Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2019

Perlakuan yang Baik untuk Semua Orang, Belajar dari Raja Habasyah

PADA awal kerasulan, sekitar tahun 615, kaum muslim banyak yang berhijrah ke Habasyah atau Abyssinia (sekarang Ethiopia). Mereka berhijrah karena perlakuan yang buruk dari masyarakat Mekah kepada Mereka. Habasyah pun menjadi pilihan karena Nabi Muhammad SAW menyarankannya. Pemimpin Habasyah, Raja Negus (Najasyi) dikenal sebagai orang yang menerima tamu dan menghormati semua pemeluk agama. Sebanyak 12 muslim laki-laki dan empat perempuan yang dipimpin sepupu Nabi, Ja’far bin Abi Thalib disambut dan diperlakukan dengan baik oleh penguasa yang beragama Kristen itu. Mereka mengendap-endap meninggalkan Kota Mekah dan naik perahu, menyeberangi lautan untuk menuju Kota Axum, di Negara Habasyah, benua Afrika. Kaum musyrik Mekah meminta agar mereka dipulangkan, tetapi raja menolaknya. Dia melindungi segenap kaum muslim yang berada di sana. Tiga bulan berikutnya, 80 orang sahabat kembali datang ke Habasyah, negeri asal sahabat Nabi yang terkenal, Bilal bin Rabah. Kaum musyrik Quraisy

Sini, di Luar Hujan

HUJAN sudah turun. Sini, masuk ke dalam. Lekas meneduh, biar tidak kebasahan. Kalau kamu basah dan masuk angin, toh aku juga yang sedih. Tapi kau terlihat enggan. Air hujan adalah berkah, katamu. Dan dalam hujan, bersemayam rindu yang tak lekang oleh waktu. "Dalam hujan, aku bisa mengingatnya," katamu, pagi itu. Bulir-bulir hujan jatuh ke atas tanah yang telah becek. Menjelma lumpur. Sebagian kecil pekarangan samping rumah sudah mulai tergenang air. Dan pola-pola melingkar sahut menyahut mengiringi jatuhnya tetesan air. Tetesan-tetesan itu seperti penari saman, membentuk pola berulang yang atraktif. Dari setitik kemudian kian membesar, lalu hilang. Sebelum datang tetesan berikutnya. Seperti rinduku padanya. Awalnya kecil, lalu membesar, sebelum akhirnya hilang dan menyatu. Lalu datang lagi rindu berikutnya. Sini, Nak. Di luar hujan. Aku akan sedih kalau kau kedinginan. Tapi kau bilang, hanya dingin yang mampu mempertemukan aku dan kamu. Lewa

Lalu Kenapa Kalau Nabi Tak Bisa Baca Tulis?

SAYA percaya Nabi itu ummi, dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak bisa membaca dan menulis. Yang saya tidak percaya adalah logika kita di zaman ini yang meyakani bahwa "buta aksara" itu identik dengan bodoh dan terbelakang. Buta aksara inilah justru yang menjadi kelebihan beliau. Nabi tidak terjebak logika teks, gramatika tulisan, yang kerap kali membelenggu. Bukankah al-Quran sendiri adalah ujaran? Perhatikan bentuk rima, pengulangan, dan formulawi kelisanannya. Jelas sekali di sana bahwa Quran adalah lisan. Meski sudah dituliskan sekalipun, dia tetap lisan. Karakternya sebagai ujaran membuat kitab suci ini selalu dekat dengan pendengarnya. Selalu aktual. Karena ujaran hidup bersama waktu. Sementara tulisan menjauhkan "yang mengetahui" dengan "yang diketahui". Tapi zaman setelahnya, juga zaman ini, kita memperlakukan Quran sebagai teks mati yang tak hidup. Hilanglah makna dan relevansinya dalam kehidupan. Lalu kita juga memaksakan

Buya Husein dan Kegelisahannya

SETIAP kali ngobrol dengan Buya, otakku berdegup kencang. Ngos-ngosan seperti kuli angkut pelabuhan yang kelebihan beban. Bagaimana tidak, yang dia obrolkan masalah-masalah kelas kakap. Berat. Masalah peradaban. Sesuatu yang bagi kebanyakan orang, mungkin akan bilang kurang kerjaan. Kok mikiri sesuatu yang bukan urusanku, ngawang-ngawang atau mikiri jeh kang langka duit e (memikirkan yang tidak mendatangkan uang), atau mikiri jeh nasib orang lain. Iya, tapi itulah KH Husein Muhammad. Orang-orang di sini suka memanggilnya Buya Husein. Saya sangat sering bertemu dan ngobrol dengan Buya. Dari setiap obrolan dengan tema yang berbeda dari mulai gender, demokrasi, pluralisme, hingga isu-isu aktual, saya menangkap ada hal yang menggelisahkan beliau. Kegelisahan inilah yang membuatnya tak pernah berhenti berpikir, membaca literatur masa lampau untuk kemudian menuliskan hasil refleksinya. Buya mengatakan bahwa umat Islam masih dibayangi masa lalu. Dia tak habis pikir, kenapa

Bendera

"Semakin ringkas suatu konsep, semakin dia jauh dari realitas." Begitulah kata seorang fisikawan yang akhirnya jatuh cinta pada filsafat Tao, Fritjof Capra. Realitas memang terlalu kompleks untuk bisa diringkas dalam sebuah konsep mati. Seperti kata-kata, maupun simbol-simbol tertentu. Tapi kita tak nyaman terus bergumul dengan realitas. Realitas terlalu sulit untuk dipahami akal. Terlalu ambigu. Terlalu kompleks. Terlalu banyak yang membingungkan. Representasi kita atas realitas jauh lebih mudah dipahami ketimbang realitas itu sendiri. Lambat laun, pelan tapi pasti, kita menganggap konsep itu sebagai realitas. Dalam momen-momen tertentu, kita selalu tergoda untuk lebih mempercayai konsep dibandingkan realitas. *** Andai kita menginjak kain, tak akan ada yang marah. Tak bakal ada seorang pun menyalahkan. Berwarna hijaukah kain itu. Ataukah merah. Atau biru. Atau putih. Atau apapun. Tapi ketika ada kain berwarna merah dan putih yang di

Lusa, 100 Hari Kamu

Aku terbayang lagi wajahmu Yang wujudnya tak bisa lagi dimengerti Apinya telah padam, menjelma gelap Tapi panasnya tak juga hilang Tangis dan jeritanmu waktu itu Mengiris-iris seluruh badanku Sakitmu itu kini tak lagi nampak Tapi ngiluku bersemayam semakin dalam Kau anakku dan aku ayahmu Dan kau sendirian di sana Katanya di surga Katanya akan memanggil kami, bersamamu Benar tidaknya tak peduli Tapi kau anakku dan aku ayahmu Aku sakit setiap mendengar laramu Ngilu ini sungguh menyiksa Bagaimana bisa aku menjerit untuk melepaskannya Sementara orang-orang di sekitarku tak melihatmu Lusa 100 harimu Saat ini, di atas kereta kau duduk di sampingku Dan kuciumi pipimu Kusapu rambutmu dengan tanganku Dadaku berdetak kencang Tanganku gemetaran Kakiku kaku Mataku berlinang kenangan Kupeluk tubuhmu yang ringkih Tak ada kehangatan Tersisa hanya dingin Kau sekejap menjadi angin Aku menangisi diriku sendiri Anggit, kemarilah Kau tahu, aku sedang berkalang

Mama e Anggit

ISLAM mengangkat derajat kaum perempuan. Ini sudah tidak diragukan lagi. Sebelum Islam datang, orang-orang Arab merasa malu luar biasa mempunyai anak perempuan. Banyak ayah, waktu itu, mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Mempunyai anak perempuan adalah aib. Maka tidak ada ayah di sana menggunakan "kunyah", suatu gelar kehormatan, yang menyertakan nama anak perempuannya. Tapi setelah Islam datang, tren berubah. Banyak ayah yang menggunakan kunyah, membanggakan anak perempuannya, semacam Abu Layla, Abu Raihana, dan sebagainya. Sama seperti saya, yang tak pernah habis-habisnya merasa bangga menyandang gelar "Mama e Anggit". [AR]

Wasiat Kebaikan

SUDAH dua hari ini geraham saya sakit. Sebelah kiri bagian atas. Sepertinya ada gigi terakhir yang tumbuh dan tak kebagian tempat. Akibatnya pipi kiri saya bengkak sebesar bakpao. Sakitnya sih biasa saja tapi cenut-cenutnya mantep banget. Bikin badan panas dingin. Kemarin sore, bersama istri, Asih Widiyowati, saya sempatkan datang ke paman saya, Rusli namanya, untuk meminta obat agar cepat sembuh. Mang Rus (panggilanku kepada pamanku, Rusli) adalah lulusan sekolah keperawatan jaman dulu (SPK). Sekarang dia menjadi PNS bertugas di Puskesmas Panguragan. Kalau malam, sedari maghrib hingga jam 22.00 WIB, dia buka praktik pelayanan kesehatan di Kertasura, di rumah almarhumah nenek saya. Istrinya, Mbak Yuni, adalah perempuan asal Suranenggala, beberapa desa arah selatan Kertasura. Rumahnya dekat kantor Polsek Suranenggala. Rumah mereka di Suraneggala, tapi waktu Mang Rus banyak dihabiskan di Kertasura. Bukan tak betah di rumahnya di Suranenggala, tapi karena rasa pengabdia

Tidak Hanya Bertiga

DUA puluh empat Agustus. Ya, hari ini tepat dua tahun setelah kau lahir. Hari di mana kau pertama kali menawarkan senyum dan harapan besar pada kami. Sedari awal pun kami titipkan impian besar bersama, agar hidup penuh bahagia. Setiap hari adalah membagi peran dan bekerja penuh semangat untuk menghidupi mimpi. Kami bangun rumah tempat kita berteduh, merencanakan masa depan, untuk kita bertiga kelak. Hanya bertiga saja, tak ada yang lain. Tapi mimpi itu pupus sudah. Berakhir bersama kau. Iya, kamu mendahului semua mimpi itu. Di hari ulang tahunmu yang kedua, kau sudah tidak bersama kami. Kami tidak sedih karena punya orang-orang hebat di samping kiri dan kanan. Yang menemani, dan menguatkan. Bahwa hidup ini lebih besar dari sekadar siklus lahir lalu mati. Orang-orang hebat itulah sejatinya yang paling berjasa dalam setiap kehidupan. Mereka adalah orangtua, saudara, guru, dan para sahabat. Salah seorang guru bijak bestari bahkan sudah membisikkan sebuah syair

Nabi Pun Menangis

Pada bulan Dzulhijjah tahun 8 H, istri nabi, Mariyah melahirkan seorang bayi laki-laki. Memiliki anak laki-laki adalah kebanggaan bagi orang Arab, termasuk Nabi. Apalagi kedua anak laki-lakinya Qasim dan Abdullah meninggal di usia kanak-kanak. NABI memberitahukan para sahabatnya tentang kelahiran putera tercintanya itu dengan wajah sumringah. Bahagia nian perasaan beliau. “Tadi malam aku dikaruniai seorang anak laki-laki. Aku memberinya nama Ibrahim, seperti nama kakekku.” (HR. Muslim, Abu Daud dan Ahmad) Sebagaimana tradisi di Arab, Ibrahim disusui tidak oleh ibunya melainkan oleh Ummu Saif, istri Abu Yusuf. Di tengah kesibukan, Nabi selalu menyempatkan diri menemui Ibrahim. Di saat umat Islam mulai memperluas pengaruhnya di dataran Arab dan sekitarnya, Nabi selalu menyempatkan diri untuk bermain dengan putera tercintanya. Kebahagiaan terasa makin sempurna saat Ibrahim menginjak usia setahun lebih, kekuatan Islam semakin berkembang di Jazirah Arab hingga cuk

Berkata Baik atau Diam

Kapan terakhir kali kita menepi dan menghayati dengan khidmat setiap kata yang keluar dan masuk? Sungguh peristiwa yang langka akhir-akhir ini. Saat kita terbiasa lari dari satu kata ke kata lain nyaris tanpa mengenalnya. KATA yang keluar dari mulut atau yang lahir dari jari jemari kini kian bising saja. Perdebatan menjadi begitu asyik untuk dikonsumsi saban hari. Saat orang-orang yang terlibat di dalamnya terjerat motif dan keuntungan yang kita tak pernah tahu. Politik kebangsaan atau hanya pragmatisme saja. Atau jangan-jangan ada yang hendak mendapuk untung dari keadaan yang kian menegang. Ngaji di bulan puasa Bab Aafatu al-Lisan bersama Buya Husein Muhammad membawa saya sejenak berpikir bahwa bahaya besar siap menghadang kata yang keluar tanpa guna. Termasuk di dalamnya adalah membuat berita palsu atau hoaks atau sekadar turut menyebarluaskannya dengan satu hentakan jari. Bukankah selama ini kita tak pernah berpikir membagikan tautan tertentu bisa jadi berakibat

Komoditas "Islami"

Mereka berduyun-duyun, mengantre bahkan kadang berebut untuk mendapatkan aktualitas dirinya sebagai muslim dengan membeli berbagai komoditas yang “Islami”. Padahal, komoditas tetaplah sebuah komoditas. Sebagai sebuah benda yang dalam skemanya anut pada prinsip komoditas, bukan prinsip agama. Perasaan keagamaan yang didapatkan karena kepuasaan setelah membeli komoditas tersebut bukanlah perasaan autentik, bukan perasaan ilahiah akan tetapi hanya kepuasan dalam rangka memenuhi hasrat belaka. Hasrat pun muncul menjadi berhala baru setelah berhala-berhala kaum pagan ditinggalkan. Sebenarnya Al-Quran sudah memperingatkan perihal ini: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu bisa menjadi pemelihara atasnya?” (QS Al-Furqon: 43).