![]() |
ilustrasi: 4shared.com |
PEMILU adalah
hajatan besar dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Sebagai negara demokrasi,
Indonesia menggelar pemilu untuk menentukan pemimpin. Pemimpin dalam sistem
demokrasi harus merupakan sosok yang didaulat oleh rakyat. Mengapa demikian?
Karena demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Oleh karena itu, rakyat dalam sistem demokrasi adalah raja, pemilik kedaulatan.
Setiap warga negara adalah pemilik kedaulatan
dari pemeliharaan kehidupan yang baik. Akan tetapi dalam masyarakat komunal,
kedaulatan orang satu dengan yang lainnya rentan dan bisa dipastikan akan mengalami
benturan.
Kedaulatan dan kebebasan masing-masing manusia akan terbatasi oleh
manusia yang lain. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah sistem bersama yang
mengatur semua agar terjadi harmoni dalam kehidupan sosial. Sistem demokrasi dipercaya
sebagai sistem pemerintahan terbaik yang mengatur masyarakat komunal, karena
dalam demokrasi diandaikan kekuasaan tersebar pada setiap individu.
Begitupun, Pemilihan Umum (Pemilu) “masih”
dipercaya sebagai sistem peralihan kekuasaan yang paling baik dibandingkan
dengan sistem yang lain sepanjang sejarah kehidupan manusia. Lalu dalam sistem
demokrasi, untuk memilih pemimpin, harus ada pelimpahan kedaulatan dari tangan
rakyat ke beberapa gelintir orang, momen pelimpahan kedaulatan dalam satu
negara lazim disebut Pemilu.
Sejauh mana kebenaran semua tesa tentang
demokrasi dan pemilu di atas masih harus melihat perjalanan sejarah bangsa ini
beberapa puluh bahkan ratus tahun ke depan. Mungkin terlalu dini untuk menilai,
tapi paling tidak kita bisa melihat beberapa pengalaman tingginya angka golput
dari pelaksanaan Pemilu beberapa kali pasca reformasi.
Ada tren angka golput yang relatif naik di
masyarakat. Pada Pemilu 1999, golput hanya menyentuh angka 6,70%. Jumlah yang
sangat kecil yang menandakan masyarakat sangat antusias memberikan hak suaranya
waktu itu. Jumlah golput naik menjadi 16,93% pada Pemilu 2004 dan terus meroket
menjadi 29,01% pada pemilu 2009 yang menggunakan sistem contreng.
Belum kalau melihat angka golput di daerah
(di Pemilukada). Angka golput seringkali lebih tinggi dari pemimpin terpilih,
meskipun secara adminitratif tidak mempengaruhi keabsahan pemilihan, akan
tetapi jika dilihat dari substansi demokrasi, jelas ini memprihatinkan.
Data-data tersebut menunjukan ada kegelisahan masyarakat yang nyata dan tidak bisa
diabaikan mulai tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan demokrasi.
Menurut United
Nation Economic and Social Commision for Asian and The Pasific, partisipasi
adalah salah satu dari delapan ciri utama penyelenggaraan pemerintahan yang
baik (eight major characteristics of good
governance). Karena hanya partisipasi rakyat yang dapat melegitimasi konstitusi
dan berjalannya pemerintahan. Rendahnya partisipasi dalam pemilu adalah sinyal
buruk bagi suatu negara.
Rendahnya partisipasi dalam pemilu mungkin
disebabkan karena ketidakakuratan DPT dan sejumput masalah teknis lainnya. Akan
tetapi, selain adanya masalah teknis tersebut, perlu dicermati adanya
kemungkinan lain. Bisa jadi mereka yang tidak memilih adalah pemilih cerdas
yang sangat mencermati berjalannya pemerintahan atau mereka memang sudah tidak
menganggap penting Pemilu, sehingga mereka lebih memilih melakukan pekerjaan lain
daripada menggunakan hak suaranya di TPS.
KPU Kota Cirebon dalam salah satu FGD-nya
bahkan mendapatkan fakta, kebanyakan masyarakat yang golput lebih disebabkan
karena mereka apatis, sudah tidak mempercayai Pemilu akan melahirkan pemimpin
yang mampu mengangkat harkat kehidupannya. Masyarakat diketahui malas dengan
janji yang kerap dikeluarkan sejumlah calon dari partai pollitik.
Kalau sudah begini, usaha KPU dan berbagai
pihak untuk meningkatkan angka partisipasi masyarakat dalam Pemilu dengan cara sosialisasi
mungkin akan berjalan sebagai bentuk gugur kewajiban saja, sebab, sosialisasi sama
sekali tidak menyentuh inti permasalahan golput. Bahkan seringkali ada
penyesatan seperti distorsi dengan mengatakan bahwa memilih dalam Pemilu adalah
bentuk tanggung jawab. Padahal, memilih bagi setiap warga negara adalah hak,
bukan kewajiban. Oleh karena itu disebut hak suara, bukan kewajiban suara.
Bila dicermati lagi, penyebab keengganan memilih
diantaranya adalah karena sekarang ini semakin banyak pemimpin dan pejabat dari
partai politik yang tersandung kasus korupsi, pemimpin yang diharapkan seringkali
mengecewakan atau sebenarnya praktik sistem tidak mengakomodasi aspirasi rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat yang harusnya menjadi pintu gerbang bagi aspirasi dan
partisipasi rakyat dalam ikut serta membuat kebijakan publik di hari-hari biasa (pasca pemilu) sama sekali
tidak bisa diharapkan.
Pemerintah, baik di pusat dan daerah tidak
punya saluran yang bagus untuk mengumpulkan dan menyalurkan aspirasi dan partisipasi
masyarakat dari bawah. Selama ini yang ditampung bukan suara rakyat kecil
melainkan suara masyarakat kelas menengah ke atas, bahkan hanya masyarakat
industri dan konglomerat saja. Merasa tidak mempunyai andil dalam proses
penyelenggaraan negara dan tidak bisa sedikit pun mempengaruhi kebijakan
publik, membuat rakyat merasa bahwa negara dijalankan oleh makhluk luar angasa
(alien), masyarakat mempersepsikan
negara di luar dirinya, bukan bagian dari hidupnya.
Jadi, ada persepsi bersama dalam masyarakat
“siapapun yang menjadi pemimpin, sama saja”. Bagi pemilih cerdas, kondisi ini
berujung pada golput. Tapi bagi pemilih awam kondisi ini berakibat pada politik
uang yang akut. Masyarakat memilih pemimpin tanpa mengenal sang calon pemimpin.
Mereka memilih lebih karena sang calon memberikan uang paling banyak. Tak heran
dari tahun ke tahun, TPS semakin lengang.
Jalan satu-satunya atas masalah rendahnya partisipasi
masyarakat ini adalah dengan melihat secara benar makna partisipasi itu sendiri
dalam sistem demokrasi. Partisipasi bukan hanya memberikan hak suara dalam
suatu pemungutan suara, akan tetapi lebih kepada keterlibatan masyarakat dalam sistem
yang memelihara kehidupan bersama. Oleh karena itu, partai politik harusnya
merasa terpanggil untuk memberikan pendidikan politik kepada rakyat, agar
mereka peduli terhadap sistem yang mengatur hidupnya, hal ini sesuai dengan
amanat konstitusi. Wallahua’lam.
Comments
Post a Comment