PADA sekitar tahun 80-an,
mendiang Gus Dur menjadi ketua IKJ (Institut Kesenian Jakarta) dan menjadi
ketua dewan juri Festival Film Nasional. Orang-orang NU dan pesantren pada
waktu itu menyindir Gus Dur sebagai ‘Kyai Ludruk’ atau ‘Kyai Ketoprak’. Di mata
mereka seorang kyai tidak seharusnya menjadi pelaku seni, karena dua hal itu
sangat berlawanan, mungkin seperti hitam dan putih.
Jika ditelisik dari kacamata
sejarah, Islam dan seni, utamanya seni tradisi pernah mengalami masa suram.
Tepatnya pada tahun 1960-an seluruh kamunitas kesenian rakyat mayoritas
direkrut dibawah payung Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Demi kepentingan
politik partai (PKI), lembaga bawahan PKI (Partai Komunisme Indonesia) ini
sangat militan untuk mengambil hati komunitas seni tradisi. Pada masa orde
baru, jaringan komunitas seniman tradisi di bawah Lekra ikut mendapat stigma:
bagian dari partai PKI.
Hingga akhirnya komunitas seniman tradisi terpuruk
dalam stigma ‘seniman tradisi itu identik dengan komunisme, atheis, alias tidak beragama. Rangkaian
sejarah ini dengan sangat terang diilustrasikan oleh Ahmad Tohari dalam
triloginya ‘Ronggeng Dukuh Paruk’.
Stigma-stigma ini efektif untuk
mengucilkan komunitas seni tradisi dari seluruh elemen dan kelompok masyarakat,
tak terkecuali kaum santri. Santri yang sejak zaman para wali merupakan
kelompok yang selalu dekat dengan seni tradisi, pada akhirnya terpisah dari
kesenian lokal.
Pada tahun 1970-an, seniman mulai
bangkit dari stigma tentunya dengan tanpa turut serta dari saudaranya, santri. Dan
santri pun bangkit dalam konteks kehidupan bernegaranya dengan tanpa peduli
tradisi otentik yang berasal dari seni tradisi. Jadilah seni tradisi hanya
membuat tempelan yang sepertinya agamis. Praktisi seni memasukkan bacaan-bacaan
seperti syahadat, tasbih, ayat-ayat dan bacaan-bacaan lainnya sebagai cara 'berdamai' dengan masyarakat yang sudah
ter-Islamisasi.
Meskipun dalam praktiknya, seni tradisi tersebut tetap menggunakan
struktur pagelaran warisan budaya pra-Islam, jadi saat seni tradisi dengan
tempelan Islam ini pentas, pertunjukkannya terasa aneh.
Hal yang persis sama anehnya terjadi
di kaum santri. Saat komunitas seni terkena stigma politik bahwa dia itu
komunis-atheis, santri dan kaum pesantren segera mengambil jarak. Apalagi saat santri
merasa kebakaran jenggot saat cakar Lekra semakin agresif menggenggam seni
tradisi, hingga pada puncaknya, santri membuat Lesbumi (Lembaga Seni dan Budaya
Muslim) sebagai antitesa Lekra. Saat Lekra bubar seiring dengan dilarangnya PKI
oleh Soeharto, Lesbumi pun seakan bubar nasional.
Mungkin habisnya umur Lesbumi
dimaklumi karena tugasnya sudah selesai sebagai penangkal agresifitas Lekra.
Tapi adakah para pendiri Lesbumi dan kaum santri saat ini mengerti bahwa
mengambil jarak terhadap seni tradisi berarti sama saja dengan melupakan cermin
dari kristalisasi nilai-nilai otentik diri?
Saat Islam Pesantren mengambil
sikap di tengah kehidupan berbangsa, dia mengambil tradisi sebagai ideologi
atas segala ideologi: “menjaga tradisi yang baik dan mengambil nilai baru yang
lebih baik”. Tapi sikap ini akan sangat bertentangan saat Pesantren terkesan jauh dari seni tradisi. Di belakang itu
semua, sebenarnya kaum santri sedang merenda ideologi tradisi yang cacat.
Makna Tradisi
Orang kebanyakan melihat seni
tradisi sebagai ajang tontonan, yang lain mengatakan seni tradisi adalah
artefak, dan yang lainnya lagi seni tradisi adalah benda mati, barang usang
peninggalan masa lalu. Tidak ada gunanya menggeluti dan melirik seni tradisi,
meski sesaat. Seni tradisi hanya pantas untuk dinikmati oleh orang-orang tua
yang tidak mengerti perubahan zaman.
Padahal jika kita lihat, banyak
sekali orang-orang dari luar negeri yang menggeluti seni tradisi. Seperti yang
terjadi di Cirebon, Matthew Isac Cohen menggeluti seni tradisi setempat.
Penulis pun menyaksikan langsung saat dia men-dalang wayang cepak dengan lakon
Sutajaya di Desa Pekandangan, Indramayu, 1 januari 2013. Mathew dan orang-orang
di Barat terutama, sangat sadar bahwa peradaban yang besar mempunyai
konfigurasi dari nilai-nilai tradisi yang otentik. Peradaban yang besar selalu
harus berangkat dari nilai-nilai diri sendiri, bukan cangkokan, bukan hasil
impor.
Sampai di sini kiranya dapat
dimengerti bahwa seni tradisi adalah kristalisasi budaya, dan budaya selalu
adalah kristalisasi dari cipta rasa dan karsa manusia. Menggeluti seni tradisi
berarti juga menggeluti kristal-kristal penuh makna yang menjadi simbol dan
tanda kehidupan dan seluruh pranata nilai yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat.
Kalau diibaratkan citra, seni tradisi adalah citra dari diri kita
dalam ruang hidup dan berkehidupan dalam habitus
tertentu.
Menggeluti seni tradisi berarti
juga menemukan diri sendiri yang berada dan hidup serta dalam ruang dan waktu
tertentu. Tidak ada manusia hidup dalam dirinya yang otentik tanpa melihat
dalam dunia macam apa dia hidup. Nilai, tradisi dan pranata budaya macam apa
dia hidup dan berkehidupan.
Jadi, menggeluti seni adalah
kegiatan mengenali diri, bercermin. Melihat diri sendiri melalui kaca ‘seni
tradisi’ karena dari seni tradisi kita bisa melihat gambaran diri seutuhnya.
Tentu dengan kelebihan dan kekurangannya, kita masih akan tetap tersenyum.
Meskipun bentuk wajah kita tidak rata, kulitnya tidak putih, hidungnya pesek, muka
coreng-moreng, akan tetapi kita bisa tetap tersenyum dan yakin karena yang
cemong itu diri kita sendiri, bukan orang lain dan sedikit pun tidak pernah
terbersit akan ada keinginan menjadi yang liyan.
Melihat berbagai fakta dan
refleksi di atas, semoga ke depan tidak akan ada lagi pandangan miring satu
sama lain antara santri dan komunitas seni tradisi. Karena pada hakikatnya
kedua entitas ini sama-sama menjunjung tinggi tradisi sebagai elan vital dalam
kehidupan. [AR]
Dimuat di harian Fajar Cirebon 06 April 2013
Comments
Post a Comment