
MASYARAKAT Indonesia barangkai lebih banyak menggandrungi musik-musik modern dan menggunakan
alat-alatnya daripada musik tradisi. Bahkan orang-orang urban mengatakan bahwa
musik yang mempunyai cita rasa tinggi adalah jazz ataupun musik klasik gubahan beethoven atau mozart.
Beralihnya perhatian masyarakat
dari musik tradisi ke musik impor (barat, arab, dsb.) memang dipengaruhi oleh
banyak faktor. Selain karena akulturasi budaya yang tidak berimbang juga karena
kita lupa untuk mengembangkan dan mengkreasikan musik tradisi dengan benar. Seperti
sepinya pengembangan dalam musik gamelan, musik khas nusantara.
Gamelan adalah salah satu musik
tradisi di Jawa, Bali dan daerah lain di Indonesia. Biasanya gamelan masih
dijaga kesakralannya, sehingga dia tidak mudah untuk terpengaruh arus asing.
Meskipun demikian karena dianggap sangat sakral, gamelan tidak banyak dimainkan
kecuali hanya pada upacara-upacara tertentu.
Gamelan sendiri merupakan seperangkat
alat musik yang biasanya terdiri dari gending (kening atau saron), bonang,
jeglong, kecik, kendang, seruling, gong, kenong, dan lain sebagainya. Gamelan
biasanya dimainkan bersama dengan pementasan wayang (kulit maupun golek) maupun
beberapa jenis tari.
Keterbatasan penggunaan gamelan
dalam seni musik di tanah air membuat gamelan tenggelam dalam hiruk-pikuk
kemajuan industri musik nusantara. Dari kemandegan ini muncullah kebosanan yang
lambat laun menjadi keterlupaan tradisi. Miris memang.
Padahal, alat musik gamelan tidak kalah bercitarasa dibandingkan dengan musik barat. Menurut para peneliti etnomusikologi asing seperti Daniel Wolf dan Susan Pratt Walton, gamelan di Jawa tidak hanya alat musik tapi lebih merupakan mediator menuju estetika dan spiritualitas.
Padahal, alat musik gamelan tidak kalah bercitarasa dibandingkan dengan musik barat. Menurut para peneliti etnomusikologi asing seperti Daniel Wolf dan Susan Pratt Walton, gamelan di Jawa tidak hanya alat musik tapi lebih merupakan mediator menuju estetika dan spiritualitas.
Spiritualitas Gamelan
Dalam kosmologi Jawa kuno dikatakan
bahwa di dalam tubuh manusia terdapat roh dan jiwa yang mengalunkan irama
harmonis, sejalan dengan irama alam semesta. Sebaliknya, alam semesta juga
memancarkan irama yang bisa ditangkap oleh kepekaan rasa manusia. Rasa ini
biasanya diungkapkan melalui nada-nada gamelan.
Pengalaman spiritual dan pesan dari
alam semesta yang tidak terbatas hanya mungkin diungkap melalui seni gamelan
yang tak terbatas, tidak dengan kata-kata atau bahasa yang terbatas. Bahasa
dengan logikanya membatasi pengalaman, sementara seni gamelan sebaliknya, membebaskan
sebebas-bebasnya.
Lewat nada-nada musik hasil transformasi
dari irama alam tersebut manusia melakukan perenungan spiritual. Gamelan menjadi
alat bantu untuk meditasi. Nada-nada gamelan bukan sekedar seni, tetapi
merupakan bahasa jiwa, spirit kehidupan, musik Ilahiyah, bahasa pertama yang
menjadi pangkal pokok kehidupan.
Spiritulitas gamelan ini lah yang
tidak dimiliki oleh instument musik dari manapun. Karena spiritualitas yang
dibawa oleh gamelan bukan spiritualitas artifisial
yang dibawa oleh musik-musik modern. Para pendengarnya hanya merasakan sensasi
ketenangan jiwa beberapa saat. Dalam gamelan, spiritualitas yang diperdengarkan
muncul sendiri melalui rasa para pendengarnya, kemudian masuk ke dalam hati dan
meresap menjadi iman yang tetap.
Oleh karena itu, maka gamelan
menembus dinding-dinding yang menyekat manusia dari Tuhannya. Nada gamelan
menembus batas agama, etnis dan budaya. Sehingga gamelan dalam puncak
spiritualitasnya akan mengafirmasi pluralisme budaya, agama dan realitas pada
umumnya.
Cendikiawan penyebar ajaran Islam
abad 15-an, seperti Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga tahu persis akan hal ini. Dan
karena kecerdasan merekalah dan wali-wali yang lain, gamelan dan wayang digunakan
sebagai media untuk mengislamkan orang-orang Jawa. Bukan Islam yang tak
berkonteks tapi Islam yang tumbuh dan berkembang dalam tanah dan air nusantara.
Penemuan Handoyo
Seperti gerah dengan kekeringan
kreatifitas dalam musik gamelan. Dengan semangat dari alam semesta yang tak
terbatas, Handoyo MY pada hari senin, tanggal 19 November 2012 kemarin di
Sanggar Pringgadhing Plumbon Cirebon mengukir sejarah baru dalam seni karawitan
(gamelan).
Di sanggar miliknya hari itu
berkumpul para pakar dalam bidangnya masing-masing. Mereka adalah Embi C. Noor
(seorang sutradara, musisi, pegiat seni), Raden Ahmad Opan Safari ( Budayawan,
Pelukis ), Suhendi, S. Kar MM ( Dekan STSI Bandung ). Mereka bersama ratusan
praktisi seni dan akdemisi membicarakan penemuan larasan ageng (rumus nada pokok). Sebagaimana dia jelaskan dalam bukunya
“Rumusan Patut dan Pathet Laras Gamelan Pelog Karawitan Cirebon, Jawa dan
Sunda”.
Acara ini difasilitasi oleh Dirjen
Kesenian dan Perfilman Kemendikbud Republik Indonesia. Dengan ditemukannya
rumusan ini maka setiap orang bisa menciptakan sendiri laras (rumus nada) yang ingin dia mainkan dalam
gamelan. Tidak hanya sampai disitu, rumus temuan Handoyo ini juga bisa
diaplikasikan melalui alat digital dalam komputer. Meskipun suara yang
dihasilkan adalah suara digital akan tetapi aura dan rasa gamelannya begitu
terasa.
Hal ini dibuktikan dan dipraktikkan
sendiri oleh Embi C. Noor. Dia memperdengarkan dua instrument hasil larasan
ageng Handoyo kepada hadirin. Jika rumus gamelan ini benar-benar bisa
diaplikasikan dengan mudah, maka bukan tidak mungkin kita akan mendengar suara
gamelan di mana-mana.
Setiap musik konvensional nanti di
dalamnya selalu disisipi atau diiringi dengan instrumen gamelan. Larasan ageng
menjamin iringan gamelan tidak akan menjadi sumbang atau rusak saat bertemu
dengan suara musik diatonis.
Harapan Handoyo, semua wilayah
kultural dari seluruh nusantara bisa memunculkan sendiri aransemen lagu
daerahnya. Setiap daerah nantinya akan mempunyai sendiri laras yang sesuai dengan kultur dan tradisi daerahnya. Setiap
daerah dan setiap orang bisa membuat larasannya masing-masing sesuai dengan
selera. Digunakan dalam alat musik apapun tidak harus dalam bentuk lempengan gamelan. Bisa dimainkan dengan
gitar, piano, atau saxofone.[AR]
Comments
Post a Comment