Skip to main content

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan,
yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman
dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi.
ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.  Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal. 

Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo/bareng jimat. Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya.

Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati daerah sebelah utara, Karang Krayunan. 
Meski menurut cerita dia mendapat tanda kepangkatan dari Mbah Kuwu Cirebon, akan tetapi ada yang mengatakan bahwa Ki Gede Karangkendal awalnya adalah seorang utusan Kerajaan Islam Mataram dengan nama asli Ki Tarsiman.

Legenda Selawe

Ki Tarsiman menikahi seorang perempuan bernama Nyi Sekar Kedaton, putri dari Ki Sunan Kedaton dari Jawa Tengah. Atas pernikahannya dengan Nyi Sekar Kedaton, Ki Tarsiman dikaruniai 25 anak. Oleh karena itu, Ki Tarsiman disebut juga dengan nama Ki Buyut Selawe.

Alkisah, anak asli dari Ki Buyut Selawe sendiri sebenarnya berjumlah 24. Akan tetapi, ada satu lagi anaknya yang merupakan seekor kebo bule. Sehingga anaknya genap menjadi 25 atau selawe.

Ceritanya, anak kerbau yang merupakan kebo bule tersebut sedang merumput saat Nyi Buyut Selawe (istri Ki Buyut Selawe) sedang membuat kayu bakar.  Meskipun sedang bekerja membuat kayu bakar, karena anaknya banyak, Nyi Buyut Selawe membiarkan payudaranya menjuntai keluar dengan maksud untuk mempemudah anak-anaknya itu menyusu kepadanya.

Dalam keadaan seperti demikian, tanpa sepengetahuannya, datanglah seekor kebo bule dan menyusu kepadanya. Saat tersadar ada seekor kerbau yang menyusu kepadanya, Nyi Buyut Selawe pun mengangkat kebo bule itu menjadi anaknya. Makam keduapuluh lima anak Ki Buyut Selawe konon dimakamkan bersama di kompleks makam Ki Buyut Selawe di Karang Krayunan Desa Karangkendal.

Di antara anak Ki Buyut Selawe yang terkenal diantaranya yakni Nyi Kersa yang menetap hingga akhir hayat di Desa Wanakersa, Cimalaya, Karawang; Nyi Ranggu yang menetap hingga akhir hayat di Blok Kombo Desa Jati Mulya, Cikedung, Indramayu; Nyi Banjar yang menikah dengan seorang muslim keturunan Tionghoa, Wie Lie Tan (lidah lokal menyebutnya Wiletan). Wiletan inilah yang kemudian menerima warisan berupa Bareng Jimat dari Ki Krayunan dan disebut Ngabei Banjar Wiletan.

Pernikahan antara Nyi Banjar dengan Wie Lie Tan mempunyai dua anak yang mashur juga dalam cerita rakyat. Mereka adalah Surabranti dan Surabraja. Keduanya terkenal memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Surabraja disebutkan terkenal karena berhasil menaklukkan jawara dari Desa Jagapura yang bernama Dulicip. Dulicip dibunuh oleh Sura Braja karena prilaku tak bermoralnya yang kerap “menyicipi” perempuan yang baru menikah. Surabraja menetap hingga akhir hayat di Blok Bakung Alas Desa Bakung Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon. Cerita rakyat Surabraja pun sampai sekarang menjadi legenda di daerah tersebut.

Kisah pun berlanjut, saat Syekh Magelung sampai di Karangkendal, dia pun disambut oleh Ki Krayunan. Ia dipersilakan untuk menempati sebidang tanah yang berada di sebelah selatan tempat tinggalnya, di Karang Brai. Kalau dilihat dari jalan utama desa, letak Karang Brai berada di depan Karang Krayunan, tempat Ki Krayunan tinggal. Hal itu merupakan bentuk penghormatan Ki Krayunan kepada Syekh Magelung dari Negeri Syam yang memiliki keilmuan agama yang tinggi.

Mendirikan Pesantren

Di Karang Brai inilah kemudian Syekh Magelung mendirikan padepokan sebagai sentra penyebaran agama Islam di Karangkendal. Orang dari daerah-daerah sekitar pun banyak orang berdatangan untuk belajar agama Islam kepada Syekh Magelung dari kampung Dukuh, Pegagan, Kroya, Kertasura dan lainnya hingga dari Indramayu dan Jawa Timur.

Untuk menampung murid yang sedang belajar, akhirnya di Karang Brai dibangun beberapa depok (asrama) sebagai tempat tinggal para santri yang sedang belajar. Depok itu diberi nama sesuai dengan asal daerah santri yang menempatinya. Hingga sekarang terdapat tiga depok yang masih ada di kompleks makam Syekh Magelung Sakti. Saat penelitian, di tempat itu masih terdapat Depok Kroya, Depok Pegagan dan Depok Dukuh.

Bukti lain, bahwa tempat tersebut adalah pesantren adalah adanya pohon asem dan kesambi di depan gerbangnya. Menurut Budayawan Cirebon, Rafan S. Hasyim, pohon asem dan kesambi adalah tanda bahwa tempat tersebut adalah pesastrian, yakni tempat para sastri belajar ilmu agama dan ilmu kanuragan.

Dari pesantren inilah banyak lahir para pembesar yang pergi ke berbagai daerah untuk menyebarkan agama Islam, utamanya di daerah Cirebon dan Indramayu. Siapa saja murid dari Syekh Magelung Sakti? Simak kelanjutannya pada tulisan berikutnya.*** (bersambung)

Comments

Popular posts from this blog

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Islam Pos-Kolonial

Hubbul   wathon minal iman , cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan terma wathon dengan sangat lincah. Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon .  Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini. Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men- transformasi kan pengetahuan kebangsaan yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan masa depan. Adalah satu kesulitan ...