Skip to main content

Geneologi Keilmuan Islam Indonesia

ilustrasi:
gadingpublisher.blogspot.com
Judul : Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat
Penulis : Martin van Bruinessen
ISBN : 978-602-198056-5
Tebal: xviii + 575
Terbit: 2012
Penerbit: Gading Publishing 

*****
Mungkin ini satu-satunya buku yang dengan begitu fasih menguraikan akar kemunculan dan kesinambungan tradisi keilmuan Islam di Indonesia. Pergumulan yang intens dengan dunia keislaman di Indonesia membuat Martin Van Bruinessen mampu menggambarkan akar tradisi keilmuan ini dengan lengkap dan mendalam.

Menurut peneliti asal negeri kincir angin ini, orang Islam di Indonesia memiliki jalinan keilmuan yang kuat dengan Islam dunia, utamanya dengan tanah suci, Mekah. Dari taksirannya, sejak pertengahan abad 17 mereka bolak-balik ke Mekah. Selain untuk menunaikan ibadah haji yang di-syari’atkan itu, tak jarang para penziarah ini menetap dan belajar (ngelmu) agama Islam di sana dalam waktu yang lama. Tentu saja, sebagai pusat dari agama Islam, Mekah menjelma menjadi pusat bagi orang Islam dari penjuru dunia untuk menimba ilmu. Di tanah itu pula tersedia guru-guru atau syaikh dari berbagai negara dan kebudayaan, termasuk dari Kurdi. Dalam telusuran Martin, Orang-orang Indonesia yang pergi mencari pengetahuan agama pada waktu itu sangat terpengaruh oleh dominasi tradisi keilmuan Islam oleh para ulama Kurdi, terutama di Hijaz.

Hipotesis dari dosen tamu pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menggambarkan bahwa sejak abad 17, Islam di Indonesia disebarkan secara simultan oleh orang Indonesia sendiri. Mereka dengan sengaja pergi ke Tanah suci untuk belajar dan sekembalinya ke tanah air, mereka menyebarkan ilmu yang telah diperolehnya. Pola yang sama juga terjadi saat orang Indonesia menyebarkan tarekat khas India, Syattariyyah. Tarekat ini mula-mula dibawa ulama India setempat ke Mekah untuk kemudian diajarkan kepada umat muslim dunia, termasuk para murid dari Indonesia.

Dalam buku ini, Guru Besar Studi Kurdi di Universitas Utrecht, Belanda ini menekankan bahwa ada hubungan yang sangat istimewa antara Indonesia dan Kurdi (sekarang wilayahnya menjadi negara Turki, Irak dan Iran). Hubungan antara kedua entitas kebudayaan ini mempunyai kesamaan, bisa disebut kenyamanan isi, apalagi dalam dunia tasawuf. Sebut saja nama Ibrahim al-Kurani yang disebut peneliti sebaga nenek moyang intelektual dari berbagai gerakan pembaharuan abad 18. Dia adalah orang Kurdi, guru dari ulama besar Indonesia ‘Abd al-Rauf Singkel (1620-1695) dan Yusuf Makassar.

Selanjutnya, Ja’far ibn Hasan ibn ‘Abd al-Karim ibn Muhammad (1690-1764) atau Ja’far al-Barzinji merupakan orang Kurdi pengarang Maulid al-Barzanji dan manaqib ‘Abd Qodir al-Jilani “Lujjain al-Dani”. Kedua buku ini tidak begitu masyhur di kalangan Islam Internasional, akan tetapi sangat populer di Indonesia, bahkan digunakan secara luas sampai saat ini. Orang Kurdi selanjutnya yang mempunyai pengaruh besar terhadap Islam Indonesia adalah Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi (lahir 1715). Lidah Jawa sering menyebut dia Sleman Kurdi. Salah satu hasyiah (komentar)-nya terhadap kitab Ibnu Hajar ‘Minhaj al-Qowim” memiliki tempat khusus di hati masyarakat Indonesia. Belum lagi peran vital dari dua guru besar tarekat Naqsyabandiyah, Maulana Dhiya’ al-Din Khalid al-Kurdi dan Muhammad Amin al-Kurdi.

Tidak berhenti sampai di situ, tradisi ngelmu dari Tanah Suci ini berjalan terus-menerus. Tidak hanya sampai pada mengkaji kitab kuning karya ulama dari negara lain saja. Soalnya pergumulan pun terus berlanjut hingga ke aras lokal. Dari sinilah terjadi proses penalaran kreatif dari ulama Jawi. Dalam kondisi inilah bermunculan banyak sekali pesantren, sebagai sentra transmisi keilmuan Islam Indonesia. Beriringan dengan itu, turut lahir banyak sekali “kitab kuning pesantren”, kitab kuning tulisan asli orang Indonesia.

Catatanya, meskipun lebih bernuansa sejarah, akan tetapi buku ini tidak melepas konteks kehidupan modern. Konsultan metode penelitian di LIPI ini seolah ingin merekonstruksi sejarah masa lampau bangsa Indonesia, terutama Islam, menjadi lebih hidup dan manusiawi. Salah satu masalah yang dia ajukan seperti ketiadaan perhatian dari kitab kuning terhadap perempuan. Padahal menurut hipotesis dia, dalam kehidupan sekarang, perempuan memiliki dinamika yang tidak terpikirkan oleh orang-orang terdahulu. Karenanya masalah ini tidak ada di dalam kitab kuning. Dan oleh karena itu, kita yang hidup di jaman sekarang perlu memperhatikannya dengan serius.

Secara umum, buku yang pernah diterbitkan Mizan ini menjadi bagian penting dari kajian di bidangnya. Di Indonesia sendiri sangat jarang ditemukan buku yang mendedah habis _sebagaimana yang disebut Gus Dur dalam Kata Pengantar_ geneologi keilmuan (intellectual geneology) dan studi kritis atas buku-buku teks yang diajarkan di pesantren-pesantren sejak dua abad terakhir. Tidak ada kata lain untuk “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat” selain bahwa buku ini amat layak untuk dibaca. *****

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.