Skip to main content

Bersatulah Sepak Bola Indonesia



PERSEPAKBOLAAN Indonesia belum juga mampu menjadi inspirator semangat bangsa. Belum lagi menjuarai turnamen internasional, berbagai kisruh, masalah, serta skandal muncul bak jamur di musim hujan. Semuanya mengindikasikan bahwa Sepak Bola Indonesia memang sedang sakit parah.

Semua tahu, selang beberapa hari setelah berita duka Indonesia terhempas dari putaran grup Piala AFF Suzuki, 1 Desember 2012. Berita tak kalah mengejutkan datang dari Rumah Sakit Dr. Moewardi Solo, pesepakbola ekspatriat Diego Mandeita meninggal dunia. Mandeita meninggal karena serangan virus cytomegalo yang menggerogoti seluruh tubuhnya, terutama mata dan otaknya.

Mungkin masalahnya akan lain jika Mandeita tidak menulis surat yang menyita banyak orang. Dalam pesan terakhirnya Diego mengatakan bahwa permintaan terakhirnya dia tidak meminta gaji full yang belum dibayar. Dia hanya meminta pulang ker rumah, bersama sanak keluarganya di Paraguay.

Diego tercatat bermain di klub Persis Solo. Klub tempat dia merumput tersebut “molor” membayar gajinya bahkan “nunggak” sampai 6 bulan. Ternyata masalah “nunggak bayar” ini tidak hanya dihadapi oleh Mandeita. Banyak pemain lain juga mengalami nasib yang sama, molor bahkan sampai 8 bulan. Baik yang bermain di LPI (Liga Primer Indonesia) maupun LSI (Liga Super Indonesia).

Tragedi “nunggak bayar” ini awalnya terjadi saat klub dilarang untuk menggunakan uang dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Klub yang biasanya meminta sumbangan dari Pemerintah Daerah sampai 25 Miliar setahun saat itu dipaksa untuk profesional. Profesionalitas ini yang terkesan dipaksakan oleh AFC (Federasi Sepak Bola Asia). Klub seusia jagung yang terbiasa dikasih makanan tiba-tiba disuruh mandiri. Mencari sendiri duit untuk membiayai operasional klubnya.

Profesionalitas ini sempat menuai kritik bahkan kecaman dari pihak klub. Malang memang, di saat masalah ini terus menggelinding, korban pun berjatuhan –salah satunya Mandeita-. Sampai saat ini belum ada kreatifitas klub untuk menghidupi dirinya sendiri. Di sinilah posisi seharusya induk persepakbolaan Indonesia mengambil peran.


Di Mana PSSI?

Alih-alih menyelesaikan masalah krusial ini, PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) yang menjadi induk persepakbolaan Indonesia sibuk berseteru di jajaran elite. Badan tertinggi persepakbolaan Indonesia ini belum juga menyelesaikan dualisme kepengurusan. Hal ini berakibat pada pembedaan kompetisi dan saling klaim siapa yang legal dan diakui dan siapa yang tidak.

Dualisme ini sebenarnya bukan barang baru. Sampai pada puncaknya, Indonesia mempunya dua kompetisi, LPI yang digelar oleh konsorsium PT. Liga Primer Indonesia Sportindo di bawah otoritas PSSI. Kedua, Sedangkan LSI dijalankan PT Liga Indonesia, yang menginduk kepada KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia).    

Pemain dan pelatih pun menjadi korban dari kepentingan politik pengurus pusat. Banyak dari mereka yang mempunyai keinginan untuk merumput di ajang internasional, tapi karena alasan legalitas dan dualisme ini semuanya kandas. Pemain yang bermain di liga seberang tidak berhak bermain di turnamen resmi internasional. Tidak peduli seberapa hebat dia menggocek bola ataupun seberapa cinta dia kepada Indonesia.

Tak tahu, arogansi macam apa ini yang rela mengorbankan persatuan bangsa. Yang jelas, materi pemain yang dibawa di ajang piala AFF pun terkesan pas-pasan. Bukan maksud merendahkan para pemain yang terpilih. Akan tetapi pengalaman caps dan mentalitas pemain sangat berpengaruh di turnamen berkelas internasional. Hasilnya bisa ditebak, Indonesia kandas di tengah jalan.

Saatnya Rekonsiliasi

Jika kita diam saja, maka meninggalnya Diego hanya akan menjadi tragedi tanpa makna. Kematiannya menjadi sia-sia dan bukannya tidak mungkin kejadian serupa bakal terulang kembali. Saatnya bangsa Indonesia menyikapi peristiwa dengan kepala dingin. Tujuan besar: kemajuan sepak bola Indonesia harus dikedepankan. Kepentingan bangsa harus jadi panglima daripada kepentingan segelintir orang yang berambisi menjadikan sepak bola sebagai alat kepentingan politik.

Dukungan supporter timnas Indonesia jangan disia-siakan begitu saja. Kursi penonton yang membludak mengindikasikan betapa bangsa ini sangat mengidamkan kemenangan dan sportifitas. Di sinilah letak urgensitas kemajuan sepak bola negeri ini. Sepak bola bukan sekedar permainan, tapi dia adalah wujud nasionalisme. Karena di dalamnya ada kebanggaan. Sepakbola juga lambang dari sikap kompetitif dan persaudaraan.

Nilai-nilai inilah yang harusnya tertanam kuat dalam alam kesadaran pengurus dan seluruh elemen persepakbolaan Indonesia. Perbedaan yang muncul dalam organisasi adalah suatu yang niscaya. Tapi jika perbedaan pendapat kemudian menjelma menjadi perpecahan akan amat disayangkan. Perpecahan itu laiknya tak terjadi jika nilai-nilai tadi di atas ter-internalisasi dengan baik dalam diri mereka.

Rekonsiliasi dari berbagai pihak yang berbeda sudah saatnya digelar. Meskipun usaha ini sudah pernah dicoba dan gagal. Bukan berarti hal yang sama tidak boleh dilakukan kembali. Apalagi dengan semangat yang berbeda, terlebih lagi dalam momentum yang tepat. Saat di mana seluruh pengurus, elemen persepakbolaan Indonesia, dan masyarakat Indonesia sudah capek menunggu.

Lupakan hari kemarin, karena kemarin adalah pelajaran berharga bagi semua. Dari pengalaman tersebut, semua terbukti dengan jelas dan tanpa keraguan sedikit pun. Bahwa segala keyakinan masing-masing kelompok, baik PSSI maupun KPSI, tidak menyelesaikan masalah sama sekali. Bahkan hanya menambah beban dan kemelut sepak bola Indonesia.

Jika kemelut ini berlarut-arut, selain prestasi yang tidak diperoleh, kesejahteraan pemain dan pelatih pun tidak kunjung mengalami perbaikan. Sudah saatnya semua elemen bersatu tanpa memandang siapa dan apa. Semuanya bersatu demi kemajuan persepakbolaan Indonesia. Persepakbolaan Indonesia, bersatulah![AR]

Comments

Popular posts from this blog

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: