Skip to main content

Membaca Kertas



KERTAS sudah sedemikian akrab dengan keseharian kita. Tidak ada hari tanpa kertas. Di sekililing kita kertas. Semuanya kertas. Mulai dari makalah tugas kuliah, koran yang tiap hari dibaca, buku, serakan soal ujian, bungkus gorengan, bahkan kitab suci yang kita sakralkan. Sebegitu akrabnya, hingga seringkali lupa dan malas untuk menengok sedikit saja, sebenarnya siapa dia? Kertas yang menjadi bagian dari diri kita itu.

Sejarahwan mungkin akan bilang bahwa kertas adalah nama benda pertama kali ditemukan di Mesir sekitar tiga abad sebelum masehi. Mereka menggunakan daun papyrus dengan bentuknya yang lebih ringan daripada media tulis sebelumnya seperti gerabah, batu, tulang, keramik, ataupun logam. Di atas daun papyrus inilah orang Mesir menuliskan dirinya. 

Daun “papyrus” sampai sekarang masih dipakai untuk menyebut kertas (ingg. paper). Ia menjadi semakin ringan dan praktis saat lembar-lembar tipis itu ternyata bisa dibuat dari serat-serat sekitaran abad 1 masehi di Cina. Sejak itu, dia merayap ke Jepang, Samarkand, Baghdad, Maroko, dan melalui peradaban Islam (the Golden Bridge) merambah eropa. 

Perkembangan selanjutnya adalah saat di Perancis muncul mesin produksi kertas pada abad 18. Dari situ kemudian kertas diproduksi secara besar-besaran.

Tapi mengenali kertas tidak cukup hanya dari tinjauan historis-materialis belaka. Ada pertanyaan lain mengenai dia. Pertanyaan kecil tapi cukup menguras perhatian kita: “Mengapa manusia memerlukan kertas?”, “Lalu, dengan asumsi bahwa kertas sudah menjadi bagian dari hidup kita, bagaimanakah manusia pada masa sebelum dan sesudahnya?”. 

Maka, inilah sekelumit risalah kertas, membaca keberadaan, kebudayaan, dan peradaban manusia yang ter-embargo ruang dan waktu dari kertas.

Irama HIdup Manusia

Inna al-insan asykala ‘alaihi al-insan. Manusia adalah masalah konkret bagi dirinya sendiri. Itu adalah satu pengandaian dari Mohammad Arkoun. Manusia akan selalu mencari solusi dari masalah-masalah yang melingkupi dirinya. 

Masalah itupun sebenarnya adalah masalah yang menjadi masalah bagi dirinya. Dan bisa dikatakan bahwa masalahnya terletak pada manusia itu sendiri. Bukan yang lain dari itu, bukan pada alam ataupun Tuhan.

Masalah kedirian inilah yang kemudian menggoda manusia untuk memahami yang di luar dirinya. Usaha memahami itu melibatkan usaha mati-matian seluruh potensi kemanusiaannya. Dengan memahami yang di luar dirinya, manusia berharap akan menemukan jawaban atas masalahnya itu. Jawaban tersebut tidak harus memuaskan, yang lebih penting adalah melegakan. 

Kerja semacam itu berlaku tiap harinya, dimanapun. Karena bagi manusia, banyak sekali sesuatu di sekelilingnya yang menunggu jawaban, untuk dirinya sendiri. Ironisnya, jawaban itu pada akhirnya oleh manusia menjadi masalah yang sama sekali baru dan berbeda dengan sebelumnya yang juga butuh jawaban baru. Begitu seterusnya. 

Hal demikian terus berlangsung selama riwayat hidup manusia berlangsung. Secara tanpa sadar, tiap saat secara halus kerja tersebut menjadi benang-benang yang merajut Peradaban dengan motif yang ambigu.

Dalam perjalanan sirkular tersebut, manusia selalu memeroleh pengalaman yang selalu berbeda saban dina. Pengalaman yang mengesankan dari proses ini mengakibatkan manusia mempunyai sifat dasar untuk selalu eksis, menampakkan dirinya. Menitipkan dirinya pada sesuatu di luar dirinya. 

Kebutuhan ini sedemikian urgen-nya hingga manusia menceritakan pengalaman-pengalamannya tersebut dalam bentuk simbol. Simbol-simbol itu terbentang pada berbagai media yang mungkin untuk menampungnya. 

Masyarakat purba berusaha menampilkan eksistensi dirinya dengan menceritakan pengalaman berburunya yang paling mengesankan di dinding-dinding gua, pada batu, tulang dan apapun yang mungkin.

Dengan asas logika al-wajibu bi asy-syai’i wajibu bi wasa’ilihi maka dapat dijelaskan bahwa keharusan manusia untuk menjawab masalah hidupnya meniscayakan dia mempunyai pengalaman yang mengesankan. Pengalaman yang bersifat individual tersebut mengharuskan dia bercerita, menaruh pada hal yang selain dirinya. Dan karena sifat asasiah manusia terhadap yang ultima maka manusia selalu mencari media yang tepat yang lebih dari yang sebelumnya. 

Dalam perkembangnnya media mengalami berbagai macam perkembangan ke arah yang lebih efisien, mudah didapat dan massif. Dengan desakan demikianlah, manusia menemukan satu demi satu media eksistensialis-nya. Hasrat yang memungkinkan pada akhirnya ditemukan kertas.

Membaca Kertas, Membaca Manusia

Pada masa pra-literasi,  untuk menjelaskan misal: pelangi, akan banyak sekali penggambaran, rumit dan tidak gamblang. Bersifat implisit, puitik, dan tanpa akurasi/presisi. Tak jarang masa ini disebut sebagai zaman hiperestetik. Model komunikasi yang dibangun adalah kesan mental dan psikologis. 

Segala pembacaan atas alam berdasarkan pada seluruh aktifitas indera, juga pada koordinasi di antaranya. Satu hal, pada masyarakat lisan, bisa dimaknai bunyi, wujud visual, rasa, dan aromanya. Demi kesan psikologis, maka semua interaksi ini harus maksimal. Terjadilah pergumulan yang serius antara manusia dan realitas.  

Segala pembacaan indera dan refleksi atas alam setelah manusia mengenal kertas bisa dibilang sangat berbeda. Tulisan melepaskan sama sekali konteks konkret realitas yang sesungguhnya. 

Terjadi reduksi hebat-hebatan. Lembar-lembar kertas menyiutkan ruang dan waktu yang berkelindan dan tumpang tindih dengan tafsir kebertubuhan manusia menjadi peristiwa-peristiwa yang linier, struktural, logis dan sistematis.

Masyarakat pembaca yang cukup puas pada zaman ini menjadi masyarakat reduktif. Satu potret (berhentinya waktu dalam satu ruang tertentu) hanya ditampilkan dalam narasi, redaksi dan frame yang tunggal. Paling banter beberapa, itupun dualistik (hitam-putih/biner).

Kertas membukakan gerbang bagi manusia untuk menjelaskan sesuatu dengan seolah-olah presisi dan identik. Realitas tampil dalam pernyataan-pernyataan yang dingin, kaku, netral, hambar, tawar, tanpa ruh, tanpa nyawa, tanpa emosi. 

Realitas oleh kertas diubah yang tadinya mengharu biru dan memiliki makna yang bertebaran menjadi realitas yang cuek, tak terlalu peduli pada manusia. Dia hanya objek yang diobservasi, dibaca, dianalisis, didiskusikan, diseminarkan, dibedah dan akhirnya disobek-sobek sendiri.

Memang, tidak bisa dinafikan bahwa kertas mempunyai kelebihan saat bicara substansi. Tapi perlu diketahui juga bahwa dia terlalu angkuh untuk mengakui adanya abnormalitas, ambiguitas, kompleksitas dan pluralitas kenyataan. Karena kertas terlalu ambisius memburu kepastian dan kejelasan. 

Dia arogan dengan membela mati-matian kebenaran yang didedah searah secara epistemologis, ontologis juga aksiologis tanpa awas mengakui keterbatasan dan kemungkinan di luar logikanya sendiri.

Percaya atau tidak, masa pasca-literasi menunjukan gelagat kembali pada sifat-sifat masa pra-literasi. Pada zaman ini, dengan dunia cyber-nya orang-orang merayakan keterbatasan dan kemungkinan. Merayakan kerapuhan segala bentuk representasi

Kerapuhan ini direspons oleh masyarakat dengan ketiadaan komitmen mereka terhadap segala bentuk kebenaran. Kebenaran diyakini hanya sebagai konstruksi dari pihak yang mempunyai kepentingan dan otoritas. Sejurus kemudian segala macam otoritas menjadi lumer. Orang-orang merayakan kesetaraan, kebebasan, keberagaman dengan imaji-imaji yang terus tumpang tindih. 

Yang fakta maupun yang fiksi, yang dengan-referensi dan yang tanpa-referensi, yang asli dan yang palsu. Realitas cyber juga mengakibatkan ketumpang-tindihan tersebut berlari dengan kecepatan yang tinggi. Kecepatan tersebut yang membuat makna menjadi mengambang. 

Dan dalam situasi yang demikian semuanya menjadi tidak ada yang bisa dipercaya akurasinya. Pada saat demikian, yang bekerja hanya satu, hasrat dan kesenangan pada permukaan dan tampilan (erotisme).



Masalahnya, segala perayaan yang berhulu pada hasrat tersebut mempunyai patokan nilai yang sama. Yaitu uang. Jadilah para pemodal mengelola hasrat tersebut dengan bingkai dan kemasan yang memanjakan erotisme dalam satu produk. Semua orang digiring ke arah yang sama (one dimension man), konsumsi. 

Peradaban manusia sekarang, pasca-literasi pun menjadi peradaban konsumsi, budaya permukaan, masyarakat erotis. Jargonnya adalah “dengan belanja aku ada”, pada akhirnya sekarang eksistensi manusia mewujud saat dia belanja dan memeroleh yang berbeda.[AR]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.