Skip to main content

Waktu, Oh Waktu


Yang fana adalah waktu. Kita abadi://memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga//sampai pada suatu hari//kita lupa untuk apa.//“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”//tanyamu.//Kita abadi.
(Perahu Kertas, Kumpulan Sajak Sapardi Djoko Damono  1982)

PADA setiap pergantian tahun, saya selalu mengingat puisi luar biasa dari Sapardi Djoko Damono ini. Saya melihat gambaran betapa dinginnya manusia. Romantisme dalam puisi itu tak bisa menutupi kegelisahan penyairnya tentang betapa manusia ingin menguasai segalanya, ingin menggenggam dunia ini, ingin mengatasi yang tak terkuasai.

Sapardi dengan sangat jeli membaca fenomena manusia di zaman ini, mencermati kita yang berada di zaman modern yang serba terkategorisasi. Zaman ketika orang-orang di dalamnya punya kehendak kuat untuk mengontrol semesta, termasuk yang paling canggih adalah mengatur ritme kehidupan.

Jelaslah dia tahu bahwa sepanjang sejarahnya, manusia selalu berusaha menciptakan konsep waktu untuk mengatur dirinya agar ‘sesuai’ dengan perjalanan semesta. Semesta bergerak, dan manusia tidak ingin hanya ikut bergerak, melainkan juga sadar dalam pergerakannya. Manusia perlu sadar bahwa dia berada pada garis waktu yang tidak ajeg, terus bergerak.

Alam tidak bisa berdamai, oleh karenanya yang mungkin adalah menyiasati diri agar sesuai dengan gerak alam. Keteraturan dan siklus yang membuat manusia mencipta konsep tentang musim, tentang hari, malam, tahun, bulan, jam, menit dan detik. Semua diatur lewat konsepsi dan konsensus. Manusia pun mengontrol alam, tapi sejatinya kita sedang mengontrol diri sendiri agar selaras dengan alam.

Sapardi juga mengingatkan bahwa kita jangan terjebak pada konsep tapi lupa pada yang isinya. Baginya, waktu yang ‘dirangkai’ dengan sangat indah dan digubah sedemikian rupa itu tetap penuh kepalsuan bila melupakan manusia. Ya, waktu yang kita cipta bagai berhala itu menghempaskan kemanusiaan kita. Padahal, waktu itu fana, manusialah yang sebenarnya ada.  

Hasrat mencipta waktu sejatinya adalah hasrat membekukan dunia. Segala gerak kehidupan perlu terjadwal, ketertinggalan adalah setan yang menakutkan, lalu muncul kepedihan dan penyesalan. Kita pun memaksakan diri dengan disiplin tinggi agar tak ada pedih dan penyesalan kemudian. Tapi sedih tak akan pernah berlalu, bukan? Tak ada manusia yang tak sedih dan menyesal. Untaian waktu membuat kita sedikit arogan dan merasa bisa sempurna, seperti dewa-dewa, atau bahkan Tuhan yang berada di atas sana.

Waktu telah menjelma menjadi sesuatu yang mencekik dan menyeramkan. Dalam tradisi Arab disebutkan bahwa waktu bagai pedang. Siapa saja yang mengabaikan waktu, maka dia akan tertebas olehnya. Sementara dalam tradisi Barat yang lebih materialis, waktu menyerupa uang. Waktu, dengan begitu, adalah kekuasaan. Kita takut menjadi lemah dan oleh karenanya begitu takut pada waktu. Kita takut tak sejalan dengan ritme alam, ketinggalan kereta dan sendirian.

Menyaksikan ketundukan manusia pada waktu seperti menonton film Terminator yang dibintangi Arnold Schwarzenegger. Hahaha, betapa tidak, kita takut pada apa yang telah kita ciptakan sendiri. Terminator, sosok robot penghancur manusia menjadi momok yang menakutkan. Padahal yang membuat prototipe terminator adalah manusia, robot dengan kemampuan berfikir, AI (Artificial Intelligence).

Waktu pun kian lama kian menjelma menjadi patokan kepastian dari perjalanan hidup yang ambigu dan paradoks. Ialah penguasa kita yang sebenarnya. Ia menjadi hakim bagi makhluk yang menua, yang tunduk pada hukum tata surya. Manusia berhenti, dibunuh matahari, sementara waktu tetap berjalan hingga titik terakhir. Tapi kita terus bermimpi agar bisa membekukan waktu dan mengakhiri kelemahan manusia dalam memahami keberadaannya. Semuanya mesti bisa terjelaskan.

Karena waktu, hidup kita jadi makin hambar dan pemberontakan terhadapnya sudah terjadi di mana-mana. Tapi waktu tetap ada dan menjadi primadona. Dalam cerita yang berbeda, orang-orang pun membunuhinya dengan berjalan-jalan tak karuan arah. Kita sekarang sudah tahu cara membunuh waktu. Bahkan sudah lebih canggih karena mencipta waktu, membunuhnya dan menghidupkannya kembali lalu kita bunuh lagi, dan seterusnya. Kita bisa mempermainkannya. Siklus menghidupkan dan membunuh waktu inilah yang membuat dunia semakin ramai saja.

Lucunya, setiap pergantian tahun kita merayakannya, seakan-akan kita bakal berada di ruang waktu yang berbeda dari yang sekarang. Itu mimpi saja. Tapi, manusia suka sekali dengan mimpi, harapan dan cita untuk lebih baik. Yang baik itu seperti apa? Tak ada yang pernah mengetahuinya, karena mimpi itu tak akan pernah selesai dan sampai. 

Puncak mimpi-mimpi itu adalah surga, suatu tempat yang paling tidak bisa dipercaya. Kalau ada mungkin surga adalah sebuah perjalanan. Bisa jadi dia adalah sebuah bus, kereta atau pesawat terbang yang maha besar. Bukan seperti kata Borges yang mengandaikan surga serupa perpustakaan. Perpustakaan hanya membawa kita dalam sebuah perjalanan imajiner, saya mengandaikan perjalanan itu nyata adanya.

Sebentar lagi, ya sebentar lagi, kita akan merayakan tahun baru. Lalu ada ulang tahun, ada acara harian, acara mingguan, acara bulanan, ada perayaan-perayaan rutin setiap tahun, ada hari ibu, hari bapak, hari anak, hari ini dan hari itu. Sepertinya hari-hari, pesta-pesta, upacara-upacara, perayaan-perayaan itu merupakan wujud nyata gugupnya kita menghadapi semesta. Transisi waktu yang fana itu selalu membuat kita frustasi, kita butuh liburan dan pesta. 

Atau paling tidak, ada kepastian akan masa depan yang tak pernah bisa terlihat. Orang dulu ingin merengkuhnya dengan ruwat, orang di zaman ini mengatasinya dengan asuransi dan manajemen risiko. Itu semua karena kita ingin kebahagiaan mesti ada dan berdiri di sana, pada seluruh ketidakpastian kehidupan masa depan. Waktu membuat kita mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Itulah manusia, dan itulah persenggamaannya dengan ciptaannya, waktu.***

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: