Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi. |
SEPENDEK yang
penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang
Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki
Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa
Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu.
Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa
(sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang
(Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung
Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya,
Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai
beberapa murid Syekh Magelung sakti:
Dalam perjalanan dari Syam menuju Cirebon, Syekh Magelung
sering mampir ke daerah-daerah tertentu. Syekh Magelung pun mengajarkan agama
Islam di daerah-daerah tersebut. Salah
satu daerah yang dilewatinya adalah
Negeri Campa. Dari Negeri Campa, Syekh Magelung mendapatkan seorang
murid yang dikenal dengan nama Ki Cempa. Ki Campa bersama Ki Wandan kemudian
dibawa serta oleh Syekh Magelung ke Cirebon.
Ki Tuding/Ki Wandan
Selain Ki Campa, saat singgah di Negeri Wandan, Syekh
Magelung mendapatkan murid yang disebut dengan nama Ki Wandan. Ki Wandan
bersama Ki Cempa turut serta mengikuti Syekh Magelung untuk menyiarkan agama
Islam di Cirebon.
Alkisah diceritakan, suatu sore Syekh Magelung melihat anak
kecil dari santrinya. Mungkin karena anak tersebut terlihat tak terurus, Syekh
Magelung kemudian menyuruh Ki Wandan agar anak tersebut diolai. Maksudnya adalah diurus dengan dimandikan dan diganti pakaiannya.
Akan tetapi, perintah tersebut ditafsirkan berbeda oleh Ki Wandan. Ki Wandan ngolai anak tersebut seperti layaknya ngolai (mengolah) ikan. Ki Wandan
membelah perut anak tersebut, mencuci bersih kemudian memotong-motongnya.
Setelah mengetahui bahwa apa yang dilakukannya merupakan
kesalahan fatal atas salah tafsir terhadap perintah Syekh Magelung, akhirnya Ki
Wandan melarikan diri dan bersembunyi di Desa Tegal Semaya hingga akhir
hayatnya.
Adapun pisau yang digunakan untuk ngolai anak tersebut
adalah pisau bandang awak, yakni
pisau yang gagangnya langsungan, antara pisau dan gagangnya terbuat dari satu
bahan. Sampai sekarang, menurut para orang tua, memakai pisau sejenis itu
menjadi pantangan bagi masyarakat Karangkendal.
Raden Mantri
Jayalaksana
Raden Mantri Jayalaksana (Sumantri) adalah murid sekaligus
anak angkat Syekh Magelung yang ilmunya cukup mumpuni. Raden Mantri ditugaskan
untuk menghadapi Antaboga, utusan dari Kerajaan Galuh. Kerajaan Galuh waktu itu
merasa khawatir dengan penyebaran agama Islam yang kian meluas. Galuh pun
berupaya menghancurkan pertahanan Cirebon sebelah utara dengan mengutus
Antaboga.
Raden Sumantri pun bertarung dengan Antaboga di Sungai
Ketapang Ragas Desa Kertasura Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon. Keduanya
pun diceritakan gugur dalam medan laga. Konon, sungai tersebut seringkali
terlihat berwarna merah. Menurut para orang tua, warna merah tersebut karena
air sungai bercampur dengan darah keduanya.
Ki Gede Tersana
Salah satu cerita pergumulan Syekh Magelung dengan muridnya
yang tak kalah mashur yakni terjadi saat dia berjumpa dengan Ki Tersana.
Dikisahkan, saat itu Syekh Magelung memikirkan bahwa dia memerlukan tetabuhan
yang akan digunakannya untuk mengiringi adzan saat masuk waktu shalat. Hingga
akhirnya dia mendengar suara tetabuhan dari arah utara. Setelah ditelusuri,
ternyata suara indah tersebut berasal dari kediaman Ki Tersana.
Syekh Magelung pun meminta izin kepada Ki Tersana untuk
meminjamkan alat musik itu kepadanya. Akan tetapi, Ki Tersana mengatakan tidak
ada gamelan di rumahnya. Sesaat kemudian, aneh, dengans sendirinya terdengar suara gamelan bersahutan dari dalam rumahnya.
Dalam hati, Ki Tersana membatin bahwa ilmunya dapat
dikalahkan oleh Syekh Magelung. Akhirnya Ki Tersana pun mempersilakan Syekh
Magelung membawa gamelan ajaib tersebut dengan syarat dia diperbolehkan untuk
menjadi santri Syekh Magelung dan turut serta pulang ke Karangekendal.
Akan tetapi, Syekh Magelung menolak permintaan dari Ki
Tersana, sebab dia tahu bahwa Ki Tersana setiap hari harus makan satu
manusia. Andai Ki Tersana ke
Karangkendal, pastinya warga Karangkendal habis dimakannya.
Ki Tersana pun bernegosiasi dengan mengatakan bahwa manusia
bisa diganti dengan kerbau. Syekh Magelung masih keberatan dengan syarat
tersebut, sebab harta benda warga Karangkendal bisa ludes jika setiap hari
harus memberikan seekor kerbau kepada Ki Tersana.
Ki Tersana pun mengalah dengan mengatakan kerbaunya cukup
diberikan setahun sekali saja. Tapi Syekh Magelung masih berkebaratan dan
menyanggupi memberikan rujak wuni saja setiap tahunnya. Akhirnya Ki Tersana pun
setuju dengan ketentuan seperti itu dan menetap hingga akhir hayat di
Karangkendal.
Hingga sekarang, makam Ki Tersana masih berada di dalam
kompleks makam Sykeh Magelung Sakti dan banyak dikunjungi masyarakat Indramayu,
khususnya dari Desa Tersana.
Selain menjadi seorang syekh yang mengajarkan Islam di Pesantren
Karang Braid an Curug Landung, Syekh Magelung pun beberapa kali menjadi aktor
kunci dalam peperangan Kerajaan Cirebon melawan berbagai negara. Dalam perang
apa saja dia terlibat, tentu ulasannya akan tersaji dalam tulisan
berikutnya.*** (bersambung)
Punten Niki sinten ya
ReplyDeleteNiki kula Rosyid. Sebagaimana dalam profil. Silakan bisa menghubungi saya lewat email.
Delete