Siapa bilang banjir hanya identik dengan air. Nyatanya banjir bisa juga
karena banyaknya korupsi uang rakyat. Korupsi yang membanjir. Seperti banjir,
korupsi bagi orang kita biasa saja, kewajaran, lumrah saja.
Hujan deras yang mengguyur daerah
pantura Jawa Barat awal tahun ini (2012) mengakibatkan banjir. Kota Cirebon pun tergenang
air yang mencapai ketinggian 70 sentimeter. Sebagian warga mengungsi, ada juga
yang tercengan heran, “Kok bisa yah, Cirebon banjir”.
Besoknya, belasan media, lokal
maupun nasional menafsir banjir di Kota Cirebon tersebut. Ada yang mengatakan
banjir tersebut karena curah hujan yang tinggi. Ada juga yang bilang karena air
kiriman dari pegunungan. Ada pula yang bilang itu semua adalah wadal bagi proyek pembangunan sebuah
kompleks perbelanjaan elit di tengah kota Cirebon. Apapun ihwal itu, banjir selalu menimbulkan kerugian, kecemasan,
kerusakan, kepanikan, kemelaratan dan kehancuran manusia.
Di Cirebon, banjir tidak hanya dalam
artian air. Dengan modus yang
berbeda, banjir dengan wujud lain melanda Cirebon. Banjir ini sama-sama
mengakibatkan efek yang yang tidak baik, bahkan memporak porandakan semua
tatanan hidup. Dia jumawa, karena tidak bisa dikenali dengan kasat mata. Tidak
juga bisa diramal ataupun diprakirakan sebelumnya. Tak lain dan tak bukan, banjir
itu adalah banjir korupsi.
Cirebon, yang kata orang tua kita
bilang adalah kota Wali telah menemukan satu zaman. Di mana kini para
penyelenggara pemerintahannya mengalami banyak dosa dan pelanggaran.
Pelanggaran ini terbilang sangat serius. Karena tindakan ini mencerminkan
pengabaian amanat yang telah diberikan kepadanya. Amanat yang diakumulasikan
dan dipercayakan masyarakat Cirebon melalui proses demokrasi yang adil dan
beradab.
Korupsi melanda secara massif di
daerah yang dulu sempat menjadi primadona perdagangan. Cirebon kita yang
tercinta. Semuanya berawal dan menjadi jelas saat Majelis hakim Tipikor Jabar,
pimpinan Eka Saharta Winata menyatakan Sunaryo (Mantan Walikota Cirebon) dan
Suryana (Mantan Ketua DPRD kota Cirebon) terbukti bersalah secara sah dan
meyakinkan telah melakukan korupsi, Januari kemarin. Sesuai dengan dakwaan
subsider jaksa penuntut yakni Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Pasal 55 ayat (1) kesatu jo 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
Sedangkan dakwaan primer dari jaksa penuntut
dinyatakan oleh hakim tak terbukti, sehingga keduanya dibebaskan dari ancaman
pidana dakwaan primer yang lebih berat, dari Pasal 2 Undang-Undang Antikorupsi.
Majelis Hakim berapologi, walaupun kedua terdakwa ini terbukti melawan hukum, akan
tetapi mereka beruda tidak terbukti memperkaya diri ataupun orang lain. Dalam
pertimbangannya pula, majelis hakim mengatakan bahwa kedua terdakwa terbukti
menguntungkan diri sendiri dan orang lain dengan cara menyalahgunakan wewenang
dan merugikan keuangan negara.
Para terdakwa secara bersama-sama
telah mengakali aturan penganggaran, penggunaan, dan pertanggungjawaban dana
APBD tahun 2004 untuk menilap duit rakyat atas nama dana penunjang kegiatan dan
penghasilan anggota Dewan. Duit dari rakyat jelata, para petani miskin kota,
pedagang kaki lima dan pengusaha yang kembang kempis itu dibagi meriah laiknya tawurji ke seluruh pimpinan dan anggota
Dewan periode 1999-2004. Dengan tanpa dosa mereka menilap duit tersebut
seolah-olah duit hasil tetes keringat rakyat tersebut adalah hak anggota Dewan
atas nama biaya reses, bantuan kesejahteraan, tunjangan purnabakti. Juga
sebagai biaya bantuan hukum dan transportasi pengacara, biaya transportasi,
biaya mobilitas fraksi, biaya sosialisasi dokumen penganggaran, dana taktis,
biaya persiapan reses, dan lainnyal. Total semua uang yang dikroyok para anggota dewan tersebut bernilai 4,9 Miliar rupiah. Fantastis!
Lanjut, hakim menyatakan para terdakwa
telah melanggar ketentuan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 105
Tahun 2000. "Menggunakan dana anggaran tak sesuai dengan peruntukan dan
tidak mempertanggungjawabkan penggunaan dana tersebut dengan bukti penggunaan
yang benar," katanya.
Kasus penyelewengan yang dilakukan
oleh anggota dewan memang seringkali terjadi. Dari terbongkarnya kasus ini, kita
mengetahui satu modus korupsi APBD. Modus ini diantaranya yaitu dengan
melakukan pengeluaran yang tidak ada kegiatannya, pengeluaran yang kegiatannya
tidak dilaksanakan, pengeluaran yang tidak ada bukti pendukung, pengeluaran
tanpa bukti sama sekali, dan pengeluaran yang tidak seharusnya dibebankan
kepada APBD.
No
|
Modus Pelanggaran
|
Nominal
|
|
1
|
Pengeluaran yang tidak ada kegiatannya
|
Rp.
|
2.800.000.000,-
|
2
|
Pengeluaran yang kegiatannya tidak
dilaksanakan
|
Rp.
|
980.500.000,-
|
3
|
Pengeluaran yang tidak ada bukti pendukung
|
Rp.
|
757.150.000,-
|
4
|
Pengeluaran tanpa bukti sama sekali
|
Rp.
|
40.000.000,-
|
5
|
Pengeluaran yang tidak seharusnya dibebankan
kepada APBD
|
Rp.
|
365.000.000,-
|
Total
|
Rp.
|
4.942.650.000,-
|
Tabel: modus penyelewengan APBD 2004.
Kasus APBD gate sendiri menyita banyak
perhatian publik. Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, kasus ini menyeret
banyak sekali mantan anggota dewan. Total ada sekitar 30 orang anggota DPRD
Kota Cirebon periode 1999-2004 yang menjadi terseret. Selain jumlahnya yang fantastis,
kasus ini juga terbilang kasus yang lama, berbelit-belit dan penuh intrik. APBD
gate ini sebenarnya adalah kasus lama. Dia pernah disidangkan oleh kejari kota
Cirebon pada tahun. Tapi kemudian kejari memutuskan bebas para tersangka. Ternyata
pada tahun 2008 kasus ini kembali disidik oleh Pengadilan Tipikor (Tindak
Pidana Korupsi) Polda Jawa Barat. Sebelumnya, kasus ini mengambil perhatian Komisi
Yudisial. Mereka diam-diam beberapa kali turun ke Cirebon memantau proses
persidangan.
Tidak hanya KY yang memberi catatan
penting dalam kasus ini, ICW (Indonesian
Corruption Watch) mengatakan bahwa kasus APBD gate kota Cirebon ini adalah
contoh dari sekian banyak kasus korupsi di Indonesia yang didakwa bebas pada
pengadilan tingkat pertama. Masih menurut ICW, model yang sama juga terjadi
pada kasus dugaan korupsi dana APBD Kota Cirebon tahun 2001 yang diduga
merugikan negara Rp1,3 miliar. Total,
menurut data ICW sampai akhir tahun 2004 saja ada sekitar 1.437 Anggota DPRD yang
terlibat kasus korupsi di seluruh Indonesia.
Dari 30 mantan anggota DPRD yang
tersangkut kasus tersebut (mempunyai status hukum yang berbeda-beda).
Kesemuanya terbagi dalam 5 berkas. Berkas pertama dan kedua terdiri dari
sembilan orang yakni Jarot Edi Sutarto, Ade Anwar Sham, Iing Sodikin, Citoni,
Saftari Wartoyo, Dahrin Syahrir, Setiawan, Suyatno A Saman, dan Wawan Wanija. Sementara
dalam berkas ketiga tercatat sembilan orang yaitu Agung Tjipto, Supriyatna, Z.
Iskandar, Budi Permadi, Tajudin Sholeh, Samaun, Fajar Rivai, Santoso, dan
Sukarela. Berkas keempat, menyeret Wakil Wali Kota Cirebon Sunaryo HW yang
pernah menjadi anggota DPRD masa itu. Selain Sunaryo, mantan Ketua DPRD Suryana
juga turut ditahan pada pertengahan Agustus lalu. Terakhir, di dalam berkas kelima
ada nama Edi Suripno, Lili Eliyah, Joko Poerwanto, Iko Sukasa dan Azrul
Juniarto.
No Berkas
|
Nama-nama
|
1
|
Jarot Edi Sutarto, Ade Anwar Sham, Iing
Sodikin, Citoni, Saftari Wartoyo, Dahrin Syahrir, Setiawan, Suyatno A Saman,
dan Wawan Wanija.
|
2
|
|
3
|
Agung Tjipto, Supriyatna, Z. Iskandar, Budi
Permadi, Tajudin Sholeh, Samaun, Fajar Rivai, Santoso, dan Sukarela.
|
4
|
Sunaryo HW dan Suryana.
|
5
|
Edi Suripno, Lili Eliyah, Joko Poerwanto,
Iko Sukasa dan Azrul Juniarto.
|
Tabel: Berkas pemeriksaan APBD gate dari Tipikor
Jawa Barat.
Peran Kepolisian
dalam Memberantas Korupsi
Itulah sekelumit kisah APBD gate yang
menggemparkan jagat Cirebon. Dan kisah itu pula yang membuat kita
bertanya-tanya ada apakah dengan penyelenggaraan pemerintahan di Kota Cirebon?
Nyatanya dari kasus tersebut terbukalah hijab yang melindungi kredibilitas
Cirebon dalam aral sejarah dan kehidupan nasional. Kasus itu juga yang
mengingatkan kita bahwa ada banyak sekali kasus-kasus yang sedang disidangkan,
kasus yang sedang disidik, dan kasus yang sudah menjalani vonis sepanjang satu
dekade terakhir ini.
Penegak hukum dalam hal ini Kepolisian
(berdasarkan Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1981), Kejaksaan (berdasarkan UU No. 16
Tahun 2004), dan KPK (menurut Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002) mempunyai tugas dan
kewenangan secara normative untuk menyelesaikan masalah korupsi. Hal ini akan
sangat berat terutama bagi lembaga kepolisian yang pada tahun 2008,
dikategorikan sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Selain memperbaiki citra
dan kredibilitasnya, sambil berlari kepolisian juga harus sigap dalam menangani
masalah ini.
Masayarakat juga diharapkan turut
aktif dalam usaha memberantas korupsi. Sebagaimana Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran
serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi. Masyarakat mempunyai kewajiban untuk turut serta dalam
mencegah tindak pidana korupsi tersebut. Oleh karena itu, masyarakat juga mempunyai
hak-hak yang selama ini kurang diketahui oleh kebanyakan orang. Masyaraka
berhak mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tindak
pidana korupsi dan hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Peraturan Pemerintah ini juga mengatur
mengenai kewajiban pejabat yang berwenang atau Komisi untuk memberikan jawaban
atau menolak memberikan isi informasi, saran atau pendapat dari setiap orang,
Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat. Sebaliknya masyarakat
berhak menyampaikan keluhan, saran, atau kritik tentang upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pengalaman dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan
bahwa keluhan, saran, atau kritik masyarakat tersebut sering tidak ditanggapi dengan
baik dan benar oleh pejabat yang berwenang.
Dengan demikian, dalam rangka
mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi, pejabat yang berwenang atau Komisi pemberantasan tindak
pidana korupsi diwajibkan untuk memberikan jawaban atau keterangan sesuai
dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Kewajiban tersebut diimbangi pula
dengan kesempatan pejabat yang berwenang atau Komisi pemberantasan tindak
pidana korupsi menggunakan hak jawab berupa bantahan terhadap informasi yang
tidak benar dari masyarakat. Di samping itu untuk memberi motivasi yang tinggi
kepada masyarakat.
Potensi Korupsi Ada
di Setiap Lembaga
Potensi korupsi itu ada di APBD karena
sebagaimana analisa dari Dadang Kusnandar di Blakasuta edisi pertama 14
desember 2003. Dia mengatakan bahwa belajar dari APBD tahun 2003, belanja
pemerintah kota terbagi dalam dua kategori besar. Belanja rutin dan belanja
pembangunan. Kedua pos belanja tersebut tidak dibagi dalam prosentasi yang balance. Untuk biaya pembangunan DPRD
hanya mengalokasikan 30 persen saja dan sisanya untuk belanja rutin. Anggaran
untuk belanja rutin yang sangat besar ini sangat berpotensi untuk dikorupsi,
menurutnya.
Tidak hanya di lembaga tinggi Negara
semacam DPRD saja, korupsi juga terjadi dalam hamper seluruh lembaga yang ada
di Negara kita. Menurut data ICW, dari 14 lembaga negara yang mempunyai potensi
paling besar untuk korupsi adalah pemerintahan kabupaten (pemkab) dengan jumlah
246 kasus disusul kemudian pemerintah kota (pemkot) yang memiliki 56 kasus. Dan
kemudian peringkat ketiga, yakni seluruh lembaga di pemerintah provinsi
(pemprov) dengan jumlah 23 kasus. Urutan berikutnya adalah Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang mencapai 18 kasus korupsi. Keenam, kementerian.
Selanjutnya adalah BUMD, DPRD/DPR (10
kasus Rp 8 miliar), perguruan tinggi (7 kasus Rp 12 miliar), pengadilan (4
kasus Rp 2 miliar), kejaksaan (4 kasus Rp 0,8 miliar), Ormas atau LSM (2 kasus
Rp 24 miliar), dan seterusnya.
Sementara itu menurut KPK khusus dalam
kementrian, yang dinilai berada dalam posisi yang rawan korupsi adalah
Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kemenakertrans), serta Kementerian Koperasi dan UKM. Masing-masing dengan
indeks integritas 5,37, Kemenakertrans 5,44, sedangkan Kementerian Koperasi dan
UKM meraih 5,52.
Lain dengan ICW dan KPK, Transparency International
(TI)-Indonesia pada juni 2009 menempatkan DPR dalam urutan pertama lembaga terkorup.
Hasil tersebut mengambil alih posisi Kepolisian pada 2008 lalu yang menempati
urutan teratas. Menyusul kemudian institusi peradilan, partai politik, sektor
bisnis, dan media.
Secara umum, di Indonesia, sebagaimana
yang dilaporkan oleh Transparency International
(TI) kembali meluncurkan Corruption
Perception Index (CPI). Tahun ini CPI mengukur tingkat korupsi dari 183
negara, dengan rentang indeks antara 0 sampai dengan 10, di mana 0 berarti
negara tersebut dipersepsikan sangat korup, sementara 10 berarti negara yang
bersangkutan dipersepsikan sangat bersih. Dua pertiga dari negara yang diukur
memiliki skor di bawah lima, termasuk Indonesia.
Pada tahun ini, 5 negara dengan skor
tertinggi adalah Selandia Baru, Denmark, Finlandia, Swedia, dan Singapura. Sementara
negara-negara dengan skor terendah (5) adalah Uzbekistan, Afghanistan, Myanmar,
Korea Utara, dan Somalia. Sementara Indonesia dalam CPI skornya adalah 3.0.
Bersama dengan Indonesia, ada 11 negara lain yang mendapatkan skor 3.0 dalam
CPI tahun ini. Negara-negara tersebut adalah Argentina, Benin, Burkina Faso,
Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname
dan Tanzania. Indonesia dan negara-negara tersebut menempati posisi 100 dari
183 negara yang diukur. Di kawasan ASEAN, skor Indonesia berada di bawah
Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand. Sementara Vietnam, Kamboja, Laos dan
Myanmar skornya lebih rendah dari Indonesia.
TI (Transparency International)‐Indonesia juga merilis CPI yang
meliputi 33 ibukota propinsi ditambah 17 kota lain yang signifikan secara
ekonomi. Rentang indeks antara 0 sampai dengan 10; 0 berarti dipersepsikan
sangat korup, 10 sangat bersih. Dan ternyata Cirebon adalah kota dengan ICP
terendah bersama dengan Pekanbaru (3,61). Alias kota dengan indeks persepsi
korupsi yang paling buruk se-Indonesia. Sementara yang paling bersih adalah
Kota Denpasar yang mendapatkan skor paling tinggi (6,71), disusul Tegal (6,26),
Solo (6,00), Jogjakarta dan Manokwari (5,81).
Akhirnya, pemerintah selaku badan
penyelenggara negara, hendaknya melakukan
reformasi birokrasi yang menyeluruh dan komprehensif untuk menutup peluang
korupsi dalam proses perijinan usaha, pajak, dan bea cukai. Melakukan perbaikan
menyeluruh pada institusi penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan,
lembaga pengadilan, dan KPK. Dan melakukan penegakan hukum yang keras terhadap terhadap
siapapun, politisi, mafia hukum dan pejabat publik tingkat tinggi yang terlibat
korupsi, tanpa kecuali. Selain itu, Kepolisian, Kejaksan, Pengadilan dan
masyarakat pun harus saling bahu-membahu dengan kewenangan dan kapasitasnya
masing masing. Bergerak dan tidak ragu menghilangkan praktik-praktik korupsi di
Indonesia. Dengan begitu akan tercipta satu gerakan nasional dalam memberantas
korupsi, satu langkah menuju Indonesia bebas korupsi. (Disarikan dari
berbagai sumber).***
Comments
Post a Comment