MENDUNG hitam sepertinya tidak
mau segera beranjak dari dunia sepakbola Indonesia. Baru saja kemarin satu
masalah sepertinya sudah terselesaikan, kini sudah muncul masalah baru. Setelah
Kongres Luar Biasa selesai dan menghasilkan keputusan yang menyenangkan kedua
belah pihak yang bertikai, sumber karut-marutnya persepakbolaan Indonesia
terlanjur banyak diketahui publik.
Beberapa pihak menganggap bahwa
Kongres Luar Biasa kemarin penuh dengan topeng. Kongres tersebut tidak lebih
dari drama dari para politisi dan pebisnis yang bermain lobi. Laiknya dalam
sebuah drama, dalam KLB realitas sebenarnya disembunyikan rapat-rapat dan yang
tampil adalah topeng, pemanis belaka. Pencitraan penuh lipstik ini dijalankan
hanya untuk menjalani instruksi FIFA dan Indonesia tidak dikenakan sanksi
darinya. Tidak sedikitpun ada niatan untuk mengeliminir masalah dalam mengelola
persepakbolaan tanah air.
KLB ini terkesan damai dan
baik-baik saja karena semua orang di dalamnya adalah aktor berparas mulia - parasnya
saja, dalamnya siapa sangka -. Akar masalah yang merusak sepakbola Indonesia sebenarnya
adalah tingginya hasrat Iblis yang terlanjur masuk ke dalamnya. Iblis ini
menunggangi saat ada politisi sarat kepentingan yang ikut-ikutan mengurus sepakbola.
Orang yang tidak mengerti seluk-beluk sepakbola tapi tiba-tiba menjadi
pengelola dan pengurusnya.
Harusnya sepakbola diurus
orang-orang yang mengerti sepakbola. Pertimbangannya, sepakbola harus menjadi
dirinya. Lihat bagiamana presiden UEFA sekarang dulunya adalah seorang pemain sepakbola,
Michel Platini. Saat ada wacana teknologi garis gawang, dia menolaknya karena
menurutnya teknologi hanya akan menghilangkan sosok manusia, manusia yang unik
dengan lupa dan salahnya.
Kontroversi dalam permainan yang
diakibatkan oleh kelalaian dan perbedaan persepsi membuat sepakbola terlihat
indah, manusiawi dan bercita rasa seni tinggi. Inilah contoh pengurus sepakbola
yang sebenarnya, yang mengambil sikap tidak berdasar besaran tender proyek
maupun kekuatan politik seperti apa. Tapi mengambil kebijakan untuk sepakbola
dengan jiwa dan nurani sepakbola.
Banyak orang menginginkan agar politik
praktis didepak dari hiruk-pikuk sepakbola Indonesia. Mereka melihat sepakbola
menjadi panggung bebas bagi tindak culas dan tipu-tipu pengurusnya. Apalagi di
dalam PSSI sama sekali tidak ada sistem transparansi keuangan.
Saat suatu organisas berada di
dalam panggung bebas tanpa pengawasan, bisa dianalogikan seperti manusia tanpa
kehidupan sosial. Hasrat di dalam dirinya meledak-ledak dan merajalela tanpa
ada orang lain yang mengetahuinya. Maka wajar saat keributan demi keributan terjadi
dalam organisasi PSSI, banyak orang menduga penyebabnya adalah karena di dalam
oraganisasi terjadi perebutan harta rampasan perang. Dan KLB kemarin tidak
menyelesaikan masalah ini bahkan tidak menyebut ataupun meneyentuh masalah
krusial ini.
Ruwat
Di saat kemelut demi kemelut
tidak berada dalam satu struktur yang masuk akal, maka alternatif solusinya
adalah dengan melakukan sesuatu luar biasa yang melebihi kuasa akal. Solusi untuk
semua masalah sepakbola kita harus melalui ruwat.
Masyarakat perlu meruwat bola yang licin dan bundar itu. Diruwat bukan berarti
harus melakukan ritual nanggap wayang bercerita murwakala, tapi lebih kepada makna simbolis di dalamnya. Sepakbola
harus bisa menghilangkan kejahatan dan unsur iblis orang-orang di dalamnya. Iblis
ini harus dihancurkan dan dikeluarkan dari dalam diri manusia-manusianya.
Ruwat mengandaikan ada segumpal hakikat dalam diri manusia berupa
iblis yang menampak berupa hasrat ultima,
keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dan lebih tanpa kenal kata
selesai. Orang ada yang menyebutnya nafsu
angkoro, inilah yang peru di-ruwat,
dibebaskan dan dibuang jauh-jauh dari dalam sepakbola.
Konsep ruwat ini biasanya kita temukan dalam tradisi Jawa. Sebenarnya filosofi
ruwat – terutama tentang hakikat
iblis dalam diri manusia - serupa dengan yang ada di dalam setiap kebudayaan di
seluruh dunia. Intinya adalah ada unsur negatif dalam diri manusia dan itu
melekat dan tidak bisa dihilangkan dalam diri manusia. Karena tidak bisa
dihilangkan, maka ekspresi kebudayaan hanya mencoba menundukan hasrat ini. Ada
dengan menyiksa diri, ada yang dengan berpuasa, ada yang dengan pengusiran atau
penghancuran simbolik terhadap iblis, semuanya sebagai sarana manusia untuk
berkomunikasi dengan kosmik, termasuk ruwat.
Maksud ruwat sekali lagi adalah agar seseorang atau organisasi seperti
PSSI dapat terbebas atau terlepas dari ancaman mara bahaya yang datang dari
sifat iblis dalam diri sendiri. KLB dan kongres-kongres sebelumnya hanya akan
menyelesaikan masalah di permukaan dan masalah yang datang dari luar “diri”.
Sedangkan masalah dari dalam “diri” tetap bersemayam.
Jadi me-ruwat persepakbolaan Indonesia berarti pertama-tama adalah kesadaran
penuh bahwa sumber masalah dalam semua kemelut ini adalah diri sendiri. Dalam konteks
sepakbola, pengururs PSSI harus menyadari bahwa sumber masalahnya adalah mereka
sendiri. Lebih tepatnya nafsu serakah yang berada di dalam diri mereka.
Selanjutnya, sifat iblis yang
berada di dalam itu harus dilenyapkan. Bagian ini sangat bergantung pada
langkah pertama, dan agaknya sedikit mustahil berada di level ini. Akan tetapi
jika mungkin terjadi, maka pengurus PSSI harus menyatukan diri dalam sistem
sosial masyarakat. Mereka harus meminta masyarakat untuk membenahi, mengontrol
dan mengawasi kerja-kerjanya. Mungkinkah?[AR]
Comments
Post a Comment