Skip to main content

Arti Golput

PEMILIHAN Gubernur Jawa Barat dan pemilihan Walikota Cirebon baru saja dilaksanakan. Ada fakta mencengangkan di balik hajatan politik tersebut. Apalagi kalau bukan angka golput (warga pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya) yang sangat tinggi. Tingginya angka golput mengindikasikan banyak hal, tapi akan sangat memilukan bila golput menjadi sebuah tanda bahwa rakyat telah muak, mereka apatis.

Pemilu adalah hajatan besar dalam sistem perpolitikan di Indoensia. Sebagai negara demokrasi, Indonesia menggelar pemilu untuk menentukan pemimpin. Pemimpin dalam sistem demokrasi harus merupakan sosok yang didaulat oleh rakyat. Mengapa demikian? Karena demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Oleh karena itu, rakyat dalam sistem demokrasi adalah raja, pemilik kedaulatan.

Setiap dari warga negara adalah pemilik kedaulatan dari pemeliharaan kehidupan yang baik. Akan tetapi dalam masyarakat komunal, kedaulatan orang satu dengan yang lainnya akan mengalami bentrokan. Kedaulatan dan kebebasan masing-masing manusia akan terbatasi oleh manusia yang lain, oleh karena itu dibutuhkan sebuah sistem komunal yang mengatur agar terjadi harmoni dalam kehidupan sosial. Sistem demokrasi adalah sistem terbaik bagi sistem pemerintahan yang mengatur masyarakat komunal, karena dalam demokrasi diandaikan kekuasaan tersebar pada setiap individu.

Untuk memilih pemimpin dalam sistem demokrasi ini berarti harus ada pelimpahan kedaulatan dari tangan rakyat ke beberapa gelintir orang, moment pelimpahan kedaulatan dalam satu negara lazim disebut pemilu. Kemudian, gerakan reformasi pada tahun 1998 ikut pula mereformasi sistem pemerintahan demokrasi di Indonesia. Imbasnya adalah pemerataan kekuasaan pusat-daerah (otonomi daerah). Dengan begitu, selain pemilu yang dilaksanakan di tingkat negara, pemilu juga diadakan di setiap provinsi dan kabupaten/kota. Pemilihan ini disebut pemilukada (pemilihan umum kepala daerah).

Angka Golput
Seperti telah diketahui, tanggal 24 Februari 2013 kemarin Pemilihan Gubernur (sebagai pemimpin provinsi) Jawa Barat dan juga Pemilihan Walikota Cirebon diselenggarakan. Meskipun data resmi belum diriis, angka golput dalam Pilgub Jawa Barat diprediksi bakal melebihi Pilgub sebelumnya (tahun 2009: 33 %). Pengamat politik Universitas Padjajaran Bandung, Muradi memperkirakan angka golput dalam Pilgub Jabar 2013 mungkin akan menembus angka di atas 40 %.  

Sementara itu, di Pilwalkot Cirebon (sebagaimana diberitakan “Kabar Cirebon”) data sementara angka golput (82.351)mengalahkan angka pemenang Ano Sutrisno-Nasrudin Aziz (56.341). Angka golput ini tergolong fantastis, total 35,6 % dari keseluruhan DPT, turun sedikit dari tahun 2009 yang tembus angka 37,5 %. Tidak hanya di Cirebon atau Jawa Barat saja, hiruk-pikuk pemilihan Gubernur Jakarta yang dimenangkan pasangan Jokowi-Ahok pun ternyata mempunyai suara golput sebesar 36,3 % pada putaran pertama dan 33,2 % pada putaran kedua. Bahkan di Kepulauan Riau, Pilgub mencapai angka golput 50% (data quick count yang dilakukan LSI) dan Batam pada tahun 2011 golput mencapai angka 50 %, kasus yang sama juga terjadi di Kabupaten Karimun, angka golput lebih dari 40%.

Ada tren angka golput yang relatif naik di masyarakat. Pada Pemilu 1999, golput hanya menyentuh angka 6,70%. Jumlah ini naik menjadi 16,93% pada Pemilu 2004 dan terus meroket menjadi 29,01% pada pemilu 2009. Data-data  tersebut tentu menunjukan tren negatif bagi demokrasi kita, partisipasi rakyat dinilai mengalami penurunan tajam, praktek demokrasi pun kembali dipertanyakan.

Hak Suara
Menurut United Nation Economic and Social Commision for Asian and The Pasific, partisipasi adalah salah satu dari delapan ciri utama penyelenggaraan pemerintahan yang baik (eight major characteristics of good governance) – unescap.org. Karena hanya partisipasi rakyat yang dapat melegitimasi konstitusi dan jalannya pemerintahan. Rendahnya partisipasi dalam pemilu adalah sinyal buruk bagi negara kita.

Rendahnya partisipasi dalam pemilu mungkin disebabkan karena ketidakakuratan DPT (data pemilih tetap). Akan tetapi, selain adanya masalah teknis tersebut, perlu dicermati adanya kemungkinan lain. Bisa jadi mereka yang tidak memilih adalah pemilih cerdas yang sangat mencermati berjalannya pemerintahan atau mereka memang sudah tidak menganggap penting pemilu sehingga mereka lebih memilih bekerja daripada menggunakan hak suaranya.

Usaha KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan berbagai pihak untuk meningkatkan angka partisipasi masyarakat dalam pemilu dengan cara kampanye sama sekali tidak menyentuh inti permasalahnya. Bahkan seringkali ada penyesatan seperti distorsi makna pemilu dengan mengatakan bahwa memilih adalah bentuk tanggung jawab, padahal memilih adalah hak bukan kewajiban, oleh karena itu namanya hak suara, bukan kewajiban suara.

Bila dicermati, penyebab keengganan memilih diantaranya adalah karena sekarang ini semakin banyak kader partai politik yang tersandung kasus korupsi, pemimpin yang diharapkan seringkali mengecewakan, atau sebenarnya praktik sistem tidak mengakomodasi aspirasi rakyat. Dewan perwakilan rakyat yang harusnya menjadi pintu gerbang bagi aspirasi dan partisipasi rakyat dalam ikut serta membuat kebijakan publik (pasca pemilu) sama sekali tidak bisa diharapkan.

Indonesia, baik pusat sampai daerah tidak punya saluran untuk mengumpulkan dan menyaring aspirasi dan partisipasi masyarakat dari bawah. Selama ini yang ditampung bukan suara rakyat kecil melainkan suara masyarakat kelas menengah ke atas, bahkan hanya masyarakat industri dan konglomerat saja. Merasa tidak mempunyai andil dalam proses penyelenggaraan negara dan tidak bisa sedikit pun mempengaruhi kebijakan publik, membuat rakyat merasa bahwa negara dijalankan oleh makhluk luar angasa (alien), masyarakat mempersepsikan negara di luar dirinya, bukan bagian dari hidupnya.

Jadi, ada persepsi bersama dalam masyarakat “siapapun yang menjadi pemmpin, sama saja”. Bagi pemilih cerdas, kondisi ini berujung pada golput. Tapi bagi pemilih awam kondisi ini berakibat pada politik uang yang akut. Masyarakat memilih pemimpin -siapapun tanpa mengenal sang calon pemimpin- yang memberikan uang paling banyak. Tak heran dari tahun ke tahun, TPS (tempat pemungutan suara) semakin lengang.

Jalan satu-satunya atas masalah partisipasi masyarakat ini adalah melihat secara benar makna partisipasi itu sendiri dalam sistem demokrasi. Partisipasi bukan hanya pemungutan suara, akan tetapi keterlibatan masyarakat dalam sistem yang memelihara kehidupan bersama. Oleh karena itu, partai politik wajib memberikan pendidikan politik kepada rakyat, agar mereka peduli terhadap sistem yang mengatur hidupnya, hal ini sesuai dengan amanat UU Nomor 2 Pasal 31 Tahun 2008. Wallahu a’lamu. [AR]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: