Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. |
ATAS perintah
Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah
Karangkendal. Daerah Karangkendal saat
itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang
ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan
yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.
Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan
sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede
Karangkendal adalah bareng sejodo/bareng jimat. Tanda kepangkatan tersebut
diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya.
Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah
sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah
sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan
nama Ki Krayunan karena menempati daerah sebelah utara, Karang Krayunan.
Meski menurut cerita dia mendapat tanda kepangkatan dari
Mbah Kuwu Cirebon, akan tetapi ada yang mengatakan bahwa Ki Gede Karangkendal awalnya
adalah seorang utusan Kerajaan Islam Mataram dengan nama asli Ki Tarsiman.
Legenda Selawe
Ki Tarsiman menikahi seorang perempuan bernama Nyi Sekar
Kedaton, putri dari Ki Sunan Kedaton dari Jawa Tengah. Atas pernikahannya
dengan Nyi Sekar Kedaton, Ki Tarsiman dikaruniai 25 anak. Oleh karena itu, Ki
Tarsiman disebut juga dengan nama Ki Buyut Selawe.
Alkisah, anak asli dari Ki Buyut Selawe sendiri sebenarnya berjumlah
24. Akan tetapi, ada satu lagi anaknya yang merupakan seekor kebo bule. Sehingga anaknya genap menjadi
25 atau selawe.
Ceritanya, anak kerbau yang merupakan kebo bule tersebut
sedang merumput saat Nyi Buyut Selawe (istri Ki Buyut Selawe) sedang membuat
kayu bakar. Meskipun sedang bekerja
membuat kayu bakar, karena anaknya banyak, Nyi Buyut Selawe membiarkan
payudaranya menjuntai keluar dengan maksud untuk mempemudah anak-anaknya itu
menyusu kepadanya.
Dalam keadaan seperti demikian, tanpa sepengetahuannya,
datanglah seekor kebo bule dan menyusu kepadanya. Saat tersadar ada seekor
kerbau yang menyusu kepadanya, Nyi Buyut Selawe pun mengangkat kebo bule itu
menjadi anaknya. Makam keduapuluh lima anak Ki Buyut Selawe konon dimakamkan
bersama di kompleks makam Ki Buyut Selawe di Karang Krayunan Desa Karangkendal.
Di antara anak Ki Buyut Selawe yang terkenal diantaranya
yakni Nyi Kersa yang menetap hingga akhir hayat di Desa Wanakersa, Cimalaya,
Karawang; Nyi Ranggu yang menetap hingga akhir hayat di Blok Kombo Desa Jati
Mulya, Cikedung, Indramayu; Nyi Banjar yang menikah dengan seorang muslim
keturunan Tionghoa, Wie Lie Tan (lidah lokal menyebutnya Wiletan). Wiletan
inilah yang kemudian menerima warisan berupa Bareng Jimat dari Ki Krayunan dan
disebut Ngabei Banjar Wiletan.
Pernikahan antara Nyi Banjar dengan Wie Lie Tan mempunyai
dua anak yang mashur juga dalam cerita rakyat. Mereka adalah Surabranti dan
Surabraja. Keduanya terkenal memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Surabraja
disebutkan terkenal karena berhasil menaklukkan jawara dari Desa Jagapura yang
bernama Dulicip. Dulicip dibunuh oleh Sura Braja karena prilaku tak bermoralnya
yang kerap “menyicipi” perempuan yang baru menikah. Surabraja menetap hingga
akhir hayat di Blok Bakung Alas Desa Bakung Kecamatan Klangenan Kabupaten
Cirebon. Cerita rakyat Surabraja pun sampai sekarang menjadi legenda di daerah
tersebut.
Kisah pun berlanjut, saat Syekh Magelung sampai di
Karangkendal, dia pun disambut oleh Ki Krayunan. Ia dipersilakan untuk
menempati sebidang tanah yang berada di sebelah selatan tempat tinggalnya, di
Karang Brai. Kalau dilihat dari jalan utama desa, letak Karang Brai berada di
depan Karang Krayunan, tempat Ki Krayunan tinggal. Hal itu merupakan bentuk
penghormatan Ki Krayunan kepada Syekh Magelung dari Negeri Syam yang memiliki
keilmuan agama yang tinggi.
Mendirikan Pesantren
Di Karang Brai inilah kemudian Syekh Magelung mendirikan
padepokan sebagai sentra penyebaran agama Islam di Karangkendal. Orang dari
daerah-daerah sekitar pun banyak orang berdatangan untuk belajar agama Islam
kepada Syekh Magelung dari kampung Dukuh, Pegagan, Kroya, Kertasura dan lainnya
hingga dari Indramayu dan Jawa Timur.
Untuk menampung murid yang sedang belajar, akhirnya di Karang Brai dibangun beberapa depok (asrama) sebagai tempat tinggal para santri yang sedang belajar. Depok itu diberi nama sesuai dengan asal daerah santri yang menempatinya. Hingga sekarang terdapat tiga depok yang masih ada di kompleks makam Syekh Magelung Sakti. Saat penelitian, di tempat itu masih terdapat Depok Kroya, Depok Pegagan dan Depok Dukuh.
Bukti lain, bahwa tempat tersebut adalah pesantren adalah
adanya pohon asem dan kesambi di depan gerbangnya. Menurut Budayawan Cirebon,
Rafan S. Hasyim, pohon asem dan kesambi adalah tanda bahwa tempat tersebut
adalah pesastrian, yakni tempat para sastri belajar ilmu agama dan ilmu
kanuragan.
Dari pesantren inilah banyak lahir para pembesar yang pergi ke berbagai daerah untuk menyebarkan agama Islam, utamanya di daerah Cirebon dan Indramayu. Siapa saja murid dari Syekh Magelung Sakti? Simak kelanjutannya pada tulisan berikutnya.*** (bersambung)
Comments
Post a Comment