Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2019

Ke Pelabuhan

AKU sering mengajaknya ke pelabuhan. Melihat deburan ombak kecil, laut biru, dan kapal-kapal besi yang congkak. Sesekali terlihat juga para pemancing ikan. Tapi tak sekalipun aku lihat mereka mendapatkan tangkapan. Mungkin hanya membunuh waktu. Pemuda kurus terlihat sedang mengecat lambung kapal. Tak jauh dari sana, seorang gadis sedang mendayung kano. Matanya sesekali menatap pelatihnya yang sedari tadi teriak-teriak sambil mendekatkan kedua telapak tangannya ke mulut, membentuk sebuah corong. Aku sering membawanya ke pelabuhan. Di pesisir timur Kota Cirebon. Untuk sekadar melepas lelah dan membicarakan hal-hal yang tidak serius. Perempuan yang sekarang menjadi istriku itu senang sekali setiap kali aku ajak ke Pelabuhan. Angin sepoi-sepoi mengingatkannya pada kampung halaman. Bau air laut membawanya menerabas jarak, menemui Ibu, untuk kemudian memeluknya erat. Ke laut, dia melepas rindu pada tanah kelahiran. Sementara aku selalu terpukau oleh horizon. Ia

Kejahatan dan Kebaikan

SOKRATES pernah berkata, tak seorang pun berbuat jahat dengan sengaja. Apa maksudnya? Dalam lain kata, kejahatan tidak pernah menjadi sebab (causa) perbuatan manusia. Tak ada seorang pun yang sengaja ingin berbuat jahat. Thanos yang melenyapkan separuh makhluk semesta pun punya niat baik: mencipta keseimbangan. Dunia yang begitu kotor dan penuh rasa sakit harus menemukan titik seimbang baru. Pendapat Thanos itu menjadi pandangan tertutup yang amat kukuh. Tapi yang tertutup sekalipun akan menjadi kenyataan jika ia ditopang oleh kekuatan penghancur dari infinity stone. Akatsuki, kelompok jawara dalam anime Naruto pun mempunyai niat baik saat merancang rencana Tsukuyomi tak terbatas. Bagi mereka, dendam akibat perang tidak akan bisa berhenti sampai kapan pun. Satu-satunya cara menghentikan kejahatan perang adalah dengan membuat semua orang hidup dalam mimpi. Dengan begitu kedamaian pun akan datang. Untuk mencapai tujuan itu, maka seluruh kedaulatan manusia harus dil

Tarling Dariah; Spiritualitas Syattariyah dalam Lirik Lagu "Gambaran Urip"

Gambarane wong urip n in g alam dunia (G ambaran manusia hidup di dunia ) Lir upama wayang kang lagi cerita (S eperti wayang yang sedang memainkan cerita) Ora daya lan ora upaya (T idak ada daya dan upaya ) Terserah dalang kang duwe kuasa (T erserah dalang yang punya kuasa ) ***  Bait di atas bukan puisi, bukan pula senandung lirih para salik. Ia adalah lirik lagu tarling. Iya, tarling. Lirik yang dinyanyikan bersama alunan gitar, suling, dan seperangkat alat musik lainnya. Musik tarling dangdut yang berkembang di wilayah Cirebon, Indramayu, dan sekitarnya identik dengan kesan seronok dan vulgar. Tak jarang para penyanyi musik ini mengenakan pakaian minim saat beraksi di atas panggung. Meski tidak semua, tapi citra itu terlanjur melekat. Untuk fenomena satu ini, k ita sering menyalahkan para pelaku seni. Saya pun kerap berpikir demikian. Bagaimana tidak marah? Pertunjukkan tarling di zaman ini sudah bertransformasi menjadi ‘organ dangdut’ ya

Islam Cirebon

Cerita mengenai putusnya rambut Syekh Magelung oleh Sunan Gunung Jati bisa diinterpretasikan untuk tujuan mengetahui watak Islam yang dikembangkan di Cirebon pada masa itu. Salah satu sumber lokal dari Desa Karangkendal mengatakan bahwa Syekh Magelung datang ke tanah Jawa tidak dengan tangan hampa, melainkan membawa dua perahu besar. Perahu pertama bermuatan bahan makanan dan perbekalan selama perjalanan dari Suriah ke Jawa. Perahu kedua berisi kitab-kitab ajaran Islam yang hendak ia pakai selepas berlabuh di pulau Jawa. Informasi ini tidak terdapat dalam naskah maupun buku-buku yang menjadi rujukan utama sejarah Cirebon. Sesampainya di pesisir Cirebon, Syekh Magelung yang hendak menyebarkan Islam dengan kitab-kitab agamanya itu diberikan saran yang mendalam dari seorang yang mendiami daerah tersebut. Orang tersebut mengatakan bahwa orang Jawa tidak memerlukan banyak kitab karena yang dibutuhkan orang Jawa adalah dua kalimat syahadat. Ahmad Hamam Rochani membeberkan keberat

Pesan Agama dari Orang Tua Cirebon

Dalam salah satu buku lama berbahasa Cirebon ada satu pesan agama yang cukup mendalam. Saya pikir pesan ini sesuai untuk kondisi keberagamaan bangsa kita saat ini. Banyak bahasa Cirebon di dalam naskah ini yang saya tidak kenali lagi, sehingga bagi yang mengetahui terjemahan yang lebih baik agar menambahkan di kolom komentar. Inilah sekadar yang bisa saya tangkap: *** “ Kabeh bae, wong kang urip ning alam dunya iki, poma-poma, aja sok itang itung tai lutung, pagudreg urusan agama. Agama kudu den agungaken. Marga kawruhana ning sira, yen satemene agama kang asale saking Kuasane Gusti Allah iku, beli adoh kaceke, beda syarekat bari istilahe bae. Pulane samengko lamun sira nganut agama, utamakna anggönira netepi agamanira, kanti ati kang mantep, gelem njalanang ibadah agama bener-bener. Aja nganti kesasar ning dalan kang salah. Setuhune wong urip ning alam dunya iku kudu brayan, bantu-bebantu, anggone nggoleti sejahteraning urip. Poma aja sok gelem maido, utawa ngeceni