Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Sajak

Lusa, 100 Hari Kamu

Aku terbayang lagi wajahmu Yang wujudnya tak bisa lagi dimengerti Apinya telah padam, menjelma gelap Tapi panasnya tak juga hilang Tangis dan jeritanmu waktu itu Mengiris-iris seluruh badanku Sakitmu itu kini tak lagi nampak Tapi ngiluku bersemayam semakin dalam Kau anakku dan aku ayahmu Dan kau sendirian di sana Katanya di surga Katanya akan memanggil kami, bersamamu Benar tidaknya tak peduli Tapi kau anakku dan aku ayahmu Aku sakit setiap mendengar laramu Ngilu ini sungguh menyiksa Bagaimana bisa aku menjerit untuk melepaskannya Sementara orang-orang di sekitarku tak melihatmu Lusa 100 harimu Saat ini, di atas kereta kau duduk di sampingku Dan kuciumi pipimu Kusapu rambutmu dengan tanganku Dadaku berdetak kencang Tanganku gemetaran Kakiku kaku Mataku berlinang kenangan Kupeluk tubuhmu yang ringkih Tak ada kehangatan Tersisa hanya dingin Kau sekejap menjadi angin Aku menangisi diriku sendiri Anggit, kemarilah Kau tahu, aku sedang berkalang ...

Ke Pelabuhan

AKU sering mengajaknya ke pelabuhan. Melihat deburan ombak kecil, laut biru, dan kapal-kapal besi yang congkak. Sesekali terlihat juga para pemancing ikan. Tapi tak sekalipun aku lihat mereka mendapatkan tangkapan. Mungkin hanya membunuh waktu. Pemuda kurus terlihat sedang mengecat lambung kapal. Tak jauh dari sana, seorang gadis sedang mendayung kano. Matanya sesekali menatap pelatihnya yang sedari tadi teriak-teriak sambil mendekatkan kedua telapak tangannya ke mulut, membentuk sebuah corong. Aku sering membawanya ke pelabuhan. Di pesisir timur Kota Cirebon. Untuk sekadar melepas lelah dan membicarakan hal-hal yang tidak serius. Perempuan yang sekarang menjadi istriku itu senang sekali setiap kali aku ajak ke Pelabuhan. Angin sepoi-sepoi mengingatkannya pada kampung halaman. Bau air laut membawanya menerabas jarak, menemui Ibu, untuk kemudian memeluknya erat. Ke laut, dia melepas rindu pada tanah kelahiran. Sementara aku selalu terpukau oleh horizon. Ia...

Hanya Padamu

Siapa ... Siapa yang dapat menolong? Saat kau tak bisa minta pertolongan Saat pertolongan menjadi tidak mungkin Saat manusia-manusia hanya bisa mendengar Saat teman dan sahabatmu tak kuasa Saat saudara dan sekutumu tak juga datang Kepada siapa kau mengadu? Saat cerita hidupmu terlalu kelam Penderitaanmu tak mungkin dimengerti Bahasa ucapmu terlalu lirih tak terdengar Atau cintamu pada kefanaan terlalu dalam Ketika semua; saya, kamu dan kalian sama saja menderita dan sakit tak berdaya Hanya padamu Hanya namamu Duh, Gusti Pengeran Kau yang tak pernah lelah mendengar keluh kesah Kau yang tak pernah menolak permohonan Kau yang tak keberatan dimintai tolong Kau tempat segala harapan tertambat Duhai, Gusti Aku hambamu yang lemah Sendiri dalam ladang derita Temanku dekat tapi tak ada Ayah ibuku menemani tapi tak pernah berarti Tangan-tangan ahli di samping badan tapi semuanya tak menyurutkan duka Dengan sisa-sisa pengha...

Untuk Ndu

Hari ini terik, Ndu Tapi tak sepanas kata-kata itu Semua tahu baunya busuk, sebusuk sampah Bahkan kemarin ada yang merapalnya dengan kejam Awalnya kukira satu atau dua saja Akhirnya menyusul tiga dan empat dan seterusnya Di tengah panasnya kemarau ini, Ndu Hanya cerita-cerita tentang Zam-zam yang terus menghiburku Aku bersyukur, kau juga sepertinya teduh Walau semua orang kampung tahu Energimu habis menahan amarah Percayalah, Ndu Hari ini kucium bau ampu di mana-mana Adakah hujan sudah turun di desa seberang? Ataukah perlu kubawa awan-awan kelabu itu ke rumah kita Agar tetesan airnya segera membasahi hatimu Tahukah, Ndu Bukan kebahagian yang membuatku terlena Tapi kepedihan yang membuatku terus terjaga Aku tersadar. Beban hidupku yang berat Menjadi ringan saat kutahu kau ada di sampingku Cirebon, 30 Oktober 2015

Tersenyumlah

Tersenyumlah nak… Senyum yang lebar Walau udara negeri ini seanyir darah Jangan hiraukan fajar yang tak kunjung datang Lupakan langit yang pekat menjijikan Abaikan semua… Percuma kau menganggap semua ini ada Percayalah… Ini hanya hayalanmu yang payah Ya,,walau tetap buat hati terancam Memaksa pikiranmu jadi kacau Membuat perutmu jadi lapar Anggaplah semua ini tidak ada Seperti fatamorgana, nyata tapi tak ada Tersenyum sajalah nak… Siksa ini tak ada, derita ini tak nyata Ya,, walau cambuknya membuat kulit dan dagingmu terkoyak Pentungannya membuat sendi-sendimu copot Pistolnya membuat tulangmu pecah Percayalah… Anggap saja semua ini tak pernah terjadi Tersenyumlah… Di negara ini itu saja

Keabadian Tanpa Hujan

Tidurlah Siang ini masih pagi Matahari kian lama kian masam Sebelum akhirnya tenggelam tanpa pertunjukan Saat sore menjelang, mentari masih juga enggan Meskipun bumi tetap panas tanpanya Sengatan CO-Pb knalpot tak ada habisnya Diperparah panas politik jelang pilkada Tanpa mentari di siang hari Manusia tetap butuh Air Conditioner Seolah Tuhan salah cipta atas dunia Rekayasa pun menjelma dari mimpi manusia tentang surga Tidurlah Sebentar lagi hujan Beberapa hari lagi banjir melanda riang Jangan lupa sedia payung serta selimut panjang Tidurlah Sebelumnya siapkan weker Setel jam dimana nanti kita bangun Dalam keabadian tanpa hujan, tanpa banjir

Mendung di Langit, Mendung di Bumi

Kau renggut cahaya kehangatan Saat mentari tak kunjung nampak Mendung hitam menyimpan berjuta dendam Menyiapkan diri menghancurkan manusia Aku mendengar cerita tentang dosa di masa lalu Tentang bumi yang terlalu congkak Tentang perebutan pintu-pintu surga Tentang pengkhianatan keharmonisan alam semesta Bumi bagi langit adalah pendosa hina Kerusakan alam dimana-mana Limbah mengalir lebih deras dari tsunami Anehnya, semua diam saja Dosa ini milik siapa? Tapi bumi seperti seorang Ibu Marahnya adalah diam dalam kasih sayang Langit pun menjelma menjadi Bapa Kemurkaan menjadi raja Berkumpullah mendung kelam penuh kebencian Bersiap menghalau setiap ceruk kehidupan Mengirim banjir duka dalam mekanisme bernama hujan Tanah tidak siap Saat sampah masih menjadi primadona Dan tumbuhan lenyap entah kemana Penebusan dosa pun lunas dengan tangisan air mata

Kisah Hujan di Negeri Air

Anak kecil menangis saat hujan mencumbu bumi Air laut pun enggan menetap dalam ruang kerinduan Di negeri amarta Air menyimpan beribu cerita, suka dan duka Negeri para air berkumpul dan berpesta kubangan Tempat di mana manusia berhati api bermata beton Saat lubang jalan bersolek menciprati roda-roda Hardikan, cacian, makian bertubi-tubi melelang gerimis Kiranya di mana matanya bersandar Di klakson dan bangunan arogan berdinding magma Negeri amarta, Negara air para Wali berkumpul Dalam hujan yang menyimpan mendung manusia Hanya ada nyinyir pas photo di pinggir jalan tengah kota