![]() |
foto: tiasetiawati.wordpress.com |
Ibu kita kartini/ putri sejati/ putri indonesia/ harum namanya ....
Wahai ibu kita Kartini/ Putri yang mulia/ Sungguh besar cita-citanya/ Bagi
Indonesia
Hampir semua orang hafal lirik
lagu ‘Ibu Kita Kartini’ di atas. Hal itu bukti bahwa Kartini dinilai sebagai
sosok sekaligus simbol penting bagi perjuangan Indonesia, terutama perempuan. Bahkan
untuk mengenang jasanya, tanggal lahir Kartini, 21 April diperingati sebagai sebagai
tonggak kebangkitan perempuan Indonesia. Hari ini kemudian dikenal dengan Hari
Kartini.
Setiap hari ini tiba, setiap elemen masyarakat merayakannya. Di sekolah-sekolah, dari mulai Taman Kanak-kanak sampai SMA, di instansi pemerintah, sampai perusahaan swasta, perayaan Kartini diisi dengan lomba-lomba. Dan yang tak ketinggalan saat perayaan Hari Kartini tiba adalah penggunaan kebaya atau pakaian adat lainnya. Semua bersibuk-sibuk ria dengan aneka kostum dan diskon belanja yang katanya ‘ala Kartini’.
Kebiasaan perayaan semacam ini
perlu dilihat kembali makna urgensitas-nya. Jangan sampai terkesan hanya
seremoni atau bahkan pesta pora belaka. Tidak ada makna yang tergali dari
tujuan diperingatinya Hari Kartini.
Sosok Kartini
Sosok yang mempunyai nama lengkap
Raden Adjeng Kartini ini lahir di tahun 1879 dari keturunan bangsawan Jawa.
Ayahnya seorang Bupati Jepara, Raden Mas Sosroningrat. Sedangkan Ibunya bernama
M.A. Ngasirah putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono seorang
guru agama di Teluwakur, Jepara.
Kartini lahir dan besar dalam
keluarga didikan yang baik. Hal itu membuat dia dan saudara-saudaranya menjadi
orang-orang yang hebat. Kakaknya, Sosrokartono, adalah intelektual yang
disegani di Eropa waku itu. Selain menguasai 17 bahasa asing, mahasiswa lulusan
Leiden ini juga menjadi wartawan perang Indonesia pertama pada Perang Dunia
pertama. Di Indonesia, Sosrokartono mendirikan sekolah dan perpustakaan.
Meskipun seolah luput dari
sejarah, saudara Kartini yang lain, Kardinah mempunyai jasa yang sangat besar
pada bangsa. Dia mendirikan sekolah kepandaian putri, rumah sakit dan
penampungan bagi orang-orang miskin di lingkungannya. Kartini, Kardinah dan satu
lagi Roekmini, dikenal sebagai tiga putri yang gigih memperjuangkan kemanusiaan
di Indonesia.
Melihat fakta di atas rasanya tidak
aneh kalau mengetahui bagaimana cara Ngasirah mengasuh anak-anaknya. Selain itu juga, Raden Sosro adalah
pendidik yang hebat. Dia selalu menularkan kepekaan sosial kepada anak-anaknya.
Tidak jarang anak-anaknya itu diajak untuk melihat langsung tempat-tempat
penderitaan rakyat. Kartini dan saudara-saudaranya seakan disuruh menyaksikan langsung
bagaimana susahnya kehidupan orang-orang di sekitarnya.
Selainitu, intelektualitas Kartini sangat tinggi karena dia rajin
membaca tulisan-tulisan dari Eropa terutama Belanda. Sebagian besar tulisan itu
berasal dari surat kabar terbitan Semarang, De
Locomotief. Dari bacaan-bacaan inilah kemudian dia mengenal pemikiran baru,
terutama humanisme Eropa. Apalagi
setelah dia bertemu dan berkorespondensi dengan orang Belanda, utamanya Jacques
Henrij Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajaan Hindia Belanda.
Di tangan Abendanon-lah
surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini pada para teman-temannya di Eropa
dibukukan. Buku tersebut diberi judul Door
Duisternis tot Licht (terj. Habis Gelap Terbitlah Terang). Ada yang meduga,
dalam buku yang diterbitkan pertama di tahun 1911 ini, telah lebih dulu melalui
sensor dari Adendanon. Hanya surat-surat yang disukai Abendanon-lah yang ada di buku itu.
Kartini Bentukan Belanda?
Ada tuduhan bahwa Kartini adalah
sosok yang dibentuk oleh Belanda. Kartini sengaja dipelihara oleh pihak
kolonial untuk menyuarakan paham-paham asing yang tidak sesuai dengan
kebudayaan bangsa Indonesia. Tujuannya jelas: merusak tatanan moral masyarakat.
Benarkah demikian?
Tuduhan tersebut biasanya
berdasarkan beberapa alasan diantaranya adalah Pertama, surat Kartini kebanyakan ditujukan untuk temannya di
Belanda. Kedua, Kedekatan dia dengan
Abendanon sangat kentara, terutama saat Abendanon menawarkan Kartini kuliah di Belanda. Ketiga, pemikiran yang disuarakan
Kartini adalah pikiran Barat, termasuk soal kesetaraan gender.
Sebagian hal tersebut di atas memang
benar terjadi. Soalnya, Kartini memang intens bergumul dengan orang Belanda.
Akan tetapi terlalu naif jika langsung menyimpulkannya dengan ceroboh.
Secara lebih utuh, sosok seperti
Kartini seperti pertemuan medan dua kutub. Kartini adalah gabungan antara pemikiran dengan
praktik. Di dalam jiwa Kartini selalu terjadi pertarungan antara yang yang
semestinya terjadi (das solen) yang
diperolehnya dari bacaan dengan kehidupan nyata (das sein) yang dia lihat sendiri bersama Ayahnya.
Tuduhan semacam itu mungkin hanya
menggunakan kerangka penilaian di tingkat permukaan semata. Penilaian yang tidak melihat
sama sekali pergumulan seperti apa yang dialami oleh seorang Kartini.
Spiritualitas Kartini
Kacamata yang lebih objektif akan membuka sosok
Kartini pada dimensi yang lebih manusiawi sekaligus mendalam. Melihat Kartini lebih
utuh maka akan melihat dia sebagai seorang idealis,
kalau tidak bisa disebut sebagai essensialis
atau bahkan universalis. Seorang essensialis akan meyakini bahwa hanya essensi yang menjadi inti dari kehidupan.
Hal-hal yang bersifat permukaan hanya sebagai aksesoris belaka. Jiwa essensialis
Kartini berasal dari khazanah Spiritualitas dan Kebudayaan Jawa.
Spiritualitas Jawa dalam diri Kartini
ini bertemu dengan humanisme Eropa
yang mengumandangkan adanya nilai-nilai universal manusia. Dari pertemuan ini,
ada kecocokan dalam diri Kartini, ada semacam kenyamanan isi.
Hal ini bisa terlihat jelas jika
pembacaan mengenai Kartini tidak disibukkan hanya di wilayah kesetaraan gender
belaka. Dalam aspek agama misalnya, Kartini oleh sebagian orang disebut sinkretis. Dia muslim penyuka gamelan. Mendengarkan
suara gamelan baginya seperti sedang beribadah.
Kartini pernah mempertanyakan
agama Islam kepada ayahnya. Dia mempersoalkan kenapa saat orang mempelajari Islam,
dia tidak belajar agamanya tapi hanya menghapal bacaan dan doktrin yang
bahasanya tidak dimengerti? Bahkan dia sempat berpendapat, “Lebih baik dunia
tanpa agama karena agama hanya membuat satu sama lain berbeda. Padahal setiap agama
mempunyai tujuan yang sama.” Bagi orang yang mengerti filsafat, perkataan
Kartini ini mencerminkan tingkat spiritualitasnya yang amat tinggi.
Maka sebenarnya, Kartini adalah orang yang selalu bergumul dalam bilik hybriditas, antara spiritualitas Jawa dan intelektualitas Barat, antara idealisme dan juga realitas sosial. Sederhananya, Kartini meruapakn sosok spiritualis sosial. Dia meyakini ada nilai yang adikodrati yang membuat semua manusia sama jika di sandingkan dengannya.
Sejatinya, semua hal selain Yang-Agung itu sama, termasuk manusia. Ya, keagungan Sang Khalik berimplikasi logis pada kesamarendahan makhluk. Kesetaraan manusia. Tanpa pandang jenis kelamin, kelas sosial, negara, agama, warna kulit dan lain sebagainya. Karena semuanya (me)milik(i) Tuhan yang satu. Wallahu a’lam.
Sejatinya, semua hal selain Yang-Agung itu sama, termasuk manusia. Ya, keagungan Sang Khalik berimplikasi logis pada kesamarendahan makhluk. Kesetaraan manusia. Tanpa pandang jenis kelamin, kelas sosial, negara, agama, warna kulit dan lain sebagainya. Karena semuanya (me)milik(i) Tuhan yang satu. Wallahu a’lam.
Comments
Post a Comment