![]() |
ilustrasi: http://produk.siap-online.com/ |
DALAM sebuah
sistem negara, pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari pemerintah.
Pendidikan disepakati sebagai hal penting, mengingat peningkatan kualitas dan
keberdayaan masyarakat. Hal ini berarti juga, maju mundurnya pendidikan
dipasrahkan terhadap kebijakan pendidikan dari pemerintah.
Meskipun tidak sepenuhnya benar, kualitas
pendidikan di Kota Cirebon amat bergantung pada kebijakan pendidikan yang
dikeluarkan pemerintah. Agar tidak lupa, tidak ada salahnya dalam tulisan ini, penulis
mencatat apa saja yang terjadi di dunia pendidikan Kota Cirebon tahun
2013.
Di Kota Cirebon, tahun 2013 bisa dikatakan
sebagai tahun berlimpah bagi pendidikan. Bagaimana tidak, lebih dari 30 persen
APBD Kota Cirebon dialokasikan untuk pendidikan. Apalagi, Wali Kota Cirebon, Ano
Sutrisno yang baru saja dilantik menjadi Wali Kota Cirebon 16 April 2013 silam mempunyai
komitmen yang amat besar memajukan bidang pendidikan dan kesehatan.
Perhatian dan alokasi anggaran yang sangat besar
itu logis, mengingat pendidikan disepakati banyak orang sebagai investasi dan
unsur primer dalam kehidupan masyarakat. Lebih jauh lagi, pendidikan sangat
menentukan kualitas masyarakatnya di masa kini dan nanti.
Tapi jangan salah, kalau kita mau memutar
memori, ternyata Ano mempunyai hutang kepada masyarakat Kota Cirebon saat
berkampanye dalam pemilihan walikota sebelumnya. Jadi, komitmen walikota
terhadap pendidikan sungguh pun semua orang tahu itu bentuk lain dari
pengguguran kewajiban dia membayar hutang saat kampanye.
Tapi tetap saja, sikap seperti itu lebih
baik, dibanding jika dia abai sama sekali. Tetapi, alangkah baiknya jika iktikad
memajukan pendidikan karena suatu kesadaran total, bahwa pendidikan memang
layak diutamakan. Sejauh mana penilaian kita terhadap pendidikan di Kota
Cirebon akan lebih jernih bila kita melihat apa saja titik krusial yang
mewarnainya.
Pemerintahan Ano-Azis yang baru dilantik
pertengahan April 2013, harus mendapat ujian dari pelaksanaan Penerimaan Peserta
Didik Baru (PPDB) online. Masyarakat menghendaki agar proses pendaftaran masuk
sekolah itu berjalan bersih, tidak ada titip-menitip.
Tapi entah kenapa, di akhir cerita, impian
PPDB yang bersih harus ditilap “kebijakan” yang aneh. Sekira 632 siswa “dimasukkan”
ke sekolah-sekolah tanpa melalui prosedur PPDB online yang telah ditentukan sebelumnya
dalam Perwali no. 34 tahun 2013 dan juklak dari Dinas Pendidikan Kota Cirebon. Masyarakat
pun terbengong-bengong melihat ada kebijakan tidak populis itu di tikungan.
Pada saat itu, tiga orang dari Ombudsman kantor
perwakilan Jawa Barat pun turun tangan untuk melihat sendiri catatan buruk PPDB
di Kota Cirebon. Apa kata Kepala Kantor perwakilan Ombudsman Jawa Barat, Haneda
Sri Lastoto ketika itu? Dia mencatat, Kota Cirebon penyelenggara PPDB terburuk
se-Jawa Barat dan Jawa Barat penyelenggara PPDB terburuk se-Indonesia. Wow.
Dengan segala dalihnya, “kebijakan” itu tetap
menjadi preseden buruk yang akan selalu diingat masyarakat Kota Cirebon. Plus, menodai
komitmen Ano-Azis untuk menggelar pendidikan dengan bersih. Kebijakan itu juga
mengindikasikan masih kuatnya pengaruh politik kepentingan dalam lingkar
kekuasaan Ano-Azis untuk menentukan kebijakan pendidikan di Kota Cirebon.
Setelah hingar-bingar PPDB mulai surut, dunia
pendidikan Kota Cirebon kembali riuh saat Wali Kota Cirebon menghendaki
penggratisan Lembar Kerja Siswa (LKS) bagi seluruh siswa. Tidak
tanggung-tanggung, dalam APBD perubahan disetujui Rp 4,5 miliar untuk merealisasikannya.
Lagi, dengan dalih pemberdayaan para guru dan
efesiensi anggaran, naskah LKS pun akhirnya ditulis oleh para guru Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG) yang minim pengalaman
menulis naskah LKS. Sebuah blunder besar kadung dilakukan.
Dengan tanpa mengecilkan kemampuan menulis
para guru, tentu untuk melakukannya dalam jangka waktu yang mepet, mereka perlu
untuk dilatih terlebih dahulu. Tapi apa mau dikata? Jangankan untuk itu, hal
sederhana seperti koordinasi di antara Dinas Pendidikan dan para guru penulis
naskah LKS saja ternyata hanya dilakukan lewat pesan singkat. Sebelum akhirnya
waktu habis dan semua guru harus “dikarantina” untuk menyelesaikan naskah.
Setelah semua naskah LKS selasai, masalah
royalti dan hak cipta pun seakan tidak diperhatikan sama sekali. LKS
benar-benar seperti menjadi sebuah lembar kerja siswa yang menggantikan
kreatifitas, peran serta fungsi guru sebagai seorang pengajar sekaligus
pendidik.
Lalu, sudahkah penggratisan LKS yang katanya
berasal dari suara rakyat Kota Cirebon itu memberi manfaat? Sudah pasti ada
manfaatnya. Tapi, sebenarnya inti keluhan rakyat Kota Cirebon yang resah
terhadap banyaknya pungutan di sekolah untuk pembayaran LKS belum sepenuhnya
selesai. Apa sebab? Setelah satu LKS digratiskan, ada ribuan buku paket yang
dijual di setiap pojok-pojok sekolah di Kota Cirebon.
Lagi-lagi, masyarakatlah yang menjadi korban
“kelihaian” oknum-oknum tertentu untuk bisa memperkaya diri. Oknum yang berada
di lingkar dunia pendidikan Kota Cirebon itu seperti abai dengan aspirasi rakyat
kecil yang selama ini dengan “telaten” selalu didengarkan Ano Sutrisno.
SPP (Gagal)
Gratis
Satu lagi, yang sampai kini masih hangat dan
terus dibicarakan para pejabat di balik tembok Balai Kota hingga geribik-geribik
rakyat miskin kota, spp (gagal) gratis. Janji politik dari Ano Sutrisno untuk
menggratiskan SPP hingga tingkat SMA harus kandas di bawah palu DPRD Kota
Cirebon.
APBD Kota Cirebon disebut-sebut tidak mampu
membayar SPP SMA, mewujudkan wajib belajar hingga 12 Tahun di Kota Cirebon. Ketok
palu dalam paripurna pun hanya menyetujui Rp 10 miliar dari APBD untuk program
tersebut. Angka yang jauh dari cukup untuk memenuhi janji sang Wali Kota saat
kampanye.
Akhirnya, sebanyak 13.033 siswa SMA di
seluruh Kota Cirebon hanya akan menerima subsidi pendidikan sebesar Rp 100 ribu
per bulan saja. SPP gratis pun benar-benar gagal total alias gatot. Ano pun
kembali berdalih, itulah bentuk kompromi terbaik di antara minimnya anggaran
dan kemauan Pemerintah Kota Cirebon menggelar wajib belajar 12 tahun hingga
SMA.
Di tengah gagalnya penggratisan SMA, muncul
sebuah suara sumbang dari semak-semak di pinggiran sekolah. Diduga, gagalnya
penggratisan SPP SMA bukan karena ketidakmampuan APBD. Tetapi, lebih disebabkan
karena keengganan sekolah untuk tidak “memberdayakan” iuran dari wali siswa.
Sebab, penggratisan SPP SMA berakibat pada tidak bolehnya sekolah memungut
sepeserpun iuran yang dari orang tua sekolah. Rupanya sekolah belum siap untuk
tidak memungut “sumbangsih” orang tua siswa.
Lagi, dalihnya ada dan tertulis dengan jelas
dalam UU Sisdiknas yang kurang lebihnya berkata: “Penyelenggaraan pendidikan
merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat.” – yang dicetak tebal harap
diperhatikan. Jika ditafsir-tafsirkan kira-kira berbunyi: masyarakat harus tetap membayar sejumlah uang kepada sekolah untuk
menyelenggarakan pendidikan di sekolah.
Selain masalah-masalah tersebut di atas,
masih ada segudang masalah dalam dunia pendidikan di Kota Cirebon. Dari mulai
tawuran pelajar yang mulai marak, geng motor, deviasi seksual para pelajar,
terlambatnya sertifikasi guru, pungutan sejumlah oknum (sekolah, dinas, DPRD,
dll), dan silahkan pembaca yang lebih tahu menambahinya sendiri daftar masalah
itu.
Intinya, di tahun 2013 dunia pendidikan Kota
Cirebon masih diwarnai dengan sejumlah peristiwa yang tidak mendidik sama
sekali. Kebohongan, kecurangan, penyelewengan dan pragmatisme duniawiyah yang
notabene merupakan tindakan yang tidak mendidik, nyatanya masih ada dan
“tega-teganya” merasuk ke dalam jantung pendidikan.
Terakhir, ada ucapan yang cukup bijak dari
Wakil Ketua Komisi C, Andi Lie Riyanto saat diwawancara penulis di pertengahan
bulan Juli tahun 2013. Dengan jujur dia berkata: “Kalau memang sudah menjadi
kewajaran, silahkan bermain di mana saja. Tapi sebaiknya jangan bermain di
dunia pendidikan. Jangan sampai permainan orang dewasa diketahui anak-anak.
Tentu kita tidak mendidik sama sekali.” Wallahua’alamu.
Comments
Post a Comment