Skip to main content

Memahami Radikalisme


LAGI dan lagi. Seakan kasus intoleransi tidak ada habisnya di wilayah Cireobon dan sekitarya. Pertengahan bulan Maret kemarin publik seperti dikejutkan oleh penembakan yang terjadi di GKI Indramayu. 

Meskipun dari olah TKP dan penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian memunculkan motif yang tidak ada kaitannya dengan masalah agama. Akan tetapi tetap saja, dalam konteks ini isu kekerasan atas nama agama terlanjur mengapung di pemukaan.

Kejadian ini seolah menjadi catatan lemahnya jaringan intelejen aparat dan juga sebagai tanda bahwa tingkat sentimen agama yang seringkali memunculkan kekerasan atas nama agama masih juga tinggi. Kejadian di GKI Indramayu tersebut juga mengingatkan kita pada kejadian bom bunuh diri di mapolresta Cirebon. 

Dalam kasus tersebut, pemahaman agama yang sedemikian rupa bisa membuat sesorang untuk tega menyakiti dan membunuh. Apalagi kalau bukan radikalisme agama yang masih subur dan bertebaran dalam kehidupan beragama di Cirebon.

Selain kasus di atas kiranya masih segar dalam ingatan bagaimana tahun (tahun 2011) tergambar wajah kehidupan beragama yang sangat memprihatinkan di Cirebon. Di tempat yang dulu Sunan Gunung Jati pernah memberikan saka, tiang penyangga untuk Klenteng Jamblang, kita disuruh melihat bagaimana ada warga yang menolak pemakaman jenazah Achmad Yosefa. 

Jangan juga melupakan penolakan terhadap Gereja Bethel di Pekiringan, penerbitan SK Walikota untuk menghentikan ibadah di GBI Pekiringan, pembubaran acara Paskah, dan penghentian Misa. Belum lagi aksi yang seringkali sangat meresahkan dari kelompok yang mengaku ormas salah satu agama.

Memahami Radikalisme

Dari catatan-catatan di atas kiranya sangat penting untuk memahami radikalisme agama sendiri. Hal ini dimaksudkan agar dapat pula menginsyafi peristiwa semacam itu dengan lebih baik dan menyeluruh untuk kemudian dapat mencegahnya terulang lagi. 

Banyak sekali teori yang coba menjelaskan tentang radikalisme, di sini akan ditampilkan satu saja penjelasan tentang radikalisme. Saat sekarang, radikalisme telah mengalami pergeseran makna. Dia lebih dekat maknanya kepada ekstremisme, padahal akar kata radikalisme sendiri adalah radix yang kurang lebih bermakna akar. 

Biasanya radikal mempunyai arti berfikir sampai ke akarnya. Tapi radikalisme dalam istilah yang digunakan seringkali dipahami sebagai tindakan yang tidak berkompromi dengan pendapat orang lain.

Sementara itu radikalisme yang bertumbuh dalam diri manusia dalam penjelasan filsafat mengandaikan relasi antara aku (I atau ana) dan liyan (other atau akhor). Aku selalu memandang segala sesuatu dengan kacamatanya. Begitupun saat dia memandang yang liyan. Dalam hubungan antara aku dan liyan ada beberapa bentuk relasi dan radikalisme adalah pandangan yang selalu melihat liyan sebagai yang mesti tunduk pada aku.

Semangat essensialis, yang meyakini bahwa yang hakiki adalah yang absolute mengakibatkan seorang yang merasa dekat, membela, meng-klaim terhadap yang absolute tersebut otomatis menganggap dirinya yang paling absolute dibandingkan yang lainnya. Aku benar dan yang liyan sebagai yang salah, keliru dan harus seperti aku

Padahal setiap dari yang liyan tersebut adalah aku dalam kediriannya. Jadi pandangan essensialis yang mengakibatkan radikalisme seperti ini sangat tidak bisa dimengerti dalam masyarakat yang teridiri dari multi komunitas.

Dari akar relasi antara aku dan liyan seperti inilah kemudian radikalisme lahir. Seringkali karena sifat essensialisnya, radikalisme tersebut tidak segan mempersilakan pada tindak kekerasan. 

Karena kekerasan yang dia buat seakan-akan adalah jalan kebenaran menuju yang menurut dia absolute tadi. Dan kenapa radikalisme tumbuh subur dalam ajaran agama adalah karena agama bersifat absolute dan menuntut pemeluknya untuk taat dan berserah pada yang absolute.

Radikalisme dari kwantitasnya bisa dalam bentuk kecil dan besar. Yang besar bisa muncul ke permukaan dengan aksi nyata, juga bisa berupa kekerasan, pembunuhan dan pembantaian etnis sekalipun. Sedangkan radikalisme kecil tidak muncul di permukaan, akan tetapi hal tersebut masih ada di dalam ajaran agama sebagai watak absolute dari masing-masing agama itu sendiri.

Cukup jelas kiranya dari paparan di atas ada sesuatu yang meniscayaan agama adalah radikalisme itu sendiri. Tapi hal tersebut adalah teori dan konsepsi logika akal semata yang mencoba menjelaskan fenomena. 

Yang pasti dan nyata dalam keadaan kehidupan beragama yang dilingkupi oleh radikalisme di masing-masing agama akan sangat merisaukan dan mengacaukan kedamaian yang diidam-idamkan semua pihak, termasuk bangsa juga negara.[AR]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.