Hubbul wathon minal iman, cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau
diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan
terma wathon dengan sangat lincah.
Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur
mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon.
Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini.
Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini.
Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia.
Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan
dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men-transformasikan pengetahuan kebangsaan
yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan
masa depan. Adalah satu kesulitan di akar rumput apabila pemahaman kebangsaan
yang sangat luar biasa tersebut tidak bisa dimengerti dengan jelas oleh
masyarakat kecil yang jarang tersentuh.
Islam
pesantren setidaknya memberikan gambaran bahwa bicara Islam di Indonesia tidak
bisa dijelentrehkan dengan mudah. Islam bukan hanya representasi sedikit orang
yang menganut madzhab tertentu di dalam Islam. Saya cerita begini sebenarnya
karena kemarin sore saya melihat wajah Islam yang berbeda dengan keseharian saat
mengunjungi pameran buku yang katanya bertemakan Islam (Islamic Book Fair 2012)
di ruang Islamic Center Cirebon (ICC), Masjid at-Taqwa di Jalan Kartini, tepat
di seberang rumah redaksi Kabar Cirebon. Aneh bin ajaib, pada saat berada di
tengah-tengah gelaran pameran secara psikologi sepertinya saya sedang berada di
tengah-tengah negara semenanjung Arab.
Setelah
mengunjunginya, langsung saya teringat pada model Islam yang lain, Islam
Pesantren yang dari dulu akrab mewarnai kehidupan masarakat Cirebon. Lihat
saja, di Cirebon banyak sekali pesantren yang sudah terbukti mampu mengemban
tugasnya sebagai tempat penggemblengan manusia Indonesia yang beragama Islam.
Mulai dari pesantren Ciwaringin, Buntet, Gedongan, Kempek, Benda Kerep, Arjawingangun,
dan lain sebagainya.
Saya
juga langsung teringat pada sebuah buku dari Ahmad Baso, intelektual muda NU.
Dalam bukunya dia panjang lebar bercerita tentang sejarah Islam yang berbeda
dari Islam pesantren. Kita semua pasti mengenal Snouck Hurgronje, orientalis asal Belanda tersebut
ternyata melakukan keahliannya di luar syak prasangka kita. Awal mula cerita
dimulai pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Snouck mengusulkan untuk pertama
kalinya dibentuk Kantoor voor Inlandsche
Zaken, dibaca oleh orang pribumi sebagai Kantor Agama, embrio bagi lahirnya
Departemen Agama.
Lembaga
ini didirikan dengan tujuan untuk mengendalikan peran dari para Kiyai yang
kerap kali memobilisasi masyarakat dengan praktik-praktik keagamaan populisnya.
Gerakan semacam ini sangat membahayakan pemerintah, karena selain sangat rentan
terhadap munculnya radikalisme petani, gerakan semacam ini juga dicurigai
mengarah pada komunisme. Para Kiyai juga dianggap sangat berbahaya, karena
dalam ajaran-ajaran mereka selalu memunculkan ide Ratu Adil di masa depan. Ide
yang sangat berbahaya bagi relasi kuasa kolonial Belanda.
Oleh
karena itu, dalam benak orang-orang Belanda ada rencana jangka panjang untuk
menghilangkan kesadaran masyarakat pribumi yang demikian dengan memberikan
edukasi. Supaya orang pribumi yang penuh dengan bid’ah dan tahayul itu menjadi
rasional, modern dan tercerahkan.
Sedangkan
untuk jangka pendek, mereka memanfaatkan gerakan wahabi yang sedang marak di
Arab Saudi. Maka muncullah Sayid Usman, Usman dengan tegas menghantam
praktik-praktik keislaman yang berbau bid’ah, takhayul dan khurafat. Dari Usman
inilah dikotomi Islam muncul, Islam murni dan Islam bid’ah. Yang pertama
diidentikkan dengan rasional dan modern sementara yang kedua sebagai fanatik
dan tradional.
Apa yang
dilakukan oleh Usman dan Snouk ini melahirkan gap yang memisahkan orang pribumi
dari kontekstualisasi Islam. Islam sama sekali tercerabut dari pengamalan
sehari-harinya. Makna yang terkandung di dalamnya terkuras habis dan
dihilangkan dari garis kesejarahan pemeluknya. Islam pun muncul sebagai agama
kolonial hasil perasan dan terjemahan dari mereka.
Islam
berubah hanya menjadi bayangan gelap yang abstrak, hanya gambaran tentang dunia
yang tidak jelas. Cara beragama ini benar-benar mengambil jarak dari realitas
kesejarahannya dan sama sekali tidak menyentuh budaya lokal maupun
nasionalisme. Cara beragama ini adalah cara beragama hasil terjemahan
kepentingan kolonial dengan bentuk yang paling disukai oleh mereka.
Pada
akhirnya Islam tidak mampu berkembang menjadi etika sosial. Tidak pula bisa
hadir sebagai sebuah teologi yang membebaskan dan memberdayakan pribumi. Islam
hanya menjadi bagian dari birokrasi penguasa, satu alat bagi penguasa untuk
terus melanggengkan kekuasaannya. Contoh sekarang, anda bisa melihatnya pada
MUI (Majelis Ulama Indonesia), bagaimana dia dengan seenaknya memberikan fatwa
yang tidak tahu konteks dan bagaimana pula cueknya orang Islam di Indonesia
menghadapi fatwa tersebut.
Pribumisasi Islam
Akhirnya, yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa orang-orang pesantren harus terus berusaha untuk meletakan agama pada alam ke-Indonesiaan. Seluruh warganya harus memperjuangkan dengan sungguh-sungguh dan bersemangat pada komitmen yang sudah dibawa hampir seabad ini. Seperti yang sudah dicontohkan oleh Gus Dur, Islam perlu untuk dibumikan dan dipribumikan, pribumisasi Islam katanya. Bukan ide baru, tapi gagasannya memang perlu.
Starting Point gagasan
pribumisasi Islam Gus Dur adalah memahami ajaran apapun (termasuk agama) dari
luar budaya kita sebagai ajaran yang khas. Artinya, ajaran tersebut memiliki
karakter yang melekat dengan nilai budaya asalnya. Ajaran agama Yahudi amat
erat kaitannya dimana agama itu turun dan berkembang. yakni dengan bangsa
Israel. Kristen walaupun turun di Palestina tetapi bentuknya yang sekarang
perpaduannya adalah dengan budaya Eropa. Islam dengan budaya Arab, Hindu dengan
Asia Selatan, Budha dengan Asia Timur, Konghucu dengan China, dan lain-lain.
Islam
yang kebetulan lahir dan berkembang pertama kali di tanah Arab tentu akan
mengadopsi banyak sekali budaya gurun tersebut. Islam lahir dalam watak
ke-arabannya. Maka, Islam yang datang ke Indonesia tidak harus mengambil watak
kebudayaan asalnya itu. Melainkan semangat dari Islam harus dipahami sebagai
semangat keagamaan. Semangat inilah yang kemudian harus dikembangkan dengan
pengalaman kehidupan keseharian masyarakat Indonesia.
Maka
jadilah Islam yang dikembangkan menjadi Islam yang mengubah manusia menjadi
subjek kehidupan beragama, Islam Pos-Kolonial. Satu tafsir ajaran Islam yang
terbebas dari hegemoni pengarusutamaan ajaran agama. Karena setiap ajaran tidak
akan menghasilkan manfaat apa-apa kecuali kita jujur pada diri sendiri. Bahwa
kita lahir di tanah Indonesia yang memiliki berbagai macam tradisi dan budaya.
Menjadikan Islam tidak hanya sebagai cara untuk melegitimasi, menjustifikasi
ataupun mengusai orang lain. Karena kita tidak bisa dan masih saja belum dewasa
dalam menyikapi yang liyan, yang
berbeda dengan diri kita. Lebih-lebih masalah agama.
Di negara
yang pluralistik ini, Islam pos-Kolonial tidak hanya meletakan Islam pada
dimensi kebudayaan kita. Dia juga bisa menjamin adanya toleransi umat beragama.
Karena dia mengajarkan bahwa yang abadi dari satu ajaran agama bukanlah
dogmanya, bukanlah doktrinnya, akan tetapi semangat kemanusiaannya. Wallau
a’lamu.[AR]
Comments
Post a Comment