Skip to main content

Berkunjung ke Rumah Keluarga van Os



Oleh: Asih Widiyowati

PAGI ini pagi cerah untuk memulai hari yang menyenangkan. Kicauan burung gereja di pematang sawah dan pancaran matahari pagi membuat suasana semakin menggairahkan. Seekor bunglon yang hinggap di dahan pohon jambu biji di depan kamar kosan pun seakan larut menyambut datangnya hari.

Hari Selasa (8/4/2014), tepat sehari sebelum Pemilihan Umum Legislatif, setelah mandi dan menyelesaikan pekerjaan rumah, saya diajak suami untuk bertamasya ke Linggarjati, Kuningan. Selain untuk menghindar barang sejenak dari panasnya Cirebon di siang hari, di Linggarjati juga ada tempat berlibur yang cukup menarik.


“Di Linggarjati kita akan berkunjung ke sebuah rumah tempat Perundingan Linggarjati dilakukan yang sekarang menjadi museum. Kita bisa belajar banyak sejarah bangsa di sana,” ajak suamiku. 

Sontak saya menyambut gembira dan langsung mengiyakan ajakan tersebut. Saya sendiri mengetahui adanya Perjanjian Linggarjati hanya dari buku pelajaran dan guru di sekolah. Meskipun tempatnya dekat, saya belum pernah melihat langsung.

Sebelum berkendara menuju tempat tujuan, dalam kepala, ingatanku kembali menghadirkan memori tentang sebuah perjanjian penting antara Indonesia dengan Belanda pada masa revolusi kemerdekaan. Perjanjian tersebut berlangsung selama enam hari, 10-15 November 1946.

Akhirnya kami berdua pun bergegas menuju Kuningan, meski masih belum terlalu siang, matahari di Cirebon sudah sangat panas. Namun, saat mulai masuk ke perbatasan dengan Kabupaten Kuningan, udara mulai terasa sejuk.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 30 menit, akhirnya kami sampai juga di museum Perjanjian Linggarjati.

Aku langsung masuk dan menulis di buku tamu, meskipun serasa tak biasa karena tak ada petugas penjaga di kursinya, entah dia kemana? Kutulis di situ namaku, berikut tanda tangan. Suamiku juga melakukan hal yang sama, nama dan tanda tangan.

Di salah satu gambar yang terpampang di dinding ruang pertama masuk, diketahui Museum Perjanjian Linggarjati diresmikan tahun 1976 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di lokasi ini, dulu pada tahun 1918, belum ada gedung permanen yang berdiri. Hanya sebuah gubuk seorang nenek bernama Jasitem. Dengan tanpa alasan, ditulis pada 1921, gubuk dirubah menjadi bangunan semi permanen oleh orang berkebangsaan Belanda bernama Tersana.

Barulah pada tahun 1930, bangunan itu dirubah total dan berdirilah bangunan permanen dan dijadikan tempat tinggal oleh keluarga van Os.  

“Gedung yang dibangun dan ditempati oleh keluarga van Os ini sepertinya yang bentuknya masih dipertahankan sampai sekarang. Model bangunanannya Belanda banget,” kata suamiku saat melihat-lihat arsitektur museum.

Sambil mendengarkan ocehan suami, mataku terus mengikuti perjalanan gedung antik ini. Masih di runganan yang sama, aku mengetahui bahwa bentuk bangunanannya yang unik, menarik sejumlah orang di jaman itu untuk menjadikannya sebegai tempat peristirahatan. Tahun 1935 rumah milik keluarga van Os ini dikontrak oleh Theo Huitker dan dijadikan hotel bernama Rustoord.

Dan di tahun 1942, saat Jepang menjajah Indonesia dan Belanda kembali ke tanahnya, hotel itu diganti namanya menjadi Hotel Hokay Ryokan. Tidak tahulah apakah bangunan itu masih milik keluarga van Os atau tidak. Kontrak Theo Huitker sampai tahun berapa juga tidak disebutkan. Hanya dijelaskan nama hotel berubah kembali di tahun 1945 setelah proklamasi. Nama hotel berubah menjadi Hotel Merdeka.

“Nama hotel berubah seiring dengan perubahan situasi kekuasaan waktu itu. Gedung milik keluarga van Os ini benar-benar menjadi saksi gonta-ganti situasi politik, militer dan kekuasaan waktu itu,” batinku.

Benar saja, saat Belanda rindu dengan indahnya tanah Indonesia dan melancarkan agresi milternya yang II 1948-1950, Belanda menjadikan hotel itu menjadi sebuah markas militer Belanda. Saya tidak tahu apakah orang-orang Belanda itu tahu bahwa gedung itu milik keluarga van Os.

Setelah agresi militer berakhir dan Indonesia benar-benar terbebas dari penjajahan serta sudah mendapat pengakuan dari dunia sebagai sebuah negara, 1950-1975 gedung ini ditempati untuk belajar anak-anak SDN Linggarjati. Bung Hatta dan Ibu Syahrir pernah berkunjung pada 1975 dan membawa pesan bahwa gedung akan dipugar, tapi upaya itu baru sampai pada pembangunan SDN Linggarjati saja.

“Dari satu gambar saja di satu ruangan saya bisa mengetahui banyak hal tentang sejarah. Kau mengajakku ke ladang pengetahuan yang mengasyikkan. Sejarah yang membosankan, di sini disulap menjadi menyenangkan,” kataku pada suami.

Tidak hanya asal-usul gedung, di ruang pertama itu juga, saya langsung melihat ada tulisan yang terpampang yang tak lain adalah hasil Perjanjian Linggarjati nama-nama delegasi Indonesia dan Belanda. Delegasi dari Indonesia tertulis ada Sutan Syahrir, Soesanto Tirtoprodjo, AK Gani, dan Mohammad Roem. Sementara delegasi dari Belanda yakni Scermerhorn, van Mook, van Pool dan F. De Boer. Sedangkan saksinya (yang juga menjadi notulen dan perekam perundingan) yakni Leimena, Soedarsono, Amir Syarifuddin dan Ali Boediardjo.

“Lima ribu mas,” tiba-tiba saja seorang petugas keluar dari dalam ruangan tengah. Kedatangannya cukup mengagetkan dan ucapannya benar-benar langsung ke inti yang hendak ia tuju. Dari situ saya mengerti bahwa ongkos masuk museum ini lima ribu perak.

Belum lagi aku keluarkan uang lima ribu perak, petugas langsung bertanya kembali, “sudah tanda tangan mba?” Langsung saja saya jawab dengan menunjukkan nama saya dan suami yang sudah tertulis dengan tinta biru di buku tamu miliknya.

“Ok mba, silahkan masuk,” katanya ramah.

“Iya, terima kasih.”  Suamiku ternyata sudah masuk ke rungan tengah saat aku sedang membayar ongkos karcis.

Di ruang tengah, dia amat serius mengamati dengan seksama setiap detailnya. Ruang tengahlah yang dulu digunakan sebagai ruang keluarga oleh keluarga van Os. Dan saat zaman revolusi kemerdekaan, ruang itu menjadi saksi sebuah perundingan yang mengundang pro dan kontra.

Dalam perundingan tersebut, Syahrir dan delegasi dari Indonesia duduk di sebelah timur menghadap ke barat. Sementara delegasi dari Belanda duduk di sebelah barat dan menghadap ke timur. Kedua delegasi saling berhadapan. Di ujung utara duduk seorang inisiator sekaligus penengah perundingan Linggarjati, Lord Killearn. Formasi ketiga kelompok itu membentuk huruf U. Sedangkan notulen dan perekam proses duduk di ujung selatan dalam sebuah meja yang berbentuk bundar.

Pilihan kenapa Kuningan menjadi tempat perundingan sendiri sebenarnya atas usulan Menteri Sosial waktu itu, Maria Ulfah. Setelah sebelumnya, delegasi Indonesia  dan Belanda tidak menemukan kata sepakat apakah perjanjian akan dilakukan di Jakarta, yang sedang dikuasai Belanda atau di Ibu Kota Indonesia di Yogyakarta.

Hari sudah mulai sore, sudah waktunya saya meningglakan museum yang banyak dikunjungi para pelajar setempat itu. Tak tahu, kuperhatikan dari tadi, kebanyakan mereka, ada yang berseragam SMP dan SMA, lebih memilih sibuk berpacaran di taman dengan temannya dibandingkan membaca diaroma di dalam museum. 

Meskipun demikian, kesan mendalam tentang Perjanjian Linggarjati begitu terasa dalam pikiranku. Bahkan, ruangan terakhir di dalam museum, yakni ruangan Soekarno begitu menyisakan tanya dan rasa penasaran. 

Di kamar itu, instingku menjumpai otak yang berada di balik Perjanjian tersebut, yang tak lain adalah Soekarno. Dari ruang utama, cukup masuk ke lorong sebelah kiri, di ujung lorong itu ada sebuah ruangan yang secara khusus menampilkan sosok Soekarno dan Lord Kiilearn. Dari foto-fotonya, mereka berdua terlihat akrab.

Segera saja setelah sampai di kosan yang panas dan pengap di Cirebon, kubuka literatur-literatur yang berkaitan dengan Perjanjian Linggarjati.

Siapa yang mengira bahwa Perjanjian Linggarjati sendiri sangat kental aromanya sebagai perjanjian antara Soekarno dan pihak Belanda. Meskipun Soekarno tidak masuk ke dalam delegasi Indonesia dalam perundingan itu, tapi dia berada di rumah Bupati Kuningan saat perundingan itu berlangsung.

Pada saat kedua delegasi tidak menemui kata sepakat, maka para delegasi Belanda langsung ke rumah Bupati. Ternyata delegasi Belanda memanfaatkan perundingan di Lingarjati untuk mendiskusikan kebuntuan yang terjadi dalam perundingan dengan Sukarno dan Hatta. Anehnya, Soekarno menyetujui seluruh konsep Perjanjian Linggarjati yang masih belum menemui kata sepakat, terutama dari delegasi Belanda. Soekarno pun berjanji akan menggunakan pengaruhnya agar rakyat mau menerima hasil perundingan itu. Delegasi Belanda merasa puas. Selanjutnya mereka undur diri, menyudahi pertemuan.

Amir Sjafruddin dan AK Gani, dua delegasi Indonesia yang ikut serta ke rumah kediaman Bupati Kuningan pun melaporkan keganjilan tersebut kepada Sjahrir. Sontak Sjahrir kecewa dan menyayangkan sikap Sukarno. Meskipun dengan berat hati, akhirnya delegasi Indonesia mau menerima keputusan tersebut terutama setelah Soekarno memberikan penjelasan kepada mereka.

Soekarno memenuhi janjinya kepada delegasi Belanda, sejak pertengahan hingga akhir November 1946, Sukarno menyosialisasikan hasil Perjanjian Linggarjati ke masyarakat dalam perjalanan dinas ke sejumlah wilayah di Jawa Barat. Di Garut, Sukarno menenangkan kegelisahan rakyat terkait posisi Ratu Belanda sebagai kepala UNI (Uni Nederland-Indonesia) seperti terdapat dalam pasal 8 Perjanjian Lingarjati.


“Ratu Belanda sama sekali tak menyinggung kedaulatan RI. Sebermula sebelum persetujuan tercapai, memang bunyi pasal 8 itu menghendaki supaya Ratu Belanda yang berkuasa. Berkatkegiatan delegasi Indonesia, hal yang mengecewakan itu diubah dengan mendapat persetujuan dari kedua belah pihak.”

Hasil perundingan diparaf di rumah Pegangsaan Timur 56, Jakarta, pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947. Perjanjian itu menimbulkan pro dan kontra di dalam negeri. Yang kontra menganggap perjanjian itu memperlemah posisi Indonesia. Pelaksanaan perjanjian itu sendiri kemudian tak berjalan mulus, akibat perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda. Gubernur Jenderal HJ Van Mook menyatakan Belanda tak terikat lagi dengan perjanjian itu, bahkan menggerakkan agresi militer Belanda I.

Lalu apakah Perjanjian Linggarjati itu sia-sia belaka dan sikap Soekarno juga tidak berguna? Seorang peneliti Perjanjian Linggarjati, Roesdy Hoesein, mengatakan, perundingan itu sangat bermanfaat. Selain untuk menghindarkan konflik bersenjata pasukan republik dengan tentara Belanda pada saat pendudukan kembali Belanda, Perjanjian Linggarjati juga semakin menguatkan citra Indonesia di mata dunia internasional. Lebih dari itu, Indonesia mendapat pengakuan secara de facto, modal untuk diplomasi berikutnya. Itulah yang disebut oleh Roesdy Hoesein sebagai “terobosan sukarno” dalam Perjanjian Linggarjati. Terobosan yang tidak banyak dimengerti Belanda, atau bahkan teman-teman perjuangan Soekarno.

Hari pun mulai temaram, tubuh dan pikiranpun menuntut haknya untuk istirahat. Sambil menyaksikan acara di salah satu saluran televisi swasta, saya berbincang sedikit dengan suami tentang pengalaman yang mengesankan dan baru tengah malam kami berdua bisa tidur.***

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.