MELIHAT dan memperhatikan bagaimana
umat Islam menyambut bulan puasa dan merayakan ‘Iedul Fitri tiap tahunnya
semakin membuat dahi berkerut. Bulan puasa selalu dibanjiri dengan hura-hura dan
perayaan tanpa makna. Acara-acara televisi dengan sihirnya menghipnotis dan melancarkan propaganda yang berkiblat
pada komoditas
tertentu. Komoditas yang
mana kita tidak bisa menentukan sendiri informasi yang kita inginkan.
Itu yang di dalam rumah, di luar rumah hiruk pikuk
aneka panganan, minuman dan jajanan sangat mencengangkan, ramai sekali. Bulan
puasa yang dalam logika diperintahkannya adalah membuat orang hidup sederhana
dan bersikap bersahaja ternyata terselewengkan.
Tingkat konsumsi di bulan puasa
meningkat drastis dibanding bulan selainnya. Apalagi jika seperti sekarang,
sudah mendekati hari raya. Tempat perbelanjaan, pasar, dan jalan-jalan penuh
sesak dengan orang berjualan dan pembelinya.
Sadar atau tidak, agama dan praktik
keagamaan kita kini menjadi bagian dari skema budaya konsumerisme dan populerisme.
Kedua isme di atas merupakan bagian
yang terpisahkan dari ideologi ekonomi
kapitalisme. Di dalamnya, kebudayaan, termasuk praktik keagamaan (agama) menjadi
bagian dari komoditas yang dikelola dengan apik dalam rangka mencari
keuntungan. (Piliang, 2011: 69)
Skema ini memainkan berbagai
konstruksi kebudayaan seperti tanda, citra, simbol dengan produk-produk yang di
dalamnya ada strategi irama produksi, design, pergantian, variasi dan keusangan
terencana. Produk-produk di bulan puasa dibalut sedemikian rupa dengan
citra-citra agama dengan tujuan menarik perhatian pembeli. Sedangkan karena
pembeli selama bulan puasa ini dipenuhi gambaran religius maka tidak segan-segan
agama pun didaur ulang dan disublim ke dalam produk sebagai penarik bagi calon
pembeli.
Konsumerisme
Hakikat puasa adalah menahan diri dari
segala hasrat dan nafsu. Tapi faktanya di bulan puasa aktifitas konsumsi mengarah
pada memenuhi hasrat.
Meskipun siangnya tidak makan dan minum, akan tetapi setelah berbuka semuanya
dimakan, semuanya diminum seakan sedang balas dendam. Bulan puasa seolah-olah
ruang lembab menjijikan yang di dalamnya penyakit konsumerisme mulai menjangkit
dan mewabah.
Puasa di zaman sekarang adalah puasa
terberat dalam makna asasinya. Perlu diketahui, bahwa konsumerisme awalnya
adalah tergila-gila produk, seolah-olah ini adalah
kejelekkan masyarakat yang loss control.
Tapi pengertian ini diperoleh dari sudut pandang konsumen. Dan jika dilihat dari sisi
produsen, kondisi demikian memang sudah dirancang sedemikian rupa.
Para pencipta
produk menciptakan komoditas sebagai alat pembeda
dari setiap individu. Lihat bagaimana setiap produk mempunyai varian yang
dibedakan dari hanya sedikit aspek saja. Komoditas ini dibedakan misal dari
warna, fitur, design, dan lain sebagainya dengan dalih menemukan selera
pembeli. Tapi sungguhnya praktek diferensiasi
(pembedaan) adalah untuk menempelkan asas utama pembentukan identitas manusia. Identitas dalam
hubungannya dengan dunia luar.
Identitas adalah hal yang sangat penting
bagi semua manusia, siapapun. Karena identitas erat kaitannya dengan eksistensi dan being seseorang. Seseorang bisa dikatakan ada dan ber-ada di dunia
ini (bahasa gampangnya “merasa dianggap”) jika dia berbeda dengan yang sejenis
di lingkungan yang sama.
Karena faktanya setiap manusia adalah genus yang sama, maka perlu ada
periferal, alat, atau aksesoris apapun yang jika menempel dan dimiliki oleh
manusia tertentu, yang bersangkutan bisa berbeda dengan manusia yang lain.
Disinilah muncul ide produksi dengan
memanfaatkan moda dasar kebutuhan manusia pada identitas. Identitas selalu
ditandai dan disimbolkan secara berbeda. Dan yang berbeda-beda tersebut
memiliki strata berdasarkan nilai-nilai yang ditanam dengan kampanye,
propaganda, iklan dan wacana.
Artinya, di dalam perbedaan pembentuk identitas tersebut terdapat hierarki. Oleh karena itu dalam komoditas yang
menawarkan identitas selalu tertanam status sosial di dalamnya, prestise.
Maka aktifitas konsumsi yang sebelumnya
hanya berkaitan dengan nilai fungsi/nilai guna kini dimuati dengan nilai-nilai
yang mengangkat identitas yang bersangkutan. Bayangkan saja, merk komoditas
tertentu mempunyai nilai status dan prestise
yang jauh lebih
tinggi padahal secara manfaat dan fungsi sama saja. Hal ini berakibat pada harga
dan total keuntungan yang harus kita berikan kepada merk tersebut.
Penanaman nilai status pada komoditas
mengakibatkan logika konsumsi kita tidak berada pada pendulum fungsi, melainkan
pada pendulum prestise. Sedangkan
hasrat yang timbul dari kebutuhan pada prestise
adalah hasrat yang tidak akan pernah selesai.
Hasrat tersebut akan berputar dan
menciptakan kebutuhan terhadap kepuasan baru yang juga tidak kunjung terpuaskan.
Misalkan pada saat gadget terbaru muncul, kita berburu untuk mendapatkannya
tapi begitu gadget serupa dengan merk yang sama akan tetapi dengan design dan
warna yang berbeda tentu kita akan merasa tidak trendi, tidak style, dan
ketinggalan zaman. Penciptaan perasaan seperti itulah tugas dari produsen besar
pemilik kapital masa kini yang sangat canggih.
Masyarakat yang terjebak dalan lingkaran
mesin hasrat ini disebut oleh Herbert
Marcuse dengan sebutan one
dimensional man (manusia satu dimensi). Masyarakat yang dengan mudah dapat diarahkan oleh
kekuatan di atasnya untuk menuju satu kanal, memberikan keuntungan. Tidak hanya
sampai disitu, pola manipulasi budaya dengan penggerakan budaya massa seperti
ini juga dipraktikkan di bidang politik, sosial dan budaya.
Populerisme
Dalam perkembangan masyarakat industri,
kapitalisme dan konsumerisme tidak bisa dipisahkan dengan populerisme.
Populerisme berkaitan dengan budaya populer / budaya masa (mass culture), yakni budaya yang diproduksi untuk massa yang luas,
mengikuti pola produksi massa. (Piliang, 2011: 73)
Dalam perkembangan industrialisasi di
Eropa, kapitalisme memproduksi benda-benda kebudayaan termasuk sebagai satu
komoditas yang laris manis. Di Indonesia, sebagai
pengagum terdepan Eropa dan Amerika, benda-benda kebudayaan dan agama
diproduksi besar-besaran.
Apalagi populasi masyarakat agama di Indonesia hampir
100 %. Dengan jumlah muslim lebih dari 85 %, potensi komoditas yang menanamkan
nilai dan simbol keislaman pun dipastikan laris manis.
Masyarakat muslim pun mulai berebut
untuk mendapatkan aktualitas dirinya sebagai muslim dengan membeli berbagai
komoditas yang Islami. Padahal,
komoditas tetaplah sebuah komoditas. Sebagai sebuah benda yang dalam skemanya
anut pada prinsip komoditas, bukan prinsip agama.
Perasaan keagamaan yang
didapatkan karena kepuasaan setelah membeli komoditas tersebut bukanlah
perasaan autentik, bukan perasaan ilahiah
akan tetapi hanya kepuasan dalam rangka memenuhi hasrat belaka.
Keadaan yang demikian sebenarnya sudah disinggung
oleh Allah dalam firmannya, surat al-Furqon: 43: Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu bisa menjadi pemelihara atasnya?.
Rasulullah juga pernah member isyarat : “Kam
min sho’imin laysa lahu min shiyamihi illa al-ju’u wa al-‘athas.” Banyak orang
yang puasa, tetapi tidak mencapai essensinya, melainkan hanya lapar dan haus.
Ini paradoks. Tapi kita selalu
melakukannya di tiap bulan puasa dan hari raya dengan tanpa menyadarinya.
Hingga nanti mungkin akan tersulam kebudayaan artifisial dalam makna
kedangkalannya. Kita lalu lupa jalan pulang, bagaimana seharusnya memaknai hidup
dan menemukan kesejatian hidup yang mampu menjawab kegamangan manusia.
Cara kita hidup, juga cara kita
beragama dan memaknai agama tidak murni dari kesadaran terhadap agama. Dengan
pola-pola yang tersebut di atas maka sebenarnya kehidupan kita dikontrol oleh
orang lain, elit cerdas produsen kebudayaan. Menurut Adorno, dalam kebudayaan massa, kita dikendalikan
dan diatur oleh sekelompok elite dari atas. Lalu, apakah agama dan cara kita
beragama juga ditentukan oleh segelintir orang?
Selanjutnya, budaya,
sebagaimana apa yang dikatakan Adorno pada awalnya terdiri dari budaya tinggi dan budaya
rendah. Dan budaya populer (budaya pop) adalah bagian dari budaya rendah.
Pendangkalan, sifat permukaan, perayaan, penampakan luar, citra. Merayakan
citra ketimbang makna, penampilan ketimbang essensi, popularitas ketimbang
intelektualitas.
Yang gawat adalah ideologi populerisme bisa menghambat proses pencerahan kebudayaan dan agama, menghambat
pencarian identitas keagamaan yang autentik karena cara kita beragama digiring ke
arah perayaan penampakan yang semu.
Konsumerisme dan populerisme pada akhirnya
menciptakan mayoritas yang diam (silent
majority) dalam artian kita dengan senang hati menerima wacana agama dari luar tanpa filter dan pada akhirnya membentuk
identitas keagamaan
kita yang dangkal.
Peran kita pun menjadi minim dalam mengendalikan wacana dan
mendefinisikan diri. Identitas individu maupun sosial masyarakat agam pun tidak luput dikonstruksi
sehingga tidak ada ruang sedikitpun untuk mengembangkan identitas yang
autentik.
Jika merujuk kepada Yasraf Amir
Piliang, maka pencarian identitas yang
autentik melingkupi
tiga
hal:
Pertama, melepaskan diri dari perangkap
identitas artifisial. Artinya meninggalkan segala sifat artifisial, kedangkalan dan permukaan.
Kedua, menghindarkan
diri dari radikalitas identitas, terutama perangkap individualisme, relatifisme dan anarkisme. Yasraf dengan ini tidak sepakat dengan
para penganjur keautentikan radikal seperti Nietzche, Derrida, Deleuze dan
Guattari yang
engan
menolak segala macam otoritas dalam rangka melepaskan segala dorongan hasrat
dan mewujud segala kehendak manusia di dunia, termasuk otoritas Tuhan dan agama.
Ketiga, menghindarkan
diri dari hegemoni sosial. Yakni ketika dominasi identitas sosial begitu kuat dalam
masyarakat, sehingga tidak ada ruang bagi pengembangan individu.
Untuk tidak terjebak pada skema
kapitalisme yang menghegemoni dan juga tidak terjerembab ke dalam nihilisme ala
Nietzche, kita perlu mengetahui pendapat yang lebih komprehensif.
Adalah
Muhammad Iqbal,
intelektual muslim asal Pakistan yang juga seorang penyair mengatakan
bahwa identitas pada
hakikatnya tidaklah bersifat individualistis sebagaimana dipahami oleh
orang barat. Akan tetapi dalam pencarian identitasnya manusia mempunyai sumber paling
autentik, yakni Tuhan.
Proses pencarian identitas adalah upaya mendekatkan diri kepada sumber autentik, yakni Tuhan itu sendiri.
Maka, jika bersandar pada pendapat
Iqbal di atas, maka jalan utama di dalam berpuasa dan berhari lebaran
adalah
dengan mendekatkan diri sepenuhnya kepada Allah. Dan perlu diingat bahwa penyempurnaan pribadi adalah sebuah
proses menjadi, yaitu proses bergerak
ke depan lewat penciptaan kreatif yang didorong oleh spirit kemajuan dan penumbuhan
ideal-ideal baru dalam rangka menangkap kehendak Tuhan. Tidak berhenti dalam satu titik. Wallahu a’lamu.
Mantapp...Semangatttt. Terus berkarya.Semangatttt..semangattt..
ReplyDelete