HIDUP adalah proses interpretasi. Oleh karena itu, tidak ada
satupun manusia yang tidak menginterpretasi.[1]
Mungkin tidak terlalu berlebihan, karena kalau manusia lebih dalam lagi
merenungi dan memaknai setiap inci proses hidupnya maka tidak lain antara dia
dan realitas terdapat satu proses menafsir sebelum akhirnya memperoleh makna,
pemahaman, penjelasan yang seterusnya dilanjutkan dengan suatu tindakan. Tidak
mungkin manusia akan bertindak (sekecil apapun) tanpa terlebih dahulu dia
memahami dulu, dan pemahaman ini selalu berangkat dari interpretasi.
Proses interpretasi-pemahaman-tindakan,
selalu dilakukan saban hari oleh manusia. Saking biasanya, hingga kadang proses
interpretasi ini sendiri tidak selalu disadari. Contohnya adalah saat kita
memutuskan untuk “kencing”, secara tidak sadar kita terlebih dahulu memperoleh
pemahaman dari perasaan air seni yang mendesak di kandung kemih.
Keterdesakan
ini diinterpretasikan secara sederhana sehingga pemahaman hendak kencing
berbeda dengan keterdesakan hendak berak atau yang lainnya. Dalam benak, secara
otomatis sudah terbayang apa yang harusnya dilakukan saat keterdesakan kencing.
Maka dalam benak pasti akan terbayang: bagaimana nanti kencing? dimana tempat
untuk kencing? masih mungkinkah kencingnya untuk ditahan beberapa saat? Itu
semua adalah proses interpretasi.
Sampai di sini kiranya dapat dipahami
bahwa proses interpretasi dalam kehidupan manusia sesungguhnya adalah inti
kehidupan itu sendiri. Jika begitu, filsafat yang mengklaim sebagai penjelas
dari terang kehidupan sesungguhnya memiliki semacam inti juga, yakni
interpretasi.
Hal ini disadari oleh Jean Grondin dengan mengatakan bahwa dalam
obrolan filsafat, hermeneutika berfungsi menjadi semacam prima philosophia (filsafat utama)[2].
Karena setiap tindak filsafat dan aliran-alirannya yang berbeda-beda seantero
dunia memiliki kesamaan, yakni semuanya adalah interpretasi.[3]
Hermeneutika yang merupakan
tradisi penafsiran dalam agama Kristiani, dalam sejarah monumentalnya pernah memeti-eskan
kesangsian terhadap klaim kebenaran daya rasio filsafat untuk kemudian dibuka
oleh generasi para teolog protestan abad 18. Kesangsian ini meletup satu per
satu (Nietzsce, Kant, Jacobi, Schleiermacher) dengan garis linier (garis teolog
Kristiani). Dan akhirnya menjadi bentuk hermeneutika seperti yang kita pahami
sekarang berkat Friederich Scleiermacher.
Dalam perkembangannya,
hermeneutika melebihi ekspektasi dari para pencetus dari kalangan teolog
tersebut. Hermeneutika dalam iktikad Fenomenolog seperti Martin Heidegger menjadi alat
untuk berfilsafat. Hermeneutika yang tadinya sempit (hanya alat menafisr teks) dikembalikan
ke tempatnya semula menjadi daya interpretasi segala hal. Objek hermeneutika
tidak hanya teks melainkan realitas, hermeneutika menjadi cara berfilsafat.
Ciri khas berfilsafat dengan
menggunakan hermeneutika adalah kesangsiannya terhadap klaim kebenaran,
termasuk kedigdayaan klaim rasio yang marajalela di Barat pasca-pencerahan. Hermeneutika membuka asa bagi kemanusiaan dan segala macam
eksistensi manusia dan tradisinya. Hermeneutika juga memaksa filsafat untuk
mengakui yang liyan sebagai sumber
kebenaran yang mempunyai kadar dan kualitas yang setara, pluralitas. Pluralitas
inilah yang menjadi batu semangat hingga mengantarkan pemikiran kontemporer ke
pintu gerbang Postmodernisme.
Martin Heidegger lahir di daerah
Black Forest, Messkirch, Jerman pada 26 September 1889 dari pasangan Friederich
dan Johanna Heidegger. Friederich adalah seorang penganut Katolik yang bekerja
sebagai koster gereja St. Martinus. Mungkin nama gereja ini menginspirasi ayah Heidegger
untuk memberikan nama depan padanya. Sejak muda, Heidegger sudah menunjukkan
intelektualitasnya. Dia bersekolah -sebuah sekolah menengah- di gymnasium kota
Konstanz pada tahun 1906. Ia juga sempat meniti karir kependetaan ketika
memutuskan untuk masuk novisiat Serikat Yesuit di Tisis (1909).[4]
Heidegger kemudian melanjutkan
pendidikannya di Universitas Freiburg, universitas yang memiliki madzhab
fenomenologi. Ia mengikuti kuliah tologi selama empat semester. Dari sanalah
dia mengenal pemikiran Aristoteles dan pemikiran tentang konsep Ada dari Plato.
[5]
Heidegger memperoleh gelar doktor
pada tahun 1913 dengan disertasi berjudul Die
Lehre vom Urteil im Psychologismus (Ajaran tentang Putusan dalam
Psikologisme) yang membahas pertentangan antara psikologi dan logika. Pada
tahun 1915, dia menjadi profesor dengan tulisan berjudul Die Kategorien-und Bedeutungslehre des Duns Scotus (Teori Duns
Scotus tentang Kategori-kategori dan Makna) di bawah bimbingan Heinrich Ricket,
seorang penganut neo-Kantianisme. Karyanya tersebut didasarkan pada karya
bernuansa skolastik milik Duns Scotus, seorang pemikir etika dan keagamaan abad
14 (belakangan itu diduga karya Thomas dari Erfurt). Buku dari Heidegger ini
memperlihatkan bagaimana dia ahli dalam filsafat pertengahan, terutama
metafisikanya.[6]
Pada tahun 1916, Edmund Husserl
datang ke Universitas Freiburg menggantikan Heinrich Rickert. Heidegger yang
sudah lama tertarik pada fenomenologi menyambut baik hal itu. Kemudian dia
menjadi sahabat kental Husserl. Husserl pun mengakui kecerdasan Heidegger dan
mengangkatnya menjadi assisten. Pada tahun berikutnya, tepat saat pecahnya
revolusi Rusia, Heidegger menikahi Elfriede Petri dan memiliki dua anak
laki-laki.[7]
Setelah mengkaji pemikiran
Husserl, pada tahun 1923 Heidegger menjadi profesor di Marburg dan di sinilah
dia menulis magnum opus-nya, Sein und Zeit (Being and Time) pada tahun 1927.[8]
Karya ini terbit dalam Jahrbuch fur
Phanomenologie und Phanomenologischen Forschung – suatu publikasi tahunan
yang dipimpin oleh Edmund Husserl.[9]
Heidegger juga menerbitkan karya
lain seperti: Kant und das Problem der
Metaphysik (Kant dan Problem Metafisika) – 1929, Was it Metapysik? (Apa itu Metafisika?) – 1929, Holzwege (Jalan-jalan Buntu) – 1950, Einfuhrung in die Metapysik (Pengantar
Metafisika) – 1953, Was heisst Denken?
(Apa yang Dimaksud Pemikiran?) – 1954, Vortraage
und Aufsatze (Ceramah-ceramah dan Karangan-Karangan) – 1954, Indentitat und Differenz (Identitas dan
Perbedaan) – 1957, Die Grundprobleme der
Phanomenologie (Problem-Problem Dasar Fenomenologi) – 1957, dan lain-lain.[10]
Pada tahun yang sama, Heidegger
memulai hubungan dengan filsuf perempuan keturunan Yahudi, Hannah Arendt. Saat
itu, Heidegger berusia 35 tahun sementara Arendt berusia 18 tahun. Peristiwa
ini dikenal dengan “perselingkuhan dua filsuf besar”. Pada tahun 1931, hubungan
ini mencapai bentuk dramatiknya ketika Heidegger memutuskan untuk menjadi
anggota partai Nazi, NSDAP. Dua tahun kemudian secara resmi. Heidegger menjadi
Rektor Universitas Freiburg, meskipun Cuma berumur 10 bulan. Di masa-masa ini
hubungan Heidegger dengan Husserl memburuk karena Husserl adalah seorang Yahudi
yang tidak mau meninggalkan Jerman.[11]
Pada tahun 1945, seusai perang
setelah Nazi kalah, Heidegger tidak diperbolehkan mengajar oleh penguasa sekutu
di Jerman Selatan. Ia baru diperbolehkan mengajar kembali pada tahun 1951. Masa
hidupnya kemudian dia habiskan di sebuah pondok (hutte) di Totnauberg,
Freiburg. Akhirnya, pada 26 Mei 1976 Heidegger meninggal dunia pada usia 86
tahun. Orang-orang mengenangnya dengan sebutan Der Zauber aus Messkirch (Sang Pemikat dari Messkirch). Ada juga
yang menyebutnya sebagai Philosophiekonig
(Raja Filsafat), agak terlalu berlebihan memang, tapi paling tidak dalam
rentang hidupnya sebagai seorang filsuf, Heidegger mempengaruhi banyak filsuf.
Diantaranya adalah muridnya sendiri Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas, Emmanuel
Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Xavier Zubiri, Karl Lowith, Mourice
Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-Luc
Nancy, dan Philippe Lacoue-Labarthe. Selain hermeneutika, Heidegger dianggap
berpengaruh besar juga terhadap eksistensialisme, dekonstruksi, dan
postmodernisme. Meskipun demikian, Heidegger dianggap tidak bernilai oleh
sejumlah pemikir kontemporer seperti kumpulan filsuf dalam Lingkaran Wina,
antara lain Theodor Adorno, Bertrand Russel dan Alfred Ayer.[12]
Heidegger adalah pemikir yang
menunjukkan originalitasnya meskipun harus disadari bahwa dia muncul bukan di
ruang hampa, dia makhluk sejarah (menyejarah). Pemikirannya banyak mendapat
pengaruh dari Friederich Nietzche, Soren Kierkegaard, dan tentu saja Edmund
Husserl.[13]
Ketertarikannya pada hermeneutika mungkin karena perkenalan pertama dia dengan
filsafat adalah lewat kelas teologi. Dalam kelas teologi waktu itu tentu
hermeneutika -sebagai alat untuk menafsirkan Bible- menjadi primadona. Meskipun
demikian, sebagai seoarang profesor filsafat tentu Heidegger lebih dikenal
sebagai seorang filsuf daripada seorang teolog. Oleh karena itu, pada akhirnya
hermeneutika di tangan dia dikembalikan pada asalnya. Hermenutika lebih menjadi
cara berfilsafat daripada menjadi sebuah modul untuk menafsirkan teks belaka.
Fenomenologi Hermeneutis
Jika anda membaca tulisan tentang
Heidegger dan berharap akan menemukan satu kaidah penafsiran teks di dalamnya,
maka anda akan kecewa. Maka fokus tulisan ini adalah apa yang sebenarnya Heidegger
cari? Dan mengapa dia menggunakan hermeneutika?
Richardshon membedakan pemikiran Heidegger
menjadi dua gelombang. Gelombang pertama, meliputi “Being and Time” - yang
banyak orang percaya belum tuntas. Dalam periode pertama, Heidegger membahas
tentang “ada”, dan satu-satunya makhluk yang mempertanyakan tentang “ada”
adalah manusia. Dalam bahasannya di dalam buku tersebut, manusia disebut oleh Heidegger
sebagai “dasein” – manusia pada hakikatnya “ada” (sein) yang berada di situ
(da). Berbeda dengan makhluk lain, manusia tidak ada dengan begitu saja akan
tetapi senantiasa berkaitan erat dengan “ada”-nya sendiri.[14]
Gelombang kedua pemikiran Heidegger
sering disebut sebagai kehre atau “pembalikan”.
Pemikiran pada gelombang kedua ini merupakan kelanjutan dari gelombang pertama,
fungsinya melengkapi bukan mengsubtitusi pemikiran gelombang pertama. Heidegger
menyadari bahwa ketidaktersembunyian “ada” merupakan suatu kejadian yang paling
asali. Kalau sebelumnya dalam tradisi filsafat barat posisi “ada” dalam
hakikatnya yang asali adalah dalam ketersembunyiannya -lalu tugas manusia
filsuf adalah untuk menyingkap ketersembunyian ini- maka Heidegger mencoba
untuk membaliknya. Kemudian berdasarkan atas pembalikan ini, dia menafsirkan
kembali seluruh tradisi filsafat barat.[15]
Alasan Heidegger melakukan
pembalikan ini adalah karena dalam bahasa Yunani kebenaran disebut dengan aletheia yang dimaknai Heidegger berasal
dari kata a artinya tidak dan lethe artinya ketersembunyian. Menurut
dia, pengalaman Seinsvergessenheit
(lupa akan ada) harus menggerakkan pikiran untuk mengaktualisasikannya. Oleh
karena itu, metafisika harus dilampaui dengan mengembalikannya pada hakikatnya,
metafisika tidak lagi menentukan, kita harus kembali pada yang asali. Berfikir
yang benar adalah kembali pada masa “sein”. Menurut Heidegger, hakikat persepsi. Dalam kehidupan nyata, kata lebih
sering menentukan daripada fakta atau perbuatan. Sehingga dalam upaya
filsafatnya Heidegger meletakkan bahasa sebagai pusat pembahasannya. Menurut
dia tanpa bahasa, pada hakikatnya manusia bukanlah manusia.[16]
Tesis Heidegger yang meletakkan bahasa sebagai objek materia filsafat inilah
yang secara otomatis membawa dia bergelut dalam dunia hermeneutika.
Heidegger, seperti para penganut
fenomenologi lainnya menolak asumsi filsuf analitik mengenai bahasa yang
berfungsi hanya sebagai alat komunikasi saja. Bahasa pada hakikatnya dipandang
sebagai berkaitan langsung dengan proses penyampaian arti. Tidak dikatakan
bahasa jika dia tidak menympaikan arti apa-apa (tidak mufid). Dikatakan bahasa
meskipun itu tanpa kata dan mendatangkan arti. Bagi Heidegger, bahasa adalah
apa yang memicu munculnya kegiatan berfikir.
Heidegger sangat tidak setuju
jika bahasa didekati secara logika, dalam artian dianalisis struktur kalimatnya
secara pragmatik. Bahasa tidak mungkin diformulasikan dengan logika yang ketat,
yang demikian justeru menyembunyikan hakikat bahasa yang sesungguhnya. Bahasa
adalah keterbukaan manusia terhadap “dasein” yang ditunjukkan dengan berfikir
dan berkata-kata adalah menampakkan “dasein”. Berkata dan berfikir oleh karena
itu adalah tindak menciptakan ruang yang dibutuhkan bagi munculnya “dasein”.[17]
(hakikat ruang adalah kita dapat dengan leluasa, ruang bicara, ruang
berpendapat, ruang berkreativitas. Ruang bagi dasein adalah potensi memahami.
Karena sifatnya meruang maka tidak ada yang menempati tempat yang sama dalam
satu ruang pemahaman. Artinya tidak ada yang benar-benar memahamai satu ruang
dengan presisi, rigid, pasti).
Dalam hal inilah Heidegger
mengatakan bahwa bahasa adalah rumah “sang ada”. Dengan lain perkataan bahwa
bahasa adalah ruang bagi pengalaman-pengalaman yang bermakna sepanjang rentang
kehidupan manusia. Pengalaman yang bermakna inilah yang kemudian mengkristal
menjadi semacam saripati kehidupan, substansi dalam term metafisika. Pengalaman
menjadi tidak bermakna bila tidak menemukan rumahnya dalam bahasa. Sebaliknya
bahasa tanpa pengalaman nyata adalah kosong.[18]
Kalau tadi bahasa menciptakan ruang
bagi “dasein”, maka saat orang berbahasa, dia berada dalam sebuah ruang dasein,
akan tetapi manusia bukanlah pencipta ruang itu, kita hanya hadir di dalamnya.
Di dalam bahasa, realitas lah yang mencapai kita. Bahasa menggunakan manusia
sebagai media perantara untuk hadirnya “dasein”. [19]
Di sini terlihat bagaimana fenomenoogi Husserl sangat mempengaruhi cara
berfikir Heidegger. Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa bahasa adalah proses,
bergerak dan dinamis tidak rigid. Maka perhatiannya tidak pada keterbatasan
pemakaian kata di masa lalu atau ketepatan filologis melainkan bagaimana agar
ia dapat memasuki dinamika bahasa yang selama ini tertutup. [20]
Dari serangkaian hipotesis di atas kemudian bagaimana
memahami teks? Pemahaman teks terletak dalam kegiatan mendengarkan lewat bahasa
manusia perihal apa yang dikatakan. Kita berupaya mengungkap “dasein” yang
terselubung tersebut dengan menghayati
kegiatan kebahasaannya. Usaha-usaha ini, yang mempertemukan bahasa dan pikiran
dikenal luas dengan hermeneutika.
Secara eksplisit, Heidegger
menyebutkan sendiri filsafatnya adalah fenomenologi dengan metode hermeneutika.
Fenomenogi sendiri berasal dari kata phainesthai dan logos yang berarti
membiarkan benda-benda menjadi manifes sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategori-kategori
kita sendiri pada benda-benda tersebut. Maksudnya, hakikat terdalam pemahaman
yang sebenarnya adalah pemahaman realitas yang dibimbing oleh kekuatan realitas
tersebut untuk merealisasikan dirinya. Logos, menurut Heidegger adalah apa yang
disampaikan ketika berbicara, sedangkan makna yang ingin disampaikannya sebagai
hal yang nampak, tidak merupakan suatu makna yang menggejala (fenomena). Yang
nampak adalah suatu proses penjelmaan ontologis dari realitas itu sendiri,
bukan memaksanya terpahami sebagaimana yang dikehendaki.[21]
Fenomenologi hermeneutik Heidegger
adalah suatu hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi, bukan
interpretasi atas interpretasi, melainkan kegiatan interpretasi utama yang
membuka hakikat dasein. Hermeneutika dengan ini adalah ciri hakiki manusia,
interpretasinya bukan merupakan pemaparan objek yang bersifat material, bukan
pula “ada” yang bersifat empiris, tetapi proses pemaparan objek yang dibimbing
(bukan ditentukan) oleh verstehen
(pemahaman).[22]
Hermeneutika, di tangan Heidegger
selalu menghindar dari penafsiran atas sesuatu (teks) yang merupakan penjelasan
dari realitas tertentu. Akan tetapi dia berusaha untuk kembali memahami
realitas (keber-ada-annya) langsung, ini seperti proses konfirmasi dalam dunia
jurnalistik. Akan tetapi kejadian jurnalistik biasanya berlangsung beberapa
saat di masa yang relatif sama yang mana memudahkan untuk konfirmasi langsung
pada sumber berita. Bagaimana jika realitas yang dijelaskan adalah realitas
masa lalu?
Teksnya juga dengan bahasa zaman itu yang kita tidak bisa
mengkonfirmasi secara langsung? Penulis kira inilah fungsi bimbingan dari verstehen, dan tentu saja pemahaman
penafsir datang dari teks lapuk tersebut. Hanya saja penafsir tidak berhenti
sampai di titik yang telah dicapai teks itu saja akan tetapi meradikalkannya
sampai seolah-olah penafsir menghadapi realitasnya sendiri, langsung.
Jadi,
hermeneutika dengan pengaruh dari fenomenologi dari Heidegger ini melucuti
realitas dari berbagai asumsi eiditik, generalisasi, kategorisasi dan reduksi
manusia, baik dari kerja akal ataupun indera.
Selanjutnya, Heidegger meyakni
bahwa hakikat ada tersembunyi dalam proses kerja manusia yang eiditik,
generalis, kategoris, dan reduktif terhadap realitas. Proses kerja ini
menurutnya ada di dalam bahasa, hingga hermeneutika adalah dengan sendirinya
kemestian karena hermeneutika juga berarti asal yang hakiki dari manusia,
sebagaimana bahasa adalah yang asali pada manusia.
Dalam Being and Time, Heidegger
menaruh perhatian besar pada “dasein”. Dalam dasein yang ingin diungkap adalah
sein, akan tetapi sein selalu melekat dalam keberadaannya di situ (faktisitas)
atau “da”. Jadi dengan mudah kita mengasumsikan bahwa pemikiran Heidegger
adalah mengembalikan sein pada hakikat kemeruangan dan kemewaktuannya.
Pemahaman manusia, menurut Heidegger berkaitan dengan perencanaan di masa depan
atas dasar kemungkinan-kemungkinan dari masa lalu. Totalitas kehidupan manusia
adalah memahami segala kemungkinan atas dasar masa lalu yang tidak dipisahkan
dengan kemungkinan di masa datang. Cara berada manusa ini disebut dengan
analisis eksistensialis. Pemahaman menurutu dia adalah kemampuan manusia
menangkap kemungkinan-kemungkinan hakikat eksistensi manusia. Pemahaman adalah
modus berada di dunia, yang merupakan struktur eksistensial dasein yang
memungkinkannya menjadi pengalaman empiri serta memungkinkan terbentuknya
pengetahuan yang lainnya. Pemahaman adalah dasar bagi semua interpretasi, dan
juga senantiasa hadir dalam interpretasi. Pemahaman bukan sekedar peristiwa
neurotik, melainkan merupakan suatu proses ontologis, penguakan sesuatu yang
berkaitan dengan eksistensi manusia.[23]
Dalam hubungannya dengan bahasa,
arti merupakan hal yang lebih dalam daripada sistem logis bahasa atau bisa jadi
lebih dahulu dari bahasa, bahkan merupakan kemungkinan ontologis bagi adanya
kata-kata. Arti dan pemahaman merupakan dasar bagi bahasa dan interpretasi.
Oleh karena itu, arti bukanlah sesuatu yang diberikan kepada objek melainkan
sesuatu yang diberikan objek kepada manusia dengan menyediakan kemungkinan
ontologis bagi terwujudnya kata dan bahasa. [24]
[1]
Poespoprodjo, Interpretasi: Beberapa
Catatan Pendekatan Filsafatinya, (Bandung: Remadja Karya, 1987), hal. vii.
[2]
Awalnya prima philosophia adalah
sebutan Aristoteles untuk metafisika karena kemampuannya untuk menjelaskan
segala sesuatu. Jadi ada semacam klaim kebenaran dalam metafisika, inilah yang
membedakannya dengan Hermeneutika.
[3]
Jean Grondin, Sejarah Hermeneutika,
terj. Aziz Safa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal. 17
[4]
Donny Gahral Adian, Pengantar
Fenomenologi, (Depok: Koekoesan, 2012), hal. 45.
[5]
Ibid., hal. 45-46.
[6]
Ibid., Hal. 46
[7]
Ibid., hal. 46-47
[8]
Ibid., hal. 47.
[9]
Prof, Dr. Kaelan, M.S., Filsafat Bahasa:
Realitas Bahasa, Logika Bahasa, Hermeneutika dan Postmodernisme, (Yogyakarta:
Paradigma, 2002, hal. 194.
[10]
Loc.cit.
[11]
Op.cit., hal. 48.
[12]
Ibid., hal. 48-49.
[13]
Ibid., hal 49.
[14]
Kaelan, hal. 195.
[15]
Kaelan, hal. 196.
[16]
Kaelan, hal. 198.
[17]
Kaelan, hal. 200.
[18]
Kaelan, hal. 200.
[19]
Kaelan, hal. 200-201.
[20]
Kaelan, hal. 201.
[21]
Kaelan, hal. 202-203.
[22]
Kaelan, hal. 203.
[23]
Kaelan, hal. 204-205.
[24]
Kaelan, hal. 206.
Comments
Post a Comment