Skip to main content

Masjid Jagabayan: Setia Menjaga Cirebon dari Mala dan Bahaya

Salah seorang tetua di Masjid Jagabayan, Sofwan Subrata.

DICERITAKAN para tetua, setelah menjadi kerajaan yang cukup berpengaruh, Kesultanan Cirebon ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah, baik dari Jawa, Nusantara maupun dari mancanegara. Keraton Cirebon sebagai pusat pemerintahan pun pelan-pelan menjadi magnet bagi orang-orang, baik yang berkehendak baik maupun yang sebaliknya. 

Banyak orang yang datang ke Cirebon untuk belajar mendalami Islam tapi tidak sedikit pula yang berniat menghancurkannya.

Syahdan, diceritakan pula ada satu masjid kecil yang menjadi salah satu tempat untuk 'menyeleksi' tamu yang hendak masuk ke kompleks Keraton Cirebon. Masjid itu bernama Masjid Jagabayan. 

Berdasarkan penuturan dari sesepuh Masjid Jagabayan, Sofwan Subrata, Jagabayan yang berarti 'menjaga bahaya' ini awalnya hanya nama dari sebuah tempat ibadah kecil yang kerap digunakan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan Mbah Kuwu Sangkan (Mbah Kuwu Cirebon/Pangeran Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana) untuk berkumpul dengan masyarakat.

Seiring dengan perkembangan Kesultanan Cirebon, Masjid Jagabayan itu pun mempunyai fungsi lain yang tak kalah penting yakni menjadi sebuah tempat semisal pos keamanan yang berfungsi untuk menjaga Keraton Cirebon dari bahaya yang datang dari luar. Bahaya di sini dituturkan Sofwan, bisa yang berupa fisik maupun metafisik.

“Jagabayan ini untuk menjaga bahaya, ya seperti pos keamanan mungkin. Jadi dulu, kalau ada tamu dari luar yang hendak ke Keraton Cirebon, mereka lapor ke sini dulu,” katanya.

Jika dilihat dengan seksama, andai kita tarik garis lurus dari kompleks makam Sunan Gunung Jati di utara hingga ke Keraton Kanoman, maka ada satu garis yang tidak lain adalah jalan protokol waktu itu yang masih bisa disaksikan hingga sekarang. 

Jalan itulah yang menghubungkan bagian dalam keraton dengan bagian luar keraton, terutama dengan kompleks Gunung Jati. Dan Masjid Jagabayan menjadi tempat yang strategis untuk memeriksa siapapun yang hendak ke masuk kompleks Keraton Cirebon kala itu.

Masjid bersejarah yang berada di Jalan Karanggetas persis di sebelah utara perempatan lampu merah Kanoman Kota Cirebon itu hingga sekarang tidak pernah sepi. 

Meskipun hanya berukuran tidak lebih luas dari kamar kos mahasiswa, masjid yang dihimpit bangunan-bangunan di tengah kota itu masih setia menjadi tempat ibadah. Orang-orang pun masih percaya, masjid 'penjaga bahaya' itu merupakan sumber keberkahan untuk menghilangkan mala dan bahaya.

Selain melakkan iktikaf dan sholat, orang-orang dari berbagai daerah datang ke Masjid Jagabayan untuk ngalap berkah. Orang yang datang ke masjid dengan niat tersebut biasanya membawa minyak kelapa dan bunga tujuh rupa. Kata Sofwan, dulu orang membawa minyak kelapa untuk dijadikan sebagai bahan bakar lampu penerangan di masjid.

Kebiasaan menyedekahkan minyak kelapa untuk keperluan ibadah di masjid pun terus berkembang. Hingga akhirnya orang-orang dari berbagai daerah berbondong-bondong memberikan minyak kelapa ke Jagabayan. 

Mereka percaya, sedekahnya itu bisa memudahkan segala urusan, masalah dan hajat yang sedang dihadapinya. Begitu banyaknya orang yang datang membawa minyak kelapa ke Jagabayan hingga kemudian lumrah beredar di tengah masyarakat Cirebon dan sekitarnya kalimat ngirim lenga ning Jagabayan. 

Kebiasaan ngirim lenga ning Jagabayan itupun berlanjut hingga sekarang sebagai kebiasaan masyarakat Cirebon jika sedang mempunyai hajat tertentu.

Adapun bunga yang mereka bawa biasanya digunakan untuk wewangian saat mandi. 

“Orang-orang banyak yang mandi di sini, di Sumur Jagabayan, sumur yang dibuat oleh Mbah Kuwu Sangkan untuk bersuci, mandi dan berwudlu,” tutur Sofwan sambil menunjukkan sumur tersebut. 

Sofwan juga menunjukkan sedikit sisa-sisa kolam wudlu, barang beberapa sentimeter, yang sengaja tidak dipugar sebaga bukti sejarah.

Masjid Jagabayan, hingga sekarang pun dipercaya masyarakat masih mempunyai fungsi dan kekuatan untuk menjadi Cirebon dari bahaya. Meskipun Kesultanan Cirebon sudah tidak seberpengaruh dulu, akan tetapi orang masih percaya bahwa jika ada pejabat dengan niat dan maksud yang kurang bersih, maka dia tidak akan pernah bisa melewati daerah Jagabayan.

“Biasanya pejabat yang kotor dan hatinya jelek tidak akan berani lewat sini, dia pasti muter lewat daerah Pasuketan,” kata Sofwan Subrata mengakhiri perbincangannya.***

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Islam Pos-Kolonial

Hubbul   wathon minal iman , cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan terma wathon dengan sangat lincah. Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon .  Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini. Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men- transformasi kan pengetahuan kebangsaan yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan masa depan. Adalah satu kesulitan ...