indramayu. Setiap daerah mempunyai versi sendiri-sendiri, akan tetapi intinya adalah Dampu Awang adalah seorang saudagar kaya dari Tiongkok yang ikut dalam pelayaran besar Laksamana Ceng Ho.   Salah satu versi cerita Dampu Awang yang berkembang di Cirebon meyakini bahwa pedagang Tiongkok tersebut jatuh hati pada Nyi Mas Gandasari dari Panguragan. Nyi Mas Gandasari sendiri merupakan putri angkat dari Pangeran Cakrabuana, salah seorang putra Prabu Siliwangi yang menyebarkan agama Islam di Cirebon. Alkisah, cinta Dampu Awang tak berbalas. Nyi Mas Gandasari pun menolaknya tapi Dampu Awang selalu memaksakan kehendaknya tersebut. Akhirnya, atas

Menyebar Kebencian Karena Tidak Paham

SAAT mesantren, sering sekali saya mendengar pepatah Arab yang mengatakan bahwa ilmu itu sejatinya ada di dalam dada, di hati dan pikiran orang, bukan apa yang tertulis di dalam buku. Al-‘ilmu fi ash-shuduur laa fi as-suthuur . Ilmu akan bermanfaat jika dia dipahami, bukan yang tergeletak percuma di atas kertas. Demikianlah kiranya pesan kyai dan ustadzku di pesantren dulu. Kisah-kisah para cendikiawan muslim pun kerap saya dengarkan di pesantren tentang pesan mendalam bagi para pencari ilmu tersebut. Adalah kisah Imam Ghazali, pengarang besar yang sempat bepergian dari Jurjan ke kota Thus yang pernah aku dengarkan. Dalam perjalanan tersebut, dia dirampok. Dan dari sekian banyak harta yang dirampas darinya, dia menyesalkan banyaknya buku-buku yang dibawa kawanan perampok.   Alkisah, Al-Ghazali tidak rela jika buku-bukunya yang berisi banyak sekali ilmu tersebut dirampas darinya, akhirnya di pun mengikuti kawanan perampok tersebut. Meski buku tersebut akhirnya dia peroleh

Waktu, Oh Waktu

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:// memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga// sampai pada suatu hari// kita lupa untuk apa.// “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”// tanyamu.// Kita abadi. (Perahu Kertas, Kumpulan Sajak Sapardi Djoko Damono  1982) PADA setiap pergantian tahun, saya selalu mengingat puisi luar biasa dari Sapardi Djoko Damono ini. Saya melihat gambaran betapa dinginnya manusia. Romantisme dalam puisi itu tak bisa menutupi kegelisahan penyairnya tentang betapa manusia ingin menguasai segalanya, ingin menggenggam dunia ini, ingin mengatasi yang tak terkuasai. Sapardi dengan sangat jeli membaca fenomena manusia di zaman ini, mencermati kita yang berada di zaman modern yang serba terkategorisasi. Zaman ketika orang-orang di dalamnya punya kehendak kuat untuk mengontrol semesta, termasuk yang paling canggih adalah mengatur ritme kehidupan. Jelaslah dia tahu bahwa sepanjang sejarahnya, manusia selalu berusaha menciptakan konsep wakt