Skip to main content

Jawa Barat Lebih Baik Dibanding Pasundan


PADA harian umum Pikiran Rakyat terbitan hari Sabtu 10 November 2012 halaman 6 kolom ketiga dari kiri berita kedua dari atas terpampang dengan jelas satu berita yang berbentuk feature. Dalam feature tersebut tertulis nama Arie C. Meliala lengkap dengan kode /“PR” di belakangnya. Sekilas berita ini seperti berita yang lainnya kecuali judulnya yang menarik perhatian. Judul berita tersebut “Nama Provinsi Haruskah Diganti?”. Dari situ, bisa diterka bahwa berita ini menawarkan wacana perubahan nama provinsi.

PR adalah media regional yang berada di wilayah Jawa Barat. Jawa Barat adalah wilayah tingkat provinsi yang mempunyai letak strategis karena bersentuhan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Ibu Kota Negara Indonesia. Nama “Jawa Barat” yang menjadi nama Provinsi bagi manusia-manusia yang mempunyai perbedaan kebudayaan antara satu region dengan region yang lainnya dalam berita tersebut nama tersebut disinyalir menutupi energi peradaban tatar Sunda. 

Wacana pergantian nama ini sebenarnya juga bukan hal baru. Isu ini pernah dihembuskan pada tahun 1950-an saat peristiwa Kongres Pemuda Sunda. Tapi hal ini tidak terjadi dan berita di PR ini menyebutkan bahwa alasan tertolaknya adalah karena sebagian masyarakat Sunda menolaknya. 

Sebenarnya berita ini adalah konklusi dari diskusi budaya sehari sebelumnya yang mengangkat judul “Kajian Manfaat Pergantian Nama Provinsi dengan Nama yang Lebih Nyunda”. Diskusi ini diadakan oleh forum diskusi Nyaah Ka Dulur yanng bekerjasama dengan Dewan Guru Peguron Silat Tajimalela dan Komunitas Mimbar Dhuafa. 

Dalam diskusi yang berlangsung di Gedung Indonesia Menggugat Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung tersebut, Seniman Adjie Esa Poetra mengatakan bahwa Nama Provinsi Jawa Barat tidak senapas dengan nama komunitas, kebudayaan dan potensi lokal genius (mungkin maksudnya local genuine) masyarakatnya. Nama Jawa Barat sama sekali kurang mencerminkan identitas masyarakatnya.

Sementara itu, Dede Mariana, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Unpad, mengatakan bahwa pergantian nama provinsi merupakan politik identitas yang dibaliknya ada harapan muncul eksistensi, harga diri dan spirit baru. 

Langkah selanjutnya adalah masyarakat harus mengajukannya ke DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Selanjutnya DPRD bersama gubernur menindaklanjuti dengan berdiskusi dengan kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) agar dilakukan perubahan dalam UU 11/1950 tentang pembentukan provinsi Jabar.

Suku Cirebon

Provinsi Jawa Barat, sampai saat ini masih merupakan daerah yang di dalamnya terdapat banyak budaya, bukan hanya salah satu macam saja. Kalau kita mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat No. 5 Tahun 2003, paling tidak ada tiga suku asli di Jawa Barat yaitu Suku Cirebon yang berbahasa Bahasa Cirebon (dengan keberagaman dialeknya), Suku Betawi yang berbahasa Melayu dialek Betawi, dan Suku Sunda yang berbahasa Sunda.   

Bahkan dalam sejarah pembentukan Provinsi Jawa Barat berdasar UU no 11 tahun 1950 tertanggal 4 Juli tahun 1950 yang ditetapkan pada waktu itu di Jogjakarta memutuskan dua hal penting yang perlu dicatat. UU itu memutuskan bahwa pertama, menghapuskan Pemerintahan Daerah Karesidenan Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, dan Cirebon, serta membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Karesidenan-Karesidenan tersebut; 

Kedua, Menetapkan pembentukan Propinsi Djawa Barat UU yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri Soesanto Tirtoprodjo dan Menteri Kehakiman A.G. Pringgodigdo tersebut memang sudah usangKarena sekarang Jakarta dan Banten sudah menjadi provinsi yang terpisah dari Jawa Barat. Tapi, dalam UU ini masih menyiratkan daerah lain seperti Cirebon dan Bogor yang tidak boleh dikesampingkan eksistensinya.

Nama Jawa Barat memang tidak mencerminkan eksistensi dari suku-suku yang ada di dalam wilayahnya. Jika yang dikehendaki oleh orang-orang priangan untuk mengubah nama provinsi menjadi Provinsi Pasundan atau Provinsi Sunda. Saya kira ini keputusan itu sangat politis lengkap dengan warna ego-sectoral tanpa sedikitpun arif melihat kenyataan perbedaan realitas suku-suku yang lain yang ada di Jawa Barat.

Rasa memiliki (menguasai) Jawa Barat sebenarnya juga pernah menjadi perdebatan seru di Kongres Jawa Barat yang ketiga di Kota Bandung tanggal 28 Februari 1948. Pada saat itu, salah satu perwakilan masyarakat Jawa Barat dari Suku Sunda yaitu Bapak Soeria Kartalegawa mengusulkan agar pembicaraan dalam rapat badan perwakilan tersebut (Kongres Jawa Barat) dibolehkan menggunakan Bahasa Sunda. 

Namun kemudian usulan tersebut segera disanggah oleh perwakilan masyarakat Jawa Barat lainnya dari Suku Cirebon yaitu bapak Soekardi, bapak Soekardi menyatakan “Jika dibolehkan berbicara dalam bahasa Sunda, orang-orang yang ingin memakai bahasa daerah lainnya pun harus diizinkan, umpamanya bahasa daerah Cirebon”.

Orang-orang Priangan dari dulu memang mempunyai pandangan yang kabur terutama tentang Jawa Barat. Tapi pandangan yang rusak tersebut kadung telah menular dalam setiap kebijakan yang keluar dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pembangunan tidak merata sampai ke Cirebon dan yang paling menyebalkan adalah hegemoni kebudayaan, salah satunya dengan hegemoni bahasa. 

Nama adalah salah satu instrument terkecil dari bahasa yang sangat penting. Karena nama adalah wujud nyata dari eksistensi manusia dari ide yang abstrak. Dari namalah manusia bisa mengenali, mengetahui dan pada akhirnya menguasai. Perubahan nama bukanlah sekedar perubahan nama, di dalamnya bisa terjadi reduksi dan pemaknaan yang artifisial, tidak jujur dan selangkah lagi menuju kolonisasi dan hegemoni.

Krisis

Mengapa dalam sejarah perebutan kemerdekaan, para pemuda Bangsa Indonesia menolak nama Hindia Belanda untuk wilayah dari sabang sampai marauke? Mengapa mereka lebih memilih Indonesia? Sebenarnya masalahnya sepele hanya nama. Tapi apa itu nama? Nama adalah manifestasi dari eksistensi sesuatu, apapun itu.

Manusia mempunyai kecenderungan untuk memberi tanda, simbol dan nama. Dua yang pertama belum dalam dimensi bahasa sedangkan yang terakhir sudah dalam dimensi bahasa. Nama diberikan kepada sesuatu agar sesuatu tersebut bisa dikenali oleh other. Jika nama itu dimaksudkan untuk diri baik yang diri individu maupun kelompok (seperti Jawa Barat) maka nama bertujuan untuk mengenali diri sendiri.

Pengenalan terhadap diri itu sangat penting karena dengan begitu, potensi diri bisa dilihat dan diberdayagunakan secara maksimal. Diri bisa diberikan identitas yang ideal dan berbeda dari sebelumnya. Identitas ideal inilah yang kemudian akan menjadi cita dan mimpi tersirat dari cara diri hidup dan berkehidupan.   

Provinsi Jawa Barat jika harus diganti dengan nama yang lebih nyunda seperti Provinsi Pasundan. Maka penamaan ini sudah mengeliminasi identitas dari suku lain seperti Cirebon, Depok, Bogor, Karawang, Subang dan lain-lain. Nama tersebut tidak memenuhi syarat munfarid mun’akis dalam teoria ta’rif (penamaan) ilmu manthiq yang berimplikasi penyelewengan dan pereduksian realitas.

Usaha orang-orang Priangan ini jelas merupakan satu iktikad untuk terus menghegemoni suku lain di Jawa Barat, terutama Cirebon yang jelas-jelas memiliki perbedaan dengan Priangan. Cirebon adalah suku mandiri yang berbeda dengan Sunda maupun Jawa. Dan eksistensinya sudah jangan dipertanyakan. Jadi nama Jawa Barat untuk provinsi saat ini lebih baik dibandingkan memaksakan nama Pasundan.[AR]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.