Skip to main content

Semangat Muludan



SORE itu presiden Soekarno mengunjungi kota Damaskus, Ibu Kota Suriah. Terlihat di samping beliau presiden Suriah Sukri al-Kuwatly. Al-Kuwatly kemudian mengajak Soekarno untuk melihat-lihat simbol dari Kota Damaskus, Masjid Umawi. Di samping Masjid Umawi terdapat makam pahlawan Islam paling fenomenal, dialah Solahudin al-Ayubi (lidah barat menyebutnya Saladin).

Setelah Soekarno pulang ke Tanah Air, beliau berpidato panjang lebar. Dia menyitir cerita mengenai Solahudin dari al-Kuwatly tersebut. Berceritalah dia bahwa Solahudin adalah pahlawan pembela Islam. Yang mempertahankan tanah Jerussalem dari bala tentara perang salib. 

Heran, Soekarno yang notebene bukan orang yang menimba ilmu dari perguruan tinggi di Semenanjung Arab begitu kelihatan bersemangat.

Pikirku, ketertarikan Soekarno pada cerita Solahudin bukan hanya ingin menceritakan kunjungannya ke Suriah. Bertutur tentang pengalaman perjalanan yang mengasyikan bak tamasya. Lebih dari itu, ketertarikan beliau mengisyaratkan kekaguman pada tak-tik yang paling jitu dari Solahudin.

Pada saat itu, untuk memperjuangkan tanah dan hak-hak masyarakat atasnya, Solahudin tidak hanya berikhtiar lewat medan laga. Solahudin juga tercatat sebagai orang yang pertama mewajibkan masyarakat untuk merayakan hari lahir Nabi Muhammad, 12 Rabiul Awal.

Perayaan muludan yang digagas Solahudin pada awalnya bukanlah atas dalil ritual-religius. Akan tetapi sebagai lebih kepada meniciptakan spirit sosial politik pada waktu itu. Muludan diciptakan untuk menguatkan mental dan meneguhkan hati penduduk setempat dari serangan tentara salib yang terus menerus. 

Tentunya, dengan membuat penduduk selalu dekat dengan Nabi. Dengan demikian maka secara psikologis, penduduk sudah terbantu. Beban hidupnya sudah terkurangi oleh cinta yang suci pada Nabi. Hal ini sangat penting di tengah-tengah perang yang berlangsung bertahun-tahun.

Muludan dan mentradisikan muludan adalah strategi psikologi massa dari seorang pahlawan besar, Solahudin yang paling memukau. Padahal kalau ditilik dari sejarah kehidupan Nabi Muhammad, tak sekalipun beliau memerintahkan untuk merayakan hari lahirnya.

Muludan dengan demikian bukan hanya kecerdasan mengelaborasi teks an sich, akan tetapi juga kelihaian membaca konteks. Dan tradisi tersebut masih terus berlangsung terutama dilakukan oleh golongan Sunni. Untuk membawa semangat dari Solahudin, muludan di jaman sekarang perlu untuk dikontekstualisasikan.

Kesadaran Kekinian

Muludan memang bukan berasal dari amalan pada zaman Nabi. Meskipun demikian, muludan adalah satu bentuk dari kecerdasan dan kepekaan seorang muslim, Solahudin, untuk mengaplikasikan ketauhidan dalam ranah praksis. Beliau mencoba dan berijtihad untuk mendayagunakan energi iman yang sangat melimpah ruah dari umat Islam untuk kemudian ditransformasikan ke dalam wujud yang nyata, yakni pembebesan (tanah) Jerussalem.

Kecintaan kepada Nabi bukanlah rayuan gombal yang hanya bermukim di hati dan berkutat pada sifat sentimentil seorang manusia. Bukan hanya nostalgia, romantisme apalagi utopia. Akan tetapi lebih kepada transformasi dan aktualisasi nilai. Mengkonkretkan yang abstrak dengan jalan meminjam simbol dan memberikan simbol tersebut dengan motivasi yang baru (motivasi-ulang).

Katakanlah kelahiran Nabi pada tanggal 12 Rabiul Awwal adalah sebagai teks. Karena sifatnya teks jadi peristiwa ini sebetulnya telah tertutup. Artinya ini fakta yang tak terbantah, tidak bisa diganggu gugat. Pada masa Solahudin, teks ini kemudian diberi makna ulang (re-meaning) dengan memperhatikan konteks saat beliau hidup. 

Muludan dan perayaannya di zaman sekarang tidak akan pernah basi jika teks (lahirnya Nabi) yang telah dimaknai oleh Solahudin (kontekstualisasi waktu itu) kembali dimaknai oleh masyarakat sekarang dengan ragam masalahnya sendiri. Sehingga muludan tidak hanya sebatas ritual tanpa makna akan tetapi semangat makna itu sendiri.

Kasus Bima, Mesuji, mahalnya sewa makam di Jakarta dan kasus-kasus sengketa tanah lainnya di Indonesia adalah realitas kita yang perlu dibaca. Ada masalah di situ, karena apa yang harusnya terjadi tidaklah seburuk demikian. Nyawa manusia tidak seharusnya melayang sia-sia, apalagi oleh aparat negara yang notabene dibayar oleh mereka. 

Sengketa tanah di Indonesia sudah berlangsung puluhan tahun, dan tiap harinya selalu berpotensi konflik antara warga dan pengusaha yang dibantu aparat keamanan. Inilah perang itu, perang memperebutkan hak tanah yang harus diperjuangkan dengan semangat muludan.

Hassan Hanafi pernah menawarkan gagasan tentang teologi tanah. Pandangan orang agama tentang tanah, tapi gagasannya itu tidak disambut meriah oleh umat Islam. Padahal masalah tanah di negara kita sudah sangat krusial.  

Menurut data dari BPN tahun 2010 saja ternyata hanya 0,2 persen orang Indonesia yang menguasai 56 persen seluruh asset nasional, yang  87 persen asset tersebut adalah tanah. BPN juga merilis bahwa 7,2 juta hektar tanah swasta, ditelantarkan begitu saja tanpa digarap. Dan yang lebih mencengangan lagi, negara agraria ini, 85 petaninya adalah buruh tani, petani gurem, petani tak bertanah.

Padahal dalam UU No 5 Tahun 1960 (UUPA) Pasal 9 ayat 2 disebutkan bahwa tiap-tiap warga Negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya, bagi diri sendiri maupun keluarganya. Lalu kenapa antara undang-undang yang dicitakan dengan realitas di lapangan hasilnya menjadi lain?

Inilah masalah, dan sebagai muslim di sinilah perlunya muludan, sebagaimana yang diajarkan Solahudin. Muludan jangan hanya mendendangkan maulid barjanzi saja lebih dari itu menumbuhkan jiwa pembebasan. Pembebasan dari berbagai masalah, penjajahan dan penguasaan tanah. 

Karena semangat memperingati hari lahir Nabi Muhammad adalah semangat untuk membebaskan kaum papa dari belenggu dan jerat kaum berduit. Semangat muludan adalah semangat untuk tidak berkompromi terhadap pemerintah yang lalim dan lupa pada amanat undang-undang.[AR]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.