Skip to main content

Memahami Waktu

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.

(Perahu Kertas, Kumpulan Sajak Sapardi Djoko Damono  1982)
PUISI dari Sapardi di atas berjudul  “Yang Fana adalah Waktu”. Sekilas puisi ini menggambarkan bagaimana penulisnya terlalu romantik, berambisi merubah waktu dari nyata menjadi fana. Atau terlalu egois dengan menjadikan manusia abadi walau dengan susah payah harus menafikan waktu.

Tak tahu mengapa sejenak berfikir, nalar sedikit setuju. Walau tidak gampang, waktu memang perlu ditaklukkan. Di zaman serba terburu-buru dan terjadwal ini, waktu menjadi hal yang menakutkan. Disiplin.

Dalam tradsi Arab-Islam disebut: waktu bagai pedang. Di tradisi barat yang lebih materialis: waktu adalah uang. Maknanya sama, sebenarnya kita ketakutan pada waktu. Waktu dipercaya bisa merenggut nyawa manusia bagai pedang, juga bisa membunuh secara diam-diam. Ia membuat kita menderita seperti penderitaan orang yang jika tak punya uang.

Menyaksikan ketundukan manusia pada waktu seperti menonton film Terminator yang dibintangi Arnold Schwarzenegger. Terminator, sosok robot penghancur manusia menjadi momok yang menakutkan. Padahal yang membuat prototipe terminator adalah manusia, robot dengan kemampuan berfikir: AI (Artificial Intelligence).

Serupa juga ketakutan kita terhadap waktu. Waktu adalah konsep yang kita ciptakan, lalu kita jadikan patokan kepastian dari perjalanan hidup yang ambigu. Pengingat bagi makhluk yang menua, yang tunduk pada hukum tata surya. Kepastian waktu mengakhiri kelemahan manusia memahami keberadaannya. Semunya menjadi terjelaskan. Semesta pun dapat dikuasai dan manusia bisa menentukan perkembangan peradabannya.

Manusia dengan telaten merangkai konsep waktu. Menundukkan alam yang liar dalam skema berfikir manusia. Muncul kemudian ide tentang detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, windu, dekade, abad, millenium. Persis seperti apa yang tersirat dalam puisi di atas: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

Bunga adalah keindahan. Rangkaiannya adalah rangkaian kepastian tanpa alpa. Setiap desah nafas dan denyut nadi terukur dengan pasti: tidak ada kekosongan tanpa detik.

Kontroversi 

Setiap kali pergantian waktu, kita menghayatinya dengan seksama. Memeriksa adakah perubahan positif yang membedakan yang lalu dengan yang kini. Saat tahun baru tiba, semua orang pun merayakannya dengan sukacita. Akan tetapi ada sebagian yang menganggap perayaan tahun baru sebagai yang tak semestinya.

Sebagian umat muslim mengatakan bahwa seharusnya orang Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia merayakan tahun baru Hijriyah saja. Tidak usah ikut-ikutan merayakan tahun baru masehi. Mengikuti tradisi perayaan tahun baru masehi sama saja mengikuti tradisi Kristiani. Benarkah demikian?

Memang dengan proses sejarahnya, sistem kalender formal di negara kita mengadopsi kalender masehi -meskipun sebagian mengadopsi kalender hijriyah-. Kalender masehi sendiri merupakan sistem penanggalan yang digunakan oleh umat Kristen awal. Tahun pertama masehi menurut  mereka adalah tahun kelahiran Yesus atau Isa. Meskipun sebenarnya sistem penanggalannya mengadopsi kalender orang Romawi Kuno (kalender Julian tahun 45 SM. Yang disempurnakan pada tahun 1582 menjadi kalender Gregorian).

Sementara itu dalam sejarahnya, kalender Hijriyah digunakan sejak jaman pra-Islam. Hanya saja pada masa itu orang Quraisy menggunakannya dengan tanpa penyebutan tahun. Sehingga penyebutan tahun dinisbatkan pada peristiwa atau kejadian yang tidak biasa. 

Setelah Nabi wafat, Khalifah Umar bin Khatab menetapkan penanggalan hijriyah digunakan secara resmi dimana tahun pertamanya adalah tahun dimana hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Meskipun demikian, sistem kalender hijriah yang mengacu pada perputaran bulan ini sudah digunakan sebelumnya oleh orang Mesir Kuno.

Jadi dalam sejarahnya, penanggalan itu netral, tidak berjenis kelamin. Kalender yang satu lebih Islami dari yang lainnya. Karena pada hakekatnya sama, penanggalan adalah sistem pengikatan waktu agar menjadi pasti. Tujuannya adalah untuk memacu manusia untuk menjadi lebih baik dari yang telah lewat.

Kalau mau dikritik dan diprotes seharusnya bukan tahun baru-nya ataupun orang yang merayakannya akan tetapi sifat foya-foya dan kesia-siaan dalam perayaan ini. Perayaan tahun baru secara berlebihan, hura-hura dan penuh hiburan seperti orang yang lupa pada tujuan. Setelah detik terangkum dan bunga terangkai: berabad setelah itu kita lupa untuk apa.

Antara Kulit dan Isi

Penghayatan tahun baru masehi dan hijriyah, karena hidup dan berkembang di tradisi yang berbeda akhirnya dirayakan secara berbeda. Tahun baru masehi dirayakan dengan terompet, kembang api, sebagian ada lagi yang merayakannya dengan pesta pora: menyambut tahun yang baru dengan harapan kehidupan baru yang lebih baik.

Hal ini tentu kontras dengan perayaan tahun baru hijriyah. Biasanya ada do’a yang dipanjatkan setiap pergantian tahun hijriyah. Do’a yang dipanjatkan biasanya ada tiga. Penulis menangkap inti dari do’a tersebut adalah memohon untuk diberikan umur yang panjang. 

Menurut KH. Syarif Hud Yahya di Pesantren Miftahul Muta’allimin Babakan Ciwaringin, yang dimaksud dengan umur panjang bukanlah kuantitas rentang waktu hidup yang lama akan tetapi kualitas hidup yang sarat makna. 

Jadi, tradisi perayaannya berbeda karena hidup dalam tradisi yang berbeda. Tradisi Romawi yang eksoteris dengan tradisi semit yang esoteris. Perbedaan antara yang hidup mementingkan kuantitas waktu dengan yang mementingkan kualitas kehidupan itu sendiri. Antara eksistensi dengan essensi. Antara sesuatu yang kita ciptakan untuk menjelaskan diri dengan diri kita sendiri.

Jadilah selama ini pergantian tahun baru masehi lebih menyerupai karnaval. Lebih banyak meng-eksplore yang permukaan dibanding menyelami makna. Hal ini berakibat pada paradoks: tahun yang baru tetapi diri kita tetap yang lama.

Masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim -yang juga merayakan tahun baru Islam- bukan tidak mungkin untuk berubah, menggunakan semangat permenungan bagi setiap pergantian waktu. 

Menyertai pergantian tahun dengan do’a yang khusyuk, tahun bersama Tuhan. Menjadikan moment pergantian tahun –apapun jenis penanggalannya- sebagai saat yang baik untuk kembali merenungkan arti diri, sebagai pribadi pun sebagai bangsa. Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu. Wallahu a’lamu.[]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: