Skip to main content

Naskah Wangsakerta, Naskah Fenomenal dari Cirebon


BAGAIMANA mungkin, manusia Indonesia abad ke-17 mampu menuliskan sejarah dengan sistematika dan metode sejarah yang sangat rapih? Secara logika, hal itu hampir tidak mungkin. Tapi nyatanya, sebagian filolog di Jawa Barat mengatakan, sejarah Nusantara sudah pernah dituliskan Pangeran Wangsakerta dari Kesultanan Cirebon pada masa itu. Tulisan itupun kemudian disebut sebagai naskah Wangsakerta.

Naskah Wangsakerta sendiri pertama kali berhasil ditemukan kembali secara berangsur-angsur dalam waktu selama 12 tahun (1974-1985) oleh peneliti naskah kuno, Drs. Atja. Kiranya demikian yang diceritakan oleh murid setia Drs. Atja, Undang A. Darsa.

Menurut Undang, keberadaan naskah Wangsakerta sendiri awalnya dicium Drs. Atja atas petunjuk lisan dari Prof. Dr. Purbatjaraka pada awal tahun 1960-an. Saat itu, Drs. Atja bekerja sebagai kurator di Bagian Naskah Museum Nasional (saat itu Museum Pusat) Jakarta dan sedang mengerjakan kegiatan di bawah bimbingan Prof. Dr. Purbatjaraka.

Petunjuk pun diperoleh saat Drs. Atja mendapati dalam kolofon naskah Purwaka Caruban Nagari yang disusun Pangeran Arya Carbon pada tahun 1720 Masehi. Naskah yang ditemukan di daerah Indramayu. Dalam naskah tersebut disebutkan Pangeran Arya Carbon mengatakan bahwa tulisannya itu merupakan hasil salin dari naskah Wangsakerta.

Setalah itu, satu demi satu secara berangsur-angsur naskah Wangsakerta itu ditemukan. Naskah tersebut ditemukan tersebar di berbagai daerah seperti di Cirebon, Banten, Jawa Timur, Medan, Palembang, Sumatera Barat, Jambi, Banjarmasin, Kalimantan Timur, dan Jakarta.

“Naskah wangsakerta merupakan naskah yang fenomenal dan monumental. Naskah yang bernilai historis, di dalamnya terdapat kisah perjalanan sejarah Nusantara,” kata Undang saat diwawancarai gotrasawala cerbonan di Keraton Kacirebonan, Sabtu (14/12).

Fenomenal, karena naskah Wangsakerta bisa dikatakan medahului zamannya. Bagaimana tidak, naskah itu menceritakan sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara sebelum abad ke-17. Dengan sistematika dan metode penulisan sejarah yang rapih, sekira 70 utusan kerajaan se-Nusantara yang diketuai Pangeran Wangsakerta jauh mendahuli para sejarahwan barat. Lewat sebuah lokakarya bernama gotrasawala, selama 22 tahun, para utusan kerajaan Nusantara itu pun berhasil menulis 1.700 naskah.

Tak ayal, naskah Wangsakerta dianggap sebagain ahli sejarah dan arkeolog sebagai naskah palsu. “Sudah lebih dari 40 tahun para ahli sejarah dan arkeolog berpolemik. Mereka mengatakan naskah itu palsu. Tapi sebagai filolog saya tetap meyakini kebenaran naskah Wangsakerta,” tergas Undang.

Meneruskan gurunya, Undang pun terus meyakinakan bahwa naskah Wangsakerta mempunyai catatan penting bagi sejarah Nusantara. Baginya, alasan-alasan yang mengatakan naskah itu paslu sama sekali tidak berdasar. Biasanya para sejarawan mempertanyakan keaslian naskah Wangsakerta dengan tidak adanya catatan Belanda tentang naskah itu. Mereka juga mempertanyakan umur media kertas yang digunakan naskah itu tidak sesuai dengan tahun yang disebutkan dalam naskah.

Akan tetapi, dengan pendekatan filologi dan memperhatikan kondisi geopolitik Indonesia pada abad ke-17. Undang membuktikan, orang Belanda (VOC) pada waktu itu belum mempunyai kesadaran kebudayaan. Baru setelah awal abad ke-18, atas inspirasi dari Inggris, ilmuwan Belanda mulai memburu naskah-naskah Nusantara. Jadi wajar kalau naskah Wangsakerta luput dari perhatian VOC.

“Sangat sulit jika memahami naskah hasil khazanah keilmuan Nusantara abad ke-17 hanya dengan logika belaka. Sebab, orang Indonesia waktu itu tidak mengagungkan logika akan tetapi mengutamakan rasa,” katanya.

Pendekatan filologi juga mengungkapkan tradisi tulis masyarakat Nusantara sangat kuat. Dan metode salin merupakan tradisi tulis yang masih terus digunakan. Sehingga wajar jika keberadaan naskah Wangsakerta ada yang didapat dari naskah-naskah setelahnya dengan menggunakan media kertas abad 18-an.

“Tradisi tulis orang Indonesia pada waktu itu sangat kuat. Saya mendapati satu keyakinan masyarakat Nusantara bahwa menerima artinya meneruskan,  mewarisi artinya mengalirkan, mendengar artinya menyuarakan, dan membaca artinya menuliskan. Mereka, seperti halnya pangeran Wangsakerta meyakini apa yang diperolehnya harus diteruskan kepada generasi setelahnya. Diteruskan dengan mengalirkannya lewat tulisan,” tukasnya.

Sampai saat ini, dari 1.700 naskah Wangsakerta baru sekitar 49 naskah yang berhasil dikumpulkan dan sekarang ada di museum Sri Baduga Bandung. Undang pun berharap agar pemerintah memperhatikan khazanah keilmuan Nusantara yang ada dalam naskah-naskah. Jangan sampai, naskah tersebut di kemudian hari diambil negara lain.

“Pemerintah harusnya lebih serius memperhatikan naskah karena mengandung khazanah keilmuan Nusantara. Di Sumatra bagian utara sekarang sudah mulai marak pemburuan naskah oleh negara Malaysia. Mereka memburu naskah dan mendaftarkannya di Unesco sebagai produk budaya negaranya. Saya dengar kitab Taj As-Salatin dari Aceh sudah berhasil mereka dapatkan,” pungkasnya.***

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: