
JUDUL besar di atas adalah judul sebuah buku terbitan Kanisius
Yogyakarta yang beberapa tahun lalu saya baca. Dengan modal meminjam dari
perpustakaan 400 Kota Cirebon, buku tersebut berhasil membuat saya kebingungan
dan penasaran. Sebuah wacana baru yang njelimet
memang perlu banyak waktu untuk diendapkan dan berinkubasi.
Hingga baru beberapa saat yang lalu, saya kembali terbujuk provokasi
buku tersebut dengan semakin banyak menjumpai realitas yang berbeda dan bergumul dengan keragaman fakta serta
fenomena. Dari situ mulai ada keyakinan bahwa filsafat yang saya pelajari
mempunyai keterbatasan yang dipaksakan.
Filsafat yang saya pelajari selalu menawarkan pemikiran akan realitas.
Tapi tawaran itu terbatas pada wilayah kesadaran. Di luar wilayah itu, filsafat
tidak bisa masuk. Padahal dalam kehidupan, realitas menampakan diri baik dalam
kesadaran maupun ketidaksadaran. Peristiwa seperti mimpi, skizofernia, inflasi,
adalah wilayah ketidaksadaran yang saat-saat sekarang menjadi kebingungan
filsuf.
Belum lagi ada beberapa realitas keseharian yang sebenarnya masuk dalam
wilayah kesadaran tapi selalu absurd dalam teks-teks filsafat. Kadang dia tidak
muncul sama sekali.
Di dalam pengembaraan, para filsuf tidak menyadari satu hal penting dari
kehidupan. Dia adalah kebutuhan pokok manusia untuk makan (untuk survive), karena siapapun tunduk pada takdir
manusia tersebut. Tapi seringkali ini dianggap sebagai kelumrahan yang fatalnya
terlupakan dan tidak disentuh sama sekali oleh kesadaran dan kecerdasan mereka.
Makan memang suatu yang sepele, tapi sejatinya karena dia adalah
kebutuhan pokok manusia, maka masalah makan pada akhirnya menjadi masalah yang
sangat serius. Sebut satu filsuf saja yang dia tidak makan, tidak ada bukan.
Dari masalah makan inilah pendulum pemikiran para filsuf bergerak.
Setiap fase pemikiran selalu dialektis,
setiap pemikiran menggenapi, mengkritik dan (berniat) menyempurnakan pemikiran
sebelumnya. Mengapa mereka melakukan hal tersebut? Jawaban mereka beraneka
ragam tapi yang pasti pergerakan itu terjadi karena lingkungan di mana dia
hidup dan berkehidupan.
Pemikiran akan muncul saat dia dihadapkan pada satu persoalan yang tidak
sesuai, tidak tepat atau perlu penjelasan lebih lanjut. Pemikiran macam apapun,
pada niat terdalamnya ada motivasi membatin bahwa kehidupan manusia harus tetap
survive.
Masalah pangan seolah luput
dari pandangan para filsuf meskipun pangan adalah masalah krusial bagi
keberlangsungan kehidupan manusia. Atau apakah sebenarnya para filsuf memang
hidup di tempat nyaman yang dia tidak memikirkan lagi masalah makan?
Kehendak filsafat untuk berfikir secara radikal dan universal
mengandaikan dia berdiri pada wilayah netral. Filsuf adalah orang yang selalu
berfikir dalam gerbong universalitas masalah. Dalam keadaan tertentu, filsuf seperti
Heidegger memilih untuk ikut gerakan Nazi. Karena keyakinannya tersebut,
Heidegger dipandang mempunyai kekurangan dalam kacamata pengkajinya.
Asas bebas nilai sangat dipegang kuat oleh filsafat. Karena universalitas tidak akan
menampak jika mereka hanya melihat realitas dari satu sisi. Kalau demikian maka
yang terjadi hanyalah pandangan, pendapat dan subjektifitas yang dihindari
banyak filsuf. Maka, berdiri di satu pihak, satu sisi tidak dibenarkan oleh
filsafat.
Watak pemikiran filsafat pun sangat elitis. Dia muncul bukan dari
kegelisahan kaum marginal akan tetapi dia berangkat dari kenyamanan para elite.
Kasta yang menelurkan para filsuf biasanya dari pendeta, rohaniawan, biksu,
atau dari akademisi, dunia kampus yang terisolasi dari realitas manusia.
Sedikit sekali yang dari orang yang bukan apa-apa, buruh lusuh seperti Marx.
Absurditas filsafat juga nampak saat dia melupakan sebagian manusia yang
lain, dia adalah perempuan. Dalam teks-teks filsafat jarang sekali disebutkan
ada perempuan yang mencapai level pemikir. Filsafat tidak kuasa terhadap
kekangan budaya patriarkhi. Keuniversalan mereka runtuh oleh kekerdilan
pemikiran akibat dikebiri budayanya sendiri. Seorang legend filsafat, yang
karyanya menjadi rujukan semua filsuf, menyebut perempuan sebagai setengah
manusia, dia adalah Aristoteles.
Yang terakhir, filsafat nyata-nyata hanya milik manusia yang mempunyai
kekuasaan. Dalam kasus kolonisasi, filsafat lahir tanpa memperdulikan daerah
koloni. Filsafat dan cara berfikir radikal hanya menjadi alat legitimasi
sebagain negara untuk menghegemoni negara yang lain.
Cara berfikir yang tidak
sejalan dengan filsafat dianggap sebagai naïf, tidak rasional, kuper, bid’ah,
takhayul, sihir, dan lain sebagainya. Padahal kehidupan tidak semunya bisa
menjadi objek kajian filsafat. Tapi hal ini terus dipaksakan oleh sekelompok
manusia yang mendapat keuntungan dari standardisasi filsafat. Standardisasi
selangkah lagi menuju hegemoni dan akhirnya penjajahan tak berkesudahan.
Penjajahan politik, sosial, budaya. Penjajahan pikiran yang berujung pada
penjajahan manusia seutuhnya.
Rekonstruksi Filsafat
Keangkuhan filsafat sudah saatnya diakhiri oleh manusia, terutama
pengikutnya sendiri. Kalau tidak, filsafat hanya akan menjadi instrument
penghancur manusia. Proses dehumanisasi terjadi saat filsafat kawin paksa
dengan modernisme. Manusia dengan seperangkat kehidupannya hilang tergantikan
dengan data, kode, info, ensiklopedi, gambar, suara dan media lainnya. Kekakuan
filsafat akan terus menjadi daya bagi segelintir orang yang mempunyai
kepentingan atas kemapanan. Oleh karena itu, filsafat perlu untuk dibongkar,
direkonstruksi dan dibangun kembali.
Saat Romo Magnis (Magnis Suseno, SJ.) berkunjung ke ISIF, saya
menanyakan tentang keberadaan dan keberlangsungan (khawatir kehilangan)
Filsafat Indonesia. Dia menjawab ada dalam naskah-naskah yang berupa
nasihat-nasihat tentang kehidupan, “itulah filsafat Indonesia”, kata dia. Saya
bertanya demikian bukan iseng ataupun manasuka.
Pertanyaan tersebut memang
khusus untuk Romo Magnis, karena dalam buku “Filsafat Yang Berkonteks” dia
menyebutkan bahwa orang Indonesia tidak punya progres dalam filsafat. Dia
melihat kata “filsafat, filosofi dan falsafah” gandrung digunakan tapi dia
melihat hanya perlambangan saja tidak seperti filsafat yang dia pahami.
Pertanyaannya adalah apakah manusia
Indonesia harus melepaskan watak dan identitas yang melekat secara primordial
agar bisa progresif menurut takaran mereka? Ataukah sebenarnya kita punya
karakter filsafat sendiri yang mandiri dan jelas berbeda degan filsafat yang
dipahami Romo Magnis (barat)?
Merekonstuksi filsafat berarti
mengakhiri filsafat yang selama ini memblenggu kita. Bila perlu
mendekonstruksinya untuk kemudian membangun kembali filsafat baru dengan watak
dan karakter dan nilai-nilai kita sendiri.
Hal demikian menjadi penting karena
saat sekarang, otoritas filsafat mulai dipertanyakan, tiga aspek penting dalam
filsafat kena kritik telak. Pertama, Kerentanan
Metafisika. Kedua, Ketidakpastian
Epistemologi. Dan Ketiga, Uang
Sebagai Nilai.
Dalam keadaan demikian, maka sudah
saatnya kita untuk meninggalkan bangunan lama filsafat, bangunan yang penuh
dengan kekakuan, keangkuhan dan hegemoni. Menuju filsafat yang berkonteks,
membumi dan merdeka. Semoga.
(Refleksi tiga setengah tahun mengembara di Jurusan Pemikiran Islam, Fakultas Ushuludin Institut Studi Islam Fahmina Cirebon. Semoga Selamat Sampai Wisuda {S3W}!)
Comments
Post a Comment