Skip to main content

Fenomenologi Hermeneutis Heidegger


HIDUP adalah proses interpretasi. Oleh karena itu, tidak ada satupun manusia yang tidak menginterpretasi.[1] Mungkin tidak terlalu berlebihan, karena kalau manusia lebih dalam lagi merenungi dan memaknai setiap inci proses hidupnya maka tidak lain antara dia dan realitas terdapat satu proses menafsir sebelum akhirnya memperoleh makna, pemahaman, penjelasan yang seterusnya dilanjutkan dengan suatu tindakan. Tidak mungkin manusia akan bertindak (sekecil apapun) tanpa terlebih dahulu dia memahami dulu, dan pemahaman ini selalu berangkat dari interpretasi.

Proses interpretasi-pemahaman-tindakan, selalu dilakukan saban hari oleh manusia. Saking biasanya, hingga kadang proses interpretasi ini sendiri tidak selalu disadari. Contohnya adalah saat kita memutuskan untuk “kencing”, secara tidak sadar kita terlebih dahulu memperoleh pemahaman dari perasaan air seni yang mendesak di kandung kemih. 

Keterdesakan ini diinterpretasikan secara sederhana sehingga pemahaman hendak kencing berbeda dengan keterdesakan hendak berak atau yang lainnya. Dalam benak, secara otomatis sudah terbayang apa yang harusnya dilakukan saat keterdesakan kencing. Maka dalam benak pasti akan terbayang: bagaimana nanti kencing? dimana tempat untuk kencing? masih mungkinkah kencingnya untuk ditahan beberapa saat? Itu semua adalah proses interpretasi.

Sampai di sini kiranya dapat dipahami bahwa proses interpretasi dalam kehidupan manusia sesungguhnya adalah inti kehidupan itu sendiri. Jika begitu, filsafat yang mengklaim sebagai penjelas dari terang kehidupan sesungguhnya memiliki semacam inti juga, yakni interpretasi. 

Hal ini disadari oleh Jean Grondin dengan mengatakan bahwa dalam obrolan filsafat, hermeneutika berfungsi menjadi semacam prima philosophia (filsafat utama)[2]. Karena setiap tindak filsafat dan aliran-alirannya yang berbeda-beda seantero dunia memiliki kesamaan, yakni semuanya adalah interpretasi.[3] 

Hermeneutika yang merupakan tradisi penafsiran dalam agama Kristiani, dalam sejarah monumentalnya pernah memeti-eskan kesangsian terhadap klaim kebenaran daya rasio filsafat untuk kemudian dibuka oleh generasi para teolog protestan abad 18. Kesangsian ini meletup satu per satu (Nietzsce, Kant, Jacobi, Schleiermacher) dengan garis linier (garis teolog Kristiani). Dan akhirnya menjadi bentuk hermeneutika seperti yang kita pahami sekarang berkat Friederich Scleiermacher.

Dalam perkembangannya, hermeneutika melebihi ekspektasi dari para pencetus dari kalangan teolog tersebut. Hermeneutika dalam iktikad Fenomenolog seperti Martin Heidegger menjadi alat untuk berfilsafat. Hermeneutika yang tadinya sempit (hanya alat menafisr teks) dikembalikan ke tempatnya semula menjadi daya interpretasi segala hal. Objek hermeneutika tidak hanya teks melainkan realitas, hermeneutika menjadi cara berfilsafat. 

Ciri khas berfilsafat dengan menggunakan hermeneutika adalah kesangsiannya terhadap klaim kebenaran, termasuk kedigdayaan klaim rasio yang marajalela di Barat pasca-pencerahan. Hermeneutika membuka asa bagi kemanusiaan dan segala macam eksistensi manusia dan tradisinya. Hermeneutika juga memaksa filsafat untuk mengakui yang liyan sebagai sumber kebenaran yang mempunyai kadar dan kualitas yang setara, pluralitas. Pluralitas inilah yang menjadi batu semangat hingga mengantarkan pemikiran kontemporer ke pintu gerbang Postmodernisme.

Martin Heidegger lahir di daerah Black Forest, Messkirch, Jerman pada 26 September 1889 dari pasangan Friederich dan Johanna Heidegger. Friederich adalah seorang penganut Katolik yang bekerja sebagai koster gereja St. Martinus. Mungkin nama gereja ini menginspirasi ayah Heidegger untuk memberikan nama depan padanya. Sejak muda, Heidegger sudah menunjukkan intelektualitasnya. Dia bersekolah -sebuah sekolah menengah- di gymnasium kota Konstanz pada tahun 1906. Ia juga sempat meniti karir kependetaan ketika memutuskan untuk masuk novisiat Serikat Yesuit di Tisis (1909).[4]

Heidegger kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Freiburg, universitas yang memiliki madzhab fenomenologi. Ia mengikuti kuliah tologi selama empat semester. Dari sanalah dia mengenal pemikiran Aristoteles dan pemikiran tentang konsep Ada dari Plato. [5]

Heidegger memperoleh gelar doktor pada tahun 1913 dengan disertasi berjudul Die Lehre vom Urteil im Psychologismus (Ajaran tentang Putusan dalam Psikologisme) yang membahas pertentangan antara psikologi dan logika. Pada tahun 1915, dia menjadi profesor dengan tulisan berjudul Die Kategorien-und Bedeutungslehre des Duns Scotus (Teori Duns Scotus tentang Kategori-kategori dan Makna) di bawah bimbingan Heinrich Ricket, seorang penganut neo-Kantianisme. Karyanya tersebut didasarkan pada karya bernuansa skolastik milik Duns Scotus, seorang pemikir etika dan keagamaan abad 14 (belakangan itu diduga karya Thomas dari Erfurt). Buku dari Heidegger ini memperlihatkan bagaimana dia ahli dalam filsafat pertengahan, terutama metafisikanya.[6]

Pada tahun 1916, Edmund Husserl datang ke Universitas Freiburg menggantikan Heinrich Rickert. Heidegger yang sudah lama tertarik pada fenomenologi menyambut baik hal itu. Kemudian dia menjadi sahabat kental Husserl. Husserl pun mengakui kecerdasan Heidegger dan mengangkatnya menjadi assisten. Pada tahun berikutnya, tepat saat pecahnya revolusi Rusia, Heidegger menikahi Elfriede Petri dan memiliki dua anak laki-laki.[7]

Setelah mengkaji pemikiran Husserl, pada tahun 1923 Heidegger menjadi profesor di Marburg dan di sinilah dia menulis magnum opus-nya, Sein und Zeit (Being and Time) pada tahun 1927.[8] Karya ini terbit dalam Jahrbuch fur Phanomenologie und Phanomenologischen Forschung – suatu publikasi tahunan yang dipimpin oleh Edmund Husserl.[9]

Heidegger juga menerbitkan karya lain seperti: Kant und das Problem der Metaphysik (Kant dan Problem Metafisika) – 1929, Was it Metapysik? (Apa itu Metafisika?) – 1929, Holzwege (Jalan-jalan Buntu) – 1950, Einfuhrung in die Metapysik (Pengantar Metafisika) – 1953, Was heisst Denken? (Apa yang Dimaksud Pemikiran?) – 1954, Vortraage und Aufsatze (Ceramah-ceramah dan Karangan-Karangan) – 1954, Indentitat und Differenz (Identitas dan Perbedaan) – 1957, Die Grundprobleme der Phanomenologie (Problem-Problem Dasar Fenomenologi) – 1957, dan lain-lain.[10]

Pada tahun yang sama, Heidegger memulai hubungan dengan filsuf perempuan keturunan Yahudi, Hannah Arendt. Saat itu, Heidegger berusia 35 tahun sementara Arendt berusia 18 tahun. Peristiwa ini dikenal dengan “perselingkuhan dua filsuf besar”. Pada tahun 1931, hubungan ini mencapai bentuk dramatiknya ketika Heidegger memutuskan untuk menjadi anggota partai Nazi, NSDAP. Dua tahun kemudian secara resmi. Heidegger menjadi Rektor Universitas Freiburg, meskipun Cuma berumur 10 bulan. Di masa-masa ini hubungan Heidegger dengan Husserl memburuk karena Husserl adalah seorang Yahudi yang tidak mau meninggalkan Jerman.[11]

Pada tahun 1945, seusai perang setelah Nazi kalah, Heidegger tidak diperbolehkan mengajar oleh penguasa sekutu di Jerman Selatan. Ia baru diperbolehkan mengajar kembali pada tahun 1951. Masa hidupnya kemudian dia habiskan di sebuah pondok (hutte) di Totnauberg, Freiburg. Akhirnya, pada 26 Mei 1976 Heidegger meninggal dunia pada usia 86 tahun. Orang-orang mengenangnya dengan sebutan Der Zauber aus Messkirch (Sang Pemikat dari Messkirch). Ada juga yang menyebutnya sebagai Philosophiekonig (Raja Filsafat), agak terlalu berlebihan memang, tapi paling tidak dalam rentang hidupnya sebagai seorang filsuf, Heidegger mempengaruhi banyak filsuf. Diantaranya adalah muridnya sendiri Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Xavier Zubiri, Karl Lowith, Mourice Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-Luc Nancy, dan Philippe Lacoue-Labarthe. Selain hermeneutika, Heidegger dianggap berpengaruh besar juga terhadap eksistensialisme, dekonstruksi, dan postmodernisme. Meskipun demikian, Heidegger dianggap tidak bernilai oleh sejumlah pemikir kontemporer seperti kumpulan filsuf dalam Lingkaran Wina, antara lain Theodor Adorno, Bertrand Russel dan Alfred Ayer.[12]

Heidegger adalah pemikir yang menunjukkan originalitasnya meskipun harus disadari bahwa dia muncul bukan di ruang hampa, dia makhluk sejarah (menyejarah). Pemikirannya banyak mendapat pengaruh dari Friederich Nietzche, Soren Kierkegaard, dan tentu saja Edmund Husserl.[13] Ketertarikannya pada hermeneutika mungkin karena perkenalan pertama dia dengan filsafat adalah lewat kelas teologi. Dalam kelas teologi waktu itu tentu hermeneutika -sebagai alat untuk menafsirkan Bible- menjadi primadona. Meskipun demikian, sebagai seoarang profesor filsafat tentu Heidegger lebih dikenal sebagai seorang filsuf daripada seorang teolog. Oleh karena itu, pada akhirnya hermeneutika di tangan dia dikembalikan pada asalnya. Hermenutika lebih menjadi cara berfilsafat daripada menjadi sebuah modul untuk menafsirkan teks belaka.

Fenomenologi Hermeneutis

Jika anda membaca tulisan tentang Heidegger dan berharap akan menemukan satu kaidah penafsiran teks di dalamnya, maka anda akan kecewa. Maka fokus tulisan ini adalah apa yang sebenarnya Heidegger cari? Dan mengapa dia menggunakan hermeneutika?

Richardshon membedakan pemikiran Heidegger menjadi dua gelombang. Gelombang pertama, meliputi “Being and Time” - yang banyak orang percaya belum tuntas. Dalam periode pertama, Heidegger membahas tentang “ada”, dan satu-satunya makhluk yang mempertanyakan tentang “ada” adalah manusia. Dalam bahasannya di dalam buku tersebut, manusia disebut oleh Heidegger sebagai “dasein” – manusia pada hakikatnya “ada” (sein) yang berada di situ (da). Berbeda dengan makhluk lain, manusia tidak ada dengan begitu saja akan tetapi senantiasa berkaitan erat dengan “ada”-nya sendiri.[14]

Gelombang kedua pemikiran Heidegger sering disebut sebagai kehre atau “pembalikan”. Pemikiran pada gelombang kedua ini merupakan kelanjutan dari gelombang pertama, fungsinya melengkapi bukan mengsubtitusi pemikiran gelombang pertama. Heidegger menyadari bahwa ketidaktersembunyian “ada” merupakan suatu kejadian yang paling asali. Kalau sebelumnya dalam tradisi filsafat barat posisi “ada” dalam hakikatnya yang asali adalah dalam ketersembunyiannya -lalu tugas manusia filsuf adalah untuk menyingkap ketersembunyian ini- maka Heidegger mencoba untuk membaliknya. Kemudian berdasarkan atas pembalikan ini, dia menafsirkan kembali seluruh tradisi filsafat barat.[15]

Alasan Heidegger melakukan pembalikan ini adalah karena dalam bahasa Yunani kebenaran disebut dengan aletheia yang dimaknai Heidegger berasal dari kata a artinya tidak dan lethe artinya ketersembunyian. Menurut dia, pengalaman Seinsvergessenheit (lupa akan ada) harus menggerakkan pikiran untuk mengaktualisasikannya. Oleh karena itu, metafisika harus dilampaui dengan mengembalikannya pada hakikatnya, metafisika tidak lagi menentukan, kita harus kembali pada yang asali. Berfikir yang benar adalah kembali pada masa “sein”. Menurut Heidegger, hakikat  persepsi. Dalam kehidupan nyata, kata lebih sering menentukan daripada fakta atau perbuatan. Sehingga dalam upaya filsafatnya Heidegger meletakkan bahasa sebagai pusat pembahasannya. Menurut dia tanpa bahasa, pada hakikatnya manusia bukanlah manusia.[16] Tesis Heidegger yang meletakkan bahasa sebagai objek materia filsafat inilah yang secara otomatis membawa dia bergelut dalam dunia hermeneutika.

Heidegger, seperti para penganut fenomenologi lainnya menolak asumsi filsuf analitik mengenai bahasa yang berfungsi hanya sebagai alat komunikasi saja. Bahasa pada hakikatnya dipandang sebagai berkaitan langsung dengan proses penyampaian arti. Tidak dikatakan bahasa jika dia tidak menympaikan arti apa-apa (tidak mufid). Dikatakan bahasa meskipun itu tanpa kata dan mendatangkan arti. Bagi Heidegger, bahasa adalah apa yang memicu munculnya kegiatan berfikir.

Heidegger sangat tidak setuju jika bahasa didekati secara logika, dalam artian dianalisis struktur kalimatnya secara pragmatik. Bahasa tidak mungkin diformulasikan dengan logika yang ketat, yang demikian justeru menyembunyikan hakikat bahasa yang sesungguhnya. Bahasa adalah keterbukaan manusia terhadap “dasein” yang ditunjukkan dengan berfikir dan berkata-kata adalah menampakkan “dasein”. Berkata dan berfikir oleh karena itu adalah tindak menciptakan ruang yang dibutuhkan bagi munculnya “dasein”.[17] (hakikat ruang adalah kita dapat dengan leluasa, ruang bicara, ruang berpendapat, ruang berkreativitas. Ruang bagi dasein adalah potensi memahami. Karena sifatnya meruang maka tidak ada yang menempati tempat yang sama dalam satu ruang pemahaman. Artinya tidak ada yang benar-benar memahamai satu ruang dengan presisi, rigid, pasti).

Dalam hal inilah Heidegger mengatakan bahwa bahasa adalah rumah “sang ada”. Dengan lain perkataan bahwa bahasa adalah ruang bagi pengalaman-pengalaman yang bermakna sepanjang rentang kehidupan manusia. Pengalaman yang bermakna inilah yang kemudian mengkristal menjadi semacam saripati kehidupan, substansi dalam term metafisika. Pengalaman menjadi tidak bermakna bila tidak menemukan rumahnya dalam bahasa. Sebaliknya bahasa tanpa pengalaman nyata adalah kosong.[18]

Kalau tadi bahasa menciptakan ruang bagi “dasein”, maka saat orang berbahasa, dia berada dalam sebuah ruang dasein, akan tetapi manusia bukanlah pencipta ruang itu, kita hanya hadir di dalamnya. Di dalam bahasa, realitas lah yang mencapai kita. Bahasa menggunakan manusia sebagai media perantara untuk hadirnya “dasein”. [19] Di sini terlihat bagaimana fenomenoogi Husserl sangat mempengaruhi cara berfikir Heidegger. Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa bahasa adalah proses, bergerak dan dinamis tidak rigid. Maka perhatiannya tidak pada keterbatasan pemakaian kata di masa lalu atau ketepatan filologis melainkan bagaimana agar ia dapat memasuki dinamika bahasa yang selama ini tertutup. [20]

Dari serangkaian hipotesis di atas kemudian bagaimana memahami teks? Pemahaman teks terletak dalam kegiatan mendengarkan lewat bahasa manusia perihal apa yang dikatakan. Kita berupaya mengungkap “dasein” yang terselubung  tersebut dengan menghayati kegiatan kebahasaannya. Usaha-usaha ini, yang mempertemukan bahasa dan pikiran dikenal luas dengan hermeneutika.

Secara eksplisit, Heidegger menyebutkan sendiri filsafatnya adalah fenomenologi dengan metode hermeneutika. Fenomenogi sendiri berasal dari kata phainesthai dan logos yang berarti membiarkan benda-benda menjadi manifes sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategori-kategori kita sendiri pada benda-benda tersebut. Maksudnya, hakikat terdalam pemahaman yang sebenarnya adalah pemahaman realitas yang dibimbing oleh kekuatan realitas tersebut untuk merealisasikan dirinya. Logos, menurut Heidegger adalah apa yang disampaikan ketika berbicara, sedangkan makna yang ingin disampaikannya sebagai hal yang nampak, tidak merupakan suatu makna yang menggejala (fenomena). Yang nampak adalah suatu proses penjelmaan ontologis dari realitas itu sendiri, bukan memaksanya terpahami sebagaimana yang dikehendaki.[21] 

Fenomenologi hermeneutik Heidegger adalah suatu hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi, bukan interpretasi atas interpretasi, melainkan kegiatan interpretasi utama yang membuka hakikat dasein. Hermeneutika dengan ini adalah ciri hakiki manusia, interpretasinya bukan merupakan pemaparan objek yang bersifat material, bukan pula “ada” yang bersifat empiris, tetapi proses pemaparan objek yang dibimbing (bukan ditentukan) oleh verstehen (pemahaman).[22]

Hermeneutika, di tangan Heidegger selalu menghindar dari penafsiran atas sesuatu (teks) yang merupakan penjelasan dari realitas tertentu. Akan tetapi dia berusaha untuk kembali memahami realitas (keber-ada-annya) langsung, ini seperti proses konfirmasi dalam dunia jurnalistik. Akan tetapi kejadian jurnalistik biasanya berlangsung beberapa saat di masa yang relatif sama yang mana memudahkan untuk konfirmasi langsung pada sumber berita. Bagaimana jika realitas yang dijelaskan adalah realitas masa lalu? 

Teksnya juga dengan bahasa zaman itu yang kita tidak bisa mengkonfirmasi secara langsung? Penulis kira inilah fungsi bimbingan dari verstehen, dan tentu saja pemahaman penafsir datang dari teks lapuk tersebut. Hanya saja penafsir tidak berhenti sampai di titik yang telah dicapai teks itu saja akan tetapi meradikalkannya sampai seolah-olah penafsir menghadapi realitasnya sendiri, langsung. 

Jadi, hermeneutika dengan pengaruh dari fenomenologi dari Heidegger ini melucuti realitas dari berbagai asumsi eiditik, generalisasi, kategorisasi dan reduksi manusia, baik dari kerja akal ataupun indera.

Selanjutnya, Heidegger meyakni bahwa hakikat ada tersembunyi dalam proses kerja manusia yang eiditik, generalis, kategoris, dan reduktif terhadap realitas. Proses kerja ini menurutnya ada di dalam bahasa, hingga hermeneutika adalah dengan sendirinya kemestian karena hermeneutika juga berarti asal yang hakiki dari manusia, sebagaimana bahasa adalah yang asali pada manusia.  

Dalam Being and Time, Heidegger menaruh perhatian besar pada “dasein”. Dalam dasein yang ingin diungkap adalah sein, akan tetapi sein selalu melekat dalam keberadaannya di situ (faktisitas) atau “da”. Jadi dengan mudah kita mengasumsikan bahwa pemikiran Heidegger adalah mengembalikan sein pada hakikat kemeruangan dan kemewaktuannya. Pemahaman manusia, menurut Heidegger berkaitan dengan perencanaan di masa depan atas dasar kemungkinan-kemungkinan dari masa lalu. Totalitas kehidupan manusia adalah memahami segala kemungkinan atas dasar masa lalu yang tidak dipisahkan dengan kemungkinan di masa datang. Cara berada manusa ini disebut dengan analisis eksistensialis. Pemahaman menurutu dia adalah kemampuan manusia menangkap kemungkinan-kemungkinan hakikat eksistensi manusia. Pemahaman adalah modus berada di dunia, yang merupakan struktur eksistensial dasein yang memungkinkannya menjadi pengalaman empiri serta memungkinkan terbentuknya pengetahuan yang lainnya. Pemahaman adalah dasar bagi semua interpretasi, dan juga senantiasa hadir dalam interpretasi. Pemahaman bukan sekedar peristiwa neurotik, melainkan merupakan suatu proses ontologis, penguakan sesuatu yang berkaitan dengan eksistensi manusia.[23]

Dalam hubungannya dengan bahasa, arti merupakan hal yang lebih dalam daripada sistem logis bahasa atau bisa jadi lebih dahulu dari bahasa, bahkan merupakan kemungkinan ontologis bagi adanya kata-kata. Arti dan pemahaman merupakan dasar bagi bahasa dan interpretasi. Oleh karena itu, arti bukanlah sesuatu yang diberikan kepada objek melainkan sesuatu yang diberikan objek kepada manusia dengan menyediakan kemungkinan ontologis bagi terwujudnya kata dan bahasa. [24]



[1] Poespoprodjo, Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya, (Bandung: Remadja Karya, 1987), hal. vii.
[2] Awalnya prima philosophia adalah sebutan Aristoteles untuk metafisika karena kemampuannya untuk menjelaskan segala sesuatu. Jadi ada semacam klaim kebenaran dalam metafisika, inilah yang membedakannya dengan Hermeneutika.
[3] Jean Grondin, Sejarah Hermeneutika, terj. Aziz Safa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal. 17
[4] Donny Gahral Adian, Pengantar Fenomenologi, (Depok: Koekoesan, 2012), hal. 45.
[5] Ibid., hal. 45-46.
[6] Ibid., Hal. 46
[7] Ibid., hal. 46-47
[8] Ibid., hal. 47.
[9] Prof, Dr. Kaelan, M.S., Filsafat Bahasa: Realitas Bahasa, Logika Bahasa, Hermeneutika dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Paradigma, 2002, hal. 194.
[10] Loc.cit.
[11] Op.cit., hal. 48.
[12] Ibid., hal. 48-49.
[13] Ibid., hal 49.
[14] Kaelan, hal. 195.
[15] Kaelan, hal. 196.
[16] Kaelan, hal. 198.
[17] Kaelan, hal. 200.
[18] Kaelan, hal. 200.
[19] Kaelan, hal. 200-201.
[20] Kaelan, hal. 201.
[21] Kaelan, hal. 202-203.
[22] Kaelan, hal. 203.
[23] Kaelan, hal. 204-205.
[24] Kaelan, hal. 206.

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.