AWAL tahun depan (2013) Kota Cirebon akan menyelenggarakan sebuah hajat besar, pemilihan Walikota. Memang masih cukup lama hingga gelaran itu dilaksanakan, akan tetapi gemanya sudah dirasakan semenjak sekarang. Spanduk-spanduk, baligho, iklan media cetak. Online maupun elektronik menjadi media yang sudah sejak dini meramaikan hajat tahunan ini. Jargon dan janji para bakal calon pun diumbar dengan sangat merajalela.
Dari tahun
ke tahun, apalagi pasca reformasi, pemilukada baik pemilihan wakil rakyat
maupun pemilihan pimpinan daerah (walikota)
selalu menjadi magnet tersendiri. Berbagai kepentingan untuk mmeperebutkan
jabatan pimpinan sebuah kota selalu saja terjadi. Cita-cita memajukan dan
mengembalikan kejayaan Kota Cirebon juga menjadi motif tersendiri bagi orang
yang mencalonkan diri.
Cita dan
keinginan inilah
yang kerap kali menimbulkan kefanatikan dan tidak bisa menerima kekalahan.
Untuk menjadi calon walikota saja perlu ratusan bahkan miliyaran rupiah. Sehingga rawan perselisihan. Belum lagi money
politik dan bentuk kecurangan-kecurangan yang bisa memicu ketegangan dan
kekerasan.
Pilkada
yang harusnya menjadi momen di mana
seorang warga negara menyalurkan amanat dan kedaulatannya kepada pimpinan
daerah, selalu teraniya,
terusik dan terganggu hak-nya. Konflik dan kekacauan inilah yang perlu dilihat
dan diperhatikan secara jeli oleh aparat keamanan negara, dalam hal ini Kepolisian.
Netralitas Polisi dalam Pilkada
Selain
masalah keamanan dan kelancaran pelaksanaan pilkada, netralitas kepolisian pun
menjadi hal sangat penting untuk disoroti. Jika kita tilik dalam sejarahnya, pada
tahun 1965, Polisi pernah diberlakukan dengan hukum militer, bagian dari
doktrin ABRI.
Pada Agustus 1967, keluar SK Presiden RI no. 132/1967, yang
menetapkan ABRI sebagai bagian
organisasi dari Dephankam (Departemen Pertahanan dan Keamanan) yang mana
kepolisian (AK, Angkatan Kepolisian) menjadi bagian darinya bersama Angkatan
Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU).
Tidak cukup sampai
di situ, menyusul pula kemudian Keppres no. 80/1969 tentang integrasi penuh Polisi
dalam ABRI baik secara yuridis formil maupun dalam pelaksanaannya.
Pada masa
orde baru, Polisi ikut terlibat dalam ranah politik. Bergabung dengan ABRI
dalam Fraksi ABRI di DPR, polisi yang harusnya menjadi aparat sipil berubah
menjadi alat kepentingan rezim Soeharto. Dwi-fungsi ABRI sebagai aparat militer
juga sebagai masyarakat sipil yang ikut terlibat dalam kancah politik inilah
yang kemudian oleh masyarakat mendapat banyak kritikan.
Hingga akhirnya, pada
saat reformasi, polisi juga didorong untuk melakukan reformasi. Terbitlah
kemudian Inpres pada bulan April 1999 melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 2
Tahun 1999 tentang bagaimana langkah-langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan
Polisi dan ABRI.
Kebijakan tersebut kemudian diikuti dengan dikeluarkannya kebijakan
lain berupa TAP MPR No. VI Tahun 2000 Tentang Pemisahan Polri dan TNI, dan TAP
MPR No. VII Tahun 2000 Tentang Peran Polri dan TNI. Kebijakan ini mengakhiri status
Polri di bawah garis komando ABRI selama Orde Baru.
Dengan pemisahan struktur
organisasi ini aparat kepolisian diharapkan tidak lagi tampil dalam performance
dan watak yang militeristik, dan dapat bekerja profesional sebagai aparat
kepolisian sipil secara profesional.
Dalam pemilihan umum dan daerah, UU
No. 10 tahun 2008 pasal 318 dengan tegas mengatakan bahwa anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih. Hal ini
dilakukan untuk menjaga profesionalitas Polisi.
Polisi sebagai aparat sipil
memang sebaiknya tidak ikut dalam percaturan politik. Fungsi dan tugas polisi
adalah untuk mengamankan. Ikut campurnya polisi dalam politik hanya akan
mencederai profesionalitas dan kemandirian lembaga. Sebagaimana pada orde baru,
dimana polisi menjadi alat stabilitas politik dengan melakukan masyarakat
sekehendak penguasa.
Dalam negara yang demokratik,
negara dibentuk dan diselenggarakan oleh permusyawaratan masyarakat, dalam hal
ini sipil. Dan polisi diciptakan dalam rangka bersama masyarakat sipil, bukan
dengan penguasa, oleh karena itu berdirinya polisi di bawah garis Presiden juga
masih perlu dipertimbangkan dengan seksama.
Sesuai dengan prinsip demokrasi,
maka seharusnya polisi mempunyai kenetralan dalam ranah politik, demi menjaga
profesionalitas yang berdasar pada norma demokrasi yaitu keterbukaan (openness) dan akuntabilitas (accountability) serta tidak melakukan
pelanggaran HAM dalam melaksanakan tugasnya.[AR]
Comments
Post a Comment