Skip to main content

Wasiat Penangkal Terorisme


SIANG itu, saat sholat Jumat di Masjid adz-Dzikro, mapolresta Cirebon. Tidak ada yang menyangka akan menjadi hari yang terkoyak. Setidaknya tidak di masjid tempat orang-orang sedang melaksanakan ibadah. Mendekatkan diri kepada sang pencipta. Tapi apa mau dikata, nyatanya bom bunuh diri itu tetaplah terjadi. Dan korbannya 24 orang terluka, delapan puluh persen adalah polisi. Sementara sang eksekutor bom meninggal dunia. Terakhir, diketahui pelakunya bernama M. Syarif, warga Pekalipan Cirebon.


Di Cirebon sendiri bom di masjid pernah terjadi tahun lalu. Tepatnya di masjid Sang Cipta Rasa. Bedanya dengan sekarang, bom itu tidak meledak dan tidak diketahui siapa yang tega “iseng” menaruhnya di masjid. Kedua peristiwa bom tersebut, yang satu meledak dan yang satu tidak. Mempunyai persamaan, yaitu ditaruh di masjid. Tempat ibadah yang suci, dan seharusnya tidak pantas dicemari, bahkan ketika perang sekalipun.

Komentar dari berbagai pihak berseliweran terkait dengan bom di Masjid adz-dzikro. Tapi semua wacana seakan menuju satu arah. Seperti yang dikatakan Hasyim Muzadi, mantan Ketua PBNU pada acara Apa Kabar Indonesia Malam di TV One, hari minggu. “Bom diledakkan di masjid menandakan bahwa yang melakukan bukan orang Islam”. Atau kalimat yang senada dengan hal itu bahwa “Mengebom orang yang sedang ibadah itu tidak Islami”.

Seakan menepis fakta bahwa sang bomber beragama Islam. Mana mungkin tidak Islam, jika pada saat meledakkan bom, dia meneriakkan kalimat yang sacral dalam Islam “Allahu Akbar”? Apapun bantahannya, setidaknya pelaku bom bunuh diri itu sendiri mempunyai keyakinan terhadap apa yang dilakukannya. Mustahil tindakannya iseng-iseng berhadiah. Ada dua motif mengapa orang waras melakukan bunuh diri. Pertama, karena yakin akan terjamin di akhirat. Atau yang kedua, karena frustasi hidup di dunia. Tak menutup kemungkinan juga akumulasi dari keduanya.

Alienasi Umat Beragama

Apapun itu, teror dengan mengatasnamakan agama adalah masalah serius. Ada ketidaksingkronan antara das sollen (apa yang semestinya) dengan das sein (realitas yang terjadi). Agama yang seharusnya membuat manusia menjadi bahagia, tentram dan makmur menjelma menjadi peneror dan penyebar kepanikan.

Hal ini bisa terjadi karena alienasi (rasa keterasingan) pemeluk agama terhadap agama yang dianutnya. Realitas keseharian Agama serasa tidak cocok dengan Agama yang dipercaya.

Gambaran alienasi sendiri adalah seperti saat kita terbangun dari tidur dan mendapati diri sudah berada di suatu tempat dengan situasi tertentu yang tidak kita ketahui. Dalam situasi demikian, maka segala sesuatu di luar-diri berusaha untuk dimengerti. Dan pada saat usaha tersebut kerap kali menuai kegagalan, yang timbul adalah frustasi.

Pada akhirnya, manusia dihadapkan pada dua jalan. Apakah dia harus menundukkan realitas atas gagasan ideal ataukah menundukkan yang ideal atas realitas. Karena yang terjadi, tidak ada kenyataan yang berjalan beriringan dengan gambaran ideal seorang manusia.

Kedua pilihan tersebut mempunyai implikasinya sendiri. Yang pertama, dengan menundukkan realitas berarti kewadagan dunia dipaksa masuk ke dalam idealisme yang sempit. Akibatnya yang terjadi adalah rangkaian ilusi akan realitas yang ideal. Yang kedua, gagasan idealnya akan hancur dan yang tersisa adalah manut pada realitas. Kedua-duanya sama-sama ekstrim.

Sebenarnya ada alternatif dari dua jalan tersebut. Kita sadar setiap manusia memang mempunyai gambaran ideal akan tujuan hidup yang diyakininya. Hanya saja kemampuan kita untuk menegosiasikan gambaran tersebut dengan realitas amatlah penting. Kegagalan negosiasi akan mengakibatkan satu pandangan yang ekstrim dan radikal. Jadi yang terbaik adalah terus mendialogkan keduanya. Toh, gagasan ideal bisa dibangun atas respon kita atas realitas. 

Kembali ke kasus bom bunuh diri di atas. Saya yakin pelaku mempunyai gagasan dalam alam idealnya. Dia percaya akan adanya Negara Islam. Dan mengimani bahwa tidak ada Islam dalam Negara non-Islam. Realitas Indonesia yang menganut asas Pancasila jelas bukan Negara Islam. Pre-asumsi seperti ini berimplikasi bahwa dalam Negara yang tidak Islam maka semua aparatnya adalah kafir. Sekalipun dia beribadah, sekalipun berada di masjid. Karena hakikatnya, semuanya adalah tidak-seharusnya.

Sampai di sini kiranya menjadi sedikit lebih jelas. Untuk menanggulangi masalah terorisme, tidak bisa hanya dilakukan dengan tindakan reaktif. Di sini perlu juga untuk melakukan tindakan prefentif. Mencegah munculnya terorisme. Tindakan prefentif-pun tidak hanya dengan mempersempit ruang gerak. Tetapi juga dengan melakukan deradikalisasi. Konkritnya, ilusi akan adanya Negara Islam harus pelan-pelan dihilangkan dari Ibu Pertiwi.

Wasiat yang Terlupakan

Setelah bom meledak, semua elemen masyarakat menyatakan sikap. Mereka mengutuk kejadian tersebut dengan alasan apapun. Begitupun yang dilakukan oleh elemen dari Nahdlatul Ulama, PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama), GP Anshor, IPNU, IPPNU, Fatayat, KSS, ISIF, dll. Pada hari Senin (18/4)mereka berkumpul dan menyatakan sikap dengan mengatakan bahwa “Peristiwa pengeboman di Masjid Mapolresta Cirebon bukan peristiwa jihad melainkan tindakan yang jahat dan bejat”.

Apresiasi penuh patut diberikan kepada mereka terkait dengan langkah strategis yang akan dilakukan. Yakni melakukan pengkaderan sampai tingkat ranting. Bahkan, ketua GP Anshor menyatkan bila perlu sampai tingkat RT.

Mengikuti acara tersebut,mengingatkan saya pada Waliyullah Sunan Gunung Jati. Sebenarnya, Sunan Gunung Jati pernah memberikan wasiat ajaib kepada kita, anak cucunya. Ingsun titip tajug lan fakir miskin. Sekilas terlihat remeh temeh tapi jika kita sadar wasiat itu sangat luar biasa. Pesan yang dia sampaikan tersebut sebenarnya sangat aplikatif dan mudah untuk kita pahami. Tajug, fakir miskin dan titip adalah kata kunci dari wasiat beliau.

Pertama, tanpa menafikan gerakan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait. Mengaktifkan kembali fungsi tajug akan jauh lebih efektif untuk menghilangkan pengaruh radikalisasi ideologi atau paham yang datang dari luar. Karena tajug adalah kelompok paling kecil dari kumpulan agama.

Kenapa harus tajug? Karena di tajug semua kegiatan ngaji bisa dilihat oleh umum. Masyarakat sekitar mengawasi. Mengaktifkan fungsi tajug berarti juga mengaktifkan peran pengawasan masyarakat terhadap pengajaran agama anak-anak muda. Ini yang acapkali tidak terjangkau oleh pengurus ranting sekalipun.

Kedua, fakir miskin. Kadzal faqru ayyakuna kufron. Kemiskinan mempunyai potensi membuat orang menjadi kafir. Sejalan dengan hadits tersebut adalah Karl Marx, menurut dia kesulitan ekonomi juga bisa mengakibatkan alienasi. Hujjatul Islam, Al-Ghozali mengatakan sumber berahi adalah perut. Dan fakta mengatakan, orang lapar panjang tangan.

Fakir miskin bukan hanya bermakna sebagai subjek/objek sematsa-mata. Melainkan sebagai suatu keadaan miskin. Lebih tepatnya kemiskinan. Kemiskinan adalah sumber dari masalah, ini tugas utama pemerintah.

Ketiga, Selayaknya orang yang diberikan amanat. Kita sebagai orang yang di-titipi harus menjaga kedua hal tersebut. Menjaga bukan dalam arti pasif melainkan pro-aktif. Sejarah mengajarkan pada kita, realitas selalu saja mendahului gerak langkah kaki. Di sini dibutuhkan kecerdasan menatap masa depan dengan melihat pelajaran dari masa lalu.

Terakhir, Sunan Gunung Jati seakan sudah tahu bahwa pada tanggal 19 April 2011, hari Jumat pukul 12.30 di Cirebon, anak cucunya akan mendapat cobaan dari Tuhan. Beliau hadir di dalam Masjid adz-Dzikro pada saat kejadian di Mapolresta itu dan dengan sedih kembali ke masa lalu. Untuk itu, sebelum meninggal, beliau mewasiatkan sesuatu yang berguna untuk memahami peristiwa ganjil pada hari Jumat yang terkoyak tersebut. Supaya anak cucunya tidak terlarut dalam kesedihan dan tidak pernah tertidur untuk memahami sekelilingnya.[AR]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Islam Pos-Kolonial

Hubbul   wathon minal iman , cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan terma wathon dengan sangat lincah. Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon .  Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini. Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men- transformasi kan pengetahuan kebangsaan yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan masa depan. Adalah satu kesulitan ...