Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2019

Perempuan yang Ingin Membakar Surga

SATU hari, perempuan itu berlari melintasi kota Basrah dengan membawa seember air di tangan kanan. Dan obor menyala di tangan satunya. Sungguh pemandangan aneh. Hingga orang-orang Basrah yang menyaksikan peristiwa tersebut bertanya kepadanya. Kenapa dia lakukan itu? Perempuan itu pun menjawab: "Aku ingin menuangkan air ke dalam neraka dan mengobarkan api di surga. Sehingga kedua selubung itu lenyap dan tak seorang pun akan menyembah Tuhan karena takut neraka atau mengharapkan surga." "Melainkan semata-mata demi keindahan-Nya yang abadi." Siapa gerangan perempuan itu? Dialah Rabi'ah al-Adawiyyah, sang asketik pertama yang lebih tertarik menaklukkan kerajaan di dalam dirinya dibandingkan menaklukkan kerajaan-kerajaan di dunia.[]

Dunia Arketipal dan Imaji Manusia Modern

BUKU Tuhan (Karen Armstrong) selalu menarik bagi saya. Buku ini saya baca berkali-kali dan setiap kali membacanya kembali tak ada rasa bosan sedikitpun. Salah satu kelebihannya, meski menampilkan data-data yang sangat banyak, pembaca awam seperti saya bisa mengikutinya dengan mengasyikkan. Sebab buku disajikan dengan gaya bertutur. Saya seperti sedang membaca novel. Salah satu yang menarik dipaparkan di awal bagian buku tentang bagaimana para sarjana mencari jejak-jejak pemikiran manusia (ide) tentang Tuhan. Karen mengutip Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God (1912), bahwa telah ada satu bentuk monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah dewa. Menusia mulai mengakui adanya Tuhan Tertinggi yang mengatur kehidupan dari kejauhan. Kadang-kadang disebut sebagai Tuhan Langit, yang diasosiasikan dengan ketinggian. Anehnya, Tuhan tidak pernah hadir dalam kehidupan dan dia tak pernah tampil dalam penggambaran. Dia tak bisa diekspresikan dan tak dapat dicerna

Pesantren, Kelisanan, dan Kearifan Menerima Perbedaan

PADA suatu siang yang terik, tiba-tiba saja saya dikejutkan sebuah pertanyaan yang cukup pelik. Pertanyaan itu sebenarnya sederhana tapi jawabannya cukup membuatku terkesiap. Salah seorang teman dari Ibu Kota sedang melakukan penelitian tentang radikalisme di Cirebon. Dia meluncurkan sebuah pertanyaan: “Kenapa santri tidak menjadi radikal, padahal kitab kuning yang diajinya mempunyai pandangan radikal?” Sebagai orang yang pernah nyantri, tentu saya sedikit kesal dengan pertanyaan ini. Tapi kemudian saya paham, kawan saya itu berasal dari latar belakang ormas agama yang berbeda. “Tidak ada kitab kuning yang radikal,” jawab saya spontan saja waktu itu. Kemudian temanku itu menyebutkan satu judul kitab. Saya pun sedikit berpikir ulang. Benar juga. Kitab tersebut bisa dikatakan radikal dalam arti isinya mengandung larangan banyak hal yang sampai hari ini justru masih dipraktikkan orang-orang Islam di Indonesia, seperti bermain musik, menabuh gendang, meniup seruling. Dan seba

Penulis dan Pengetik

ADA -ada saja. Sebuah pertanyaan meluncur dari mulut seorang kawan. Dia tetiba bertanya, "apa bedanya penulis dengan pengetik?" Hah. Jujur baru dengar ada istilah pengetik. Saya pun bertanya pada dia, "tukang ketik kalee. bukan pengetik." "Bukan tukang ketik. Tapi pengetik," katanya. "Tahu ngga jawabannya?" cerocos dia. Dan saya pun diam menunggu temanku itu ndermemel menjelaskan apa perbedaan penulis dan pengetik. Dan inilah penjelasan dari belio. *** Penulis itu amat cinta dengan kata-kata. Dia akan berhati-hati dengan setiap kata yang dia tulis. Sekali tulis akan susah dihapus. Penulis dibesarkan bersama dengan pena yang goresannya sulit dihapus. Permanen. Orang yang menulis tentu tak ingin tulisannya yang "abadi" itu dibaca orang lain dengan respon yang negatif. Tiap kata kalau bisa diukir dan dipikir masak-masak, direnungkan baik buruknya. Baru kemudian ditulis. Nah, pengetik hidup dalam iklim yang b

Kengulu, Kesel, dan Betapa Indahnya Indonesia

TERNYATA saya baru tahu, setelah sekian lama tinggal di Cirebon, dan menikah dengan dengan orang Cirebon, istriku masih belum ngerti istilah dalam bahasa Cirebon: KENGULU atau KANGULU. Haha.. saya ketawa saja saat dia coba menerka-nerka, apa itu KANGULU? Padahal kan istriku itu orang Brebes, tak jauh jaraknya dari Cirebon. Tapi ternyata masalah bahasa ada banyak kosakata yang berbeda. Saya juga kadang tak tahu beberapa kosakata orang Brebes. Bukan hanya masalah perbedaan logat. Pernah suatu hari, saya nambal ban di daerah Dumeling, tak jauh dari rumah mertua saya. Di situ orang yang nambal ban mengatakan kalimat yang saya keliru memahami maksudnya. Dia bilang, "KESEL ya mas ndorong motor e adoh," dengan logat Brebes yang khas. Akhir-akhir saya baru tahu kata KESEL itu artinya capek. Bukan kesal, marah, atau geram. Pantes waktu itu obrolan saya dengan tukang tambal ban itu jadi ngga nyambung. Haha.. Desaku, Kertasura, terletak di kecamatan paling utara d

Filsafat Ngawur

FILSAFAT itu bukan hanya akal. Juga tak cuma teori. Ia adalah hubungan erat antara teori dan praksis kehidupan. Karena tidak ada cara berpikir atau pengetahuan yang bisa melampaui sejarah, filsafat sekalipun. Teori-teori para filsuf selalu terkonteks meskipun sang filsuf menghendaki hal yang berbeda. Sebab tak ada manusia (filsuf termasuk manusia juga toh) yang bisa keluar dari ruang dan waktu. Itulah kenapa filsafat selalu terkonteks. Filsafat lahir dari pergumulan manusia dengan realitas. Ia bukan seberkas cahaya yang tiba-tiba turun menyinari pikiran manusia tanpa alasan. Maka teori-teori filsafat yang melangit itu harus selalu dibaca sepaket dengan realitas praksisnya. Andai tidak begitu, filsafat hanyalah hafalan atau metode berpikir yang ngawang-ngawang. Jadi kalau ada orang yang bicara teori filsafat tanpa memahami konteks mungkin dia baru belajar filsafat. Atau mungkin filsuf karbitan yang caper, alias cari perhatian. Seperti kebanyakan alasan mahasi

Kinjeng

SALAH satu hobi saya sewaktu kecil di kampung nan asri, blok Siwalan, Desa Kertasura adalah berburu capung. Orang-orang di daerahku menyebutnya 'kinjeng'. Orang berbahasa Inggris menyebutnya 'dragonfly'. Bisa dikatakan, hampir setiap hari, terutama saat musim kinjeng, saya paling senang memburunya. Sekadar untuk mainan ataupun untuk kasih makan ayam di rumah. Dulu masih banyak karang (tanah) yang berpohon lebat, suwung. Tak jarang saya dan kawan-kawan ngrusuk2 untuk sekadar nagrup (menangkap) kinjeng. Kinjeng sering ditemukan sedang hinggap di daun, ranting-ranting, atau dahan pohon. Pohon asem, mangga, jambu, kersem, ketapang, bambu, padi, kangkung, rumput ilalang, hingga gayam. Karakter kinjeng karang suwung adalah suka tidur. Lebih mudah ditangkap. Tapi harus hati-hati juga, sebab kalo berisik sedikit bisa langsung kabur dia. Berbeda dengan kinjeng karang, kinjeng di lapangan terbuka, sungai, atau hamparan sawah terlihat lebih liar. Kinjeng di

Penyembah Berhala

MANUSIA memuja Dia Yang Maha Kuasa. Sebagai kekuatan yang tiada tara, Adi manusia. Karena begitu luhurnya, Dia tak terjamah dan tercerna akal. Manusia itu terbatas dan nisbi. Penilaiannya terhadap sesuatu tak pasti, tak mutlak dan tak ajeg. Hanya Tuhan yang mutlak benar. Tapi manusia tak kuasa diam dalam ketiadaan Tuhan. Mereka pun mencipta patung-patung sebagai media mendekatiNya. Sebagai alat untuk selalu bersama. Sebagai media untuk sampai kepadaNya. Lambat laun, patung sebagai media itu menggantikan Tuhan sebenarnya. Tanda-tandanya jelas, patung sebagai ciptaan manusia lebih dimuliakan dibandingkan manusia yang merupakan ciptaan Tuhan. Manusia dibunuh dan direndahkan demi melestarikan pemujaan berhala. Ini sudah keliru. Manusia lupa pada kodrat kemanusiaannya. Para Nabi mengingatkan kita untuk kembali padaNya. Perlakuan kepada manusia pun kembali pada jalan mulia. Derajat orang-orang fakir, miskin, dhuafa, para jompo, perempuan dan siapapun yang te

Manusia Artifisial

DI tengah membaca buku Karen Armstrong, ada satu paragraf, di mana saya berhenti cukup lama meresapi maksud dan berpikir pikir tentang diri. "Manusia sangat bersifat artifisial. Kita terus-menerus berusaha untuk memperbaiki alam dan mendekati yang ideal. Bahkan pada masa kini, ketika kita telah meninggalkan filsafat perenial, orang secara membudak mengikuti perkembangan mode dan bahkan melakukan kekejaman terhadap wajah dan tubuh mereka agar dapat mereproduks standar kecantikan saat ini. Kultus selebritas menunjukkan bahwa kita masih memuja para model yang menjadi perlambang "manusia super". Orang kadang mau berpayah-payah untuk berjumpa dengan idola mereka, dan merasa melayang-layang dalam kehadiran sang idola. Mereka meniru cara berpakaian dan berperilakunya. Tampaknya manusia secara alamiah cenderung ke arah yang arketipal dan pardigmatik."[]