Skip to main content

Parodi Filsafat (I)

ilustrasi: http://ikanmasteri.com/
LAPAR adalah masalah terbesar manusia. Tidak bisa survive, tidak bertahan untuk hidup dan segala indikasi serta gejala dininya adalah hal yang paling dihindari oleh makhluk hidup. Apapun dia, tidak kenal apakah burung, gajah, panda, monyet, anjing, naga bersayap, naga tanpa sayap, naga berkaki elang, naga bertanduk rusa, naga bernapas api, naga laki-laki, naga perempuan, naga bermahkota, naga-gajah-buroq, naga-naga, uget-uget, jentik-jentik, jempol-jempol, tangan-tangan, kaki-kaki, paru-paru, hati-hati. Semuanya. Tanpa kecuali.

Kenikmatan utama adalah kelegaan. Lega merupakan saudara kandung dari kenyang, nyaman, aman, tentram, gemah ripah loh jinawi. Sedangkan penderitaan utama adalah mengalami hidup sebagai “yang hidup”. Kata pertama adalah tangis, kedua, tangis, ketiga, tangis. Penderitaan adalah perjalanan menuju kelegaan yang tak pernah sampai, hanya dermaga, halte, stasiun, bandara, transit, transit, transit terus dan terus tanpa berkesudahan. Inilah permainannya. Inilah peraturannya. Hukum alamnya. Keniscayaannya. Sunnatullah. Maktub fi al-lauh al-mahfudz.


Di luar permainan yang sebenarnya, semuanya hanya igauan, kosong, ilusi, tipuan, kefanaan, fatamorgana: ada tapi tidak ada. Termasuk diantara igauan dan omong kosong itu adalah pengetahuan, ilmu, filsafat, agama, dan tetek-bengek khayalan manusia lainnya. Kesemuanya membangun gedung megah nan ideal berdinding mimpi, harapan dan cita-cita. Seperti laba-laba yang membentuk rumah jaringnya. Hanya saja, manusia dengan kemampuannya, bisa membangun rumah impiannya itu dengan desain yang tak terhingga.

Pun akhirnya, keluarga tetek-bengek yang terdiri dari pengetahuan, ilmu, filsafat dan agama, satu menghasilkan banyak, yang banyak saling melengkapi, mengokohkan, mengkritik, memperbaiki, bertemu, bertabrakan, bertumbukkan, berkencan, bersuami-istri dan beranak. Muncul kemudian anak kandung, anak tiri, anak pungut, anak angkat. Si anak punya anak lagi, cucu, buyut, cangga, wareng, udeg-udeg dan cepon bodol.

Berjuta tahun lamanya siklus bergulir, semua peranakan tetek dan bengek itu tidak juga menemukan “diri”nya sendiri. Diri yang tidak pernah ditaruh dimana-mana dan tidak pergi kemana-mana. Diri yang tetap pada dirinya sendiri. Hilang. Mungkin karena terlalu dekatnya, menyatu, hingga terlupa. Bias, tak jelas, samar, abu-abu, binal, anarkhis, tidak nurut, liar.

Di satu tempat di mana cerita ini lahir, masalahnya tidak lagi sederhana. Masalahnya, “diri” menjadi banyak, menjadi panjang, lebar, tinggi, sesak, rumit. Berakibat pada ketakutan luar biasa, seperti ketakutan pada gelap dan gelombang. Takut tanpa sanggup membuka kelopak mata barang sejenak.


Ataukah sebenarnya masalahnya kecil, remeh-temeh, klise, sederhana. Tapi terlalu dipandang sebelah mata. Disepelekan dan tidak diseriusi. Seperti kebiasaan abai pada angin yang hilir-mudik, keluar-masuk paru-paru. Satu hal yang pasti dalam cerita ini, masalah hidup menjadi masalah dari sebelum hidup sampai senjakala kehidupan. Dari mulai hidup dari lubang ibu sampai menutup mata karena lelah dunia. []

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Islam Pos-Kolonial

Hubbul   wathon minal iman , cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan terma wathon dengan sangat lincah. Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon .  Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini. Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men- transformasi kan pengetahuan kebangsaan yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan masa depan. Adalah satu kesulitan ...