Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Artikel

Buya Husein dan Kegelisahannya

SETIAP kali ngobrol dengan Buya, otakku berdegup kencang. Ngos-ngosan seperti kuli angkut pelabuhan yang kelebihan beban. Bagaimana tidak, yang dia obrolkan masalah-masalah kelas kakap. Berat. Masalah peradaban. Sesuatu yang bagi kebanyakan orang, mungkin akan bilang kurang kerjaan. Kok mikiri sesuatu yang bukan urusanku, ngawang-ngawang atau mikiri jeh kang langka duit e (memikirkan yang tidak mendatangkan uang), atau mikiri jeh nasib orang lain. Iya, tapi itulah KH Husein Muhammad. Orang-orang di sini suka memanggilnya Buya Husein. Saya sangat sering bertemu dan ngobrol dengan Buya. Dari setiap obrolan dengan tema yang berbeda dari mulai gender, demokrasi, pluralisme, hingga isu-isu aktual, saya menangkap ada hal yang menggelisahkan beliau. Kegelisahan inilah yang membuatnya tak pernah berhenti berpikir, membaca literatur masa lampau untuk kemudian menuliskan hasil refleksinya. Buya mengatakan bahwa umat Islam masih dibayangi masa lalu. Dia tak habis pikir, kenapa ...

Bendera

"Semakin ringkas suatu konsep, semakin dia jauh dari realitas." Begitulah kata seorang fisikawan yang akhirnya jatuh cinta pada filsafat Tao, Fritjof Capra. Realitas memang terlalu kompleks untuk bisa diringkas dalam sebuah konsep mati. Seperti kata-kata, maupun simbol-simbol tertentu. Tapi kita tak nyaman terus bergumul dengan realitas. Realitas terlalu sulit untuk dipahami akal. Terlalu ambigu. Terlalu kompleks. Terlalu banyak yang membingungkan. Representasi kita atas realitas jauh lebih mudah dipahami ketimbang realitas itu sendiri. Lambat laun, pelan tapi pasti, kita menganggap konsep itu sebagai realitas. Dalam momen-momen tertentu, kita selalu tergoda untuk lebih mempercayai konsep dibandingkan realitas. *** Andai kita menginjak kain, tak akan ada yang marah. Tak bakal ada seorang pun menyalahkan. Berwarna hijaukah kain itu. Ataukah merah. Atau biru. Atau putih. Atau apapun. Tapi ketika ada kain berwarna merah dan putih yang di...

Tarling Dariah; Spiritualitas Syattariyah dalam Lirik Lagu "Gambaran Urip"

Gambarane wong urip n in g alam dunia (G ambaran manusia hidup di dunia ) Lir upama wayang kang lagi cerita (S eperti wayang yang sedang memainkan cerita) Ora daya lan ora upaya (T idak ada daya dan upaya ) Terserah dalang kang duwe kuasa (T erserah dalang yang punya kuasa ) ***  Bait di atas bukan puisi, bukan pula senandung lirih para salik. Ia adalah lirik lagu tarling. Iya, tarling. Lirik yang dinyanyikan bersama alunan gitar, suling, dan seperangkat alat musik lainnya. Musik tarling dangdut yang berkembang di wilayah Cirebon, Indramayu, dan sekitarnya identik dengan kesan seronok dan vulgar. Tak jarang para penyanyi musik ini mengenakan pakaian minim saat beraksi di atas panggung. Meski tidak semua, tapi citra itu terlanjur melekat. Untuk fenomena satu ini, k ita sering menyalahkan para pelaku seni. Saya pun kerap berpikir demikian. Bagaimana tidak marah? Pertunjukkan tarling di zaman ini sudah bertransformasi menjadi ‘organ dangdut...

Islam Cirebon

Cerita mengenai putusnya rambut Syekh Magelung oleh Sunan Gunung Jati bisa diinterpretasikan untuk tujuan mengetahui watak Islam yang dikembangkan di Cirebon pada masa itu. Salah satu sumber lokal dari Desa Karangkendal mengatakan bahwa Syekh Magelung datang ke tanah Jawa tidak dengan tangan hampa, melainkan membawa dua perahu besar. Perahu pertama bermuatan bahan makanan dan perbekalan selama perjalanan dari Suriah ke Jawa. Perahu kedua berisi kitab-kitab ajaran Islam yang hendak ia pakai selepas berlabuh di pulau Jawa. Informasi ini tidak terdapat dalam naskah maupun buku-buku yang menjadi rujukan utama sejarah Cirebon. Sesampainya di pesisir Cirebon, Syekh Magelung yang hendak menyebarkan Islam dengan kitab-kitab agamanya itu diberikan saran yang mendalam dari seorang yang mendiami daerah tersebut. Orang tersebut mengatakan bahwa orang Jawa tidak memerlukan banyak kitab karena yang dibutuhkan orang Jawa adalah dua kalimat syahadat. Ahmad Hamam Rochani membeberkan keberat...

Dewi Sri Minggat

Entahlah kodrat atau bukan, manusia sejak zaman kuno merasa bahwa kehidupannya selalu dihantui dengan kecemasan, ketidakpastian, dan tentu saja kematian. Inilah yang menjadi pijakan para penelaah peradaban kuno untuk membaca kemunculan tuhan dan hal gaib lainnya dalam kehidupan manusia. Dalam pembacaan para peneliti itu, manusia kuno percaya bahwa di luar sana ada sesuatu yang mengatasi semua kelemahan. Ada realitas yang mengatasi semua keterbatasan manusiawi. Itulah para dewa, tuhan, sesuatu yang adikodrati. Mereka juga percaya bahwa manusia juga bisa menjadi seperti seperti dewa dengan melakukan metode hidup yang benar. Mereka percaya dengan terlibat dalam kehidupan yang suci, dengan meniru cara-cara dewa, manusia biasa bisa menjadi manusia sejati. Dewa selalu diidentikkan bersemayam di langit, tapi untuk mewujudkan kekuatan mereka di dunia, manusia mereplikasi para dewa ke dalam alam nyata dalam bentuk kuil, festival, perayaan dan ritual harian. Dengan begitu, dunia manusia a...

Empat Pendekar Mekah Sebelum Nabi

SAAT Mekah mulai berubah dari kota semi-Badui menjadi kota dengan peradaban yang lebih maju, suku-suku kecil di sekitar mulai berurbanisasi ke Mekah. Mekah menjadi tujuan banyak orang. Mekah semakin ramai dan perdagangan ke daerah Syiria dan Yaman pun semakin menguntungkan. Orang-orang kaya mulai membangun rumah mereka dengan bentuk persegi, hal yang sebelumnya dilarang karena takut akan menyerupai Ka’bah. Pelan-pelan, norma dan nilai masyarakat telah bergeser. Masyarakat Mekah benar-benar menikmati status barunya sebagai kota terbesar di Arabia. Hal itu tak lepas dari modal agama dan ekonominya. Status inilah yang membuatnya tetap mandiri dan merdeka dari kekuasaan Bizantium dan Persia saat kota-kota lain seperti Sanaa’ di Yaman takluk. Semakin cepat perubahan situasi di Mekah mengatrol perubahan tingkah polah masyarakatnya. Kemakmuran membuat mereka suka mabuk dan berjudi. Pesta-pesta di dekat Ka’bah dengan mengundang seorang penyair sudah menjadi kebiasaan. Tapi yan...

Memberantas Korupsi di Daerah

PERTENGAHAN Maret 2017 kemarin, publik dihebohkan dengan turunnya penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Kota Cirebon. Mereka memeriksa beberapa orang pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon terkait penjualan tanah di Jalan Cipto.  Meskipun kasus ini masih terlalu dini untuk disimpulkan tapi ini cukup membuat masyarakat terperanjat. Apalagi mengingat Cirebon mempunyai catatan yang tak terlalu baik ihwal tindak pidana korupsi. Ingatan publik tentu tak akan pernah lupa dengan tragedi korupsi yang pernah menjerat sekitar 30-an anggota DPRD Kota Cirebon periode 1999-2004. Kasus korupsi ini menjadi korupsi paling besar dalam sejarah pemerintahan Cirebon. Korupsi ini dilakukan secara berjamaah dan tentu saja mencoreng muka ‘kota wali’ ini. Tidak cukup sampai di situ, pada 2010 Transparency International Indonesia (TII) merilis Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK-Indonesia). TII membidik pelaku bisnis di 50 kota dengan total 9.237 responden. Dan Kota ...

Perempuan Bukan Manusia Kedua

  Ilustrasi: Pixabay ADA yang menarik saat Menteri Luar Negeri RI, Retno LP Marsudi menerima penghargaan dalam acara yang digelar Badan Perempuan PBB dan Forum Kemitraan Global di Markas Besar PBB, Manhattan, New York, AS, Rabu 20 September 2017 lalu. Dalam sambutannya, Retno mengatakan bahwa sebagai perempuan dia dikaruniai naluri keibuan.  Dengan naluri itu, dia menjalankan tugas-tugasnya. Menteri Luar Negeri RI perempuan pertama itu yakin, semakin banyak naluri positif itu digunakan, dunia akan semakin damai. Menurut saya, pernyataan Ibu Retno ini secara tersirat menghadirkan kembali sebuah narasi perlawanan femininitas terhadap hegemoni maskulinitas. Bahwa sifat keperempuanan itu tak selamanya lemah dan berada di bawah sifat kelaki-lakian. Bisa jadi, justru sifat keperempuanan itulah yang akan mengubah dunia menjadi lebih baik.  Jauh sebelum zaman ini, perempuan memang dipercaya sebagai aktor penting yang membuat kehidupan menjadi makmur. Dalam mitol...