Skip to main content

Memahami Ihwal Kelestarian Bahasa Cirebon

Kongres Basa Cerbon II

MASIH teringat jelas waktu itu, Rabu 26 Juni 2013, saya berkesempatan mengikuti Kongres II Basa Cerbon di Hotel Prima. Itulah keberuntungan yang diperoleh seorang wartawan, keberuntungan yang tidak bisa dimiliki oleh sembarang orang. Kalau tanpa identitas sebagai wartawan, saya sendiri tidak yakin bisa berkumpul dengan begitu banyak budayawan, intelektual, sejarawan dan pegiat kecirebonan, pegiat segala hal tentang Cirebon.

Pada kesempatan tersebut, yang tidak mungkin terlupakan yakni saat saya bisa ngobrol langsung dengan Ajip Rosyidi, budayawan Sunda dan salah seorang intelektual yang dimiliki bangsa ini. Ajip yang sudah berumur 75 tahun tersebut hadir menjadi pembicara dalam acara tersebut. Sementara wartawan koran lokal Cirebon lain sibuk mencari panitia acara dan pejabat yang datang, saya bersama wartawan Kompas, Rini, lebih sudi untuk mewawancarai Ajip.

Begitu mengucapkan salam dan dipersilakan duduk di sampingnya (Rini sebelah kanan Ajip dan saya di sebelah kirinya), saya pun sigap untuk langsung menanyakan tentang kebenaran ada tidaknya bahasa Cirebon menurut Ajip. Tapi jawabannya cukup mengecewakan saya, dia menjawab bisa ada, bisa tidak. Sebagai orang Cirebon, saya kecewa, tapi sebagai wartawan, saya butuh lebih banyak amunisi untuk bertanya lebih lanjut. Sebab, seorang seperti Ajip tentu akan punya alasan kuat terhadap setiap pernyataan yang keluar dari mulutnya. Ada argumentasi yang kokoh dari setiap pernyataan seorang intelektual.  

“Ada atau tidaknya buku yang terbit dalam bahasa daerah tertentu itu merupakan satu indikator yang sangat jelas untuk menunjukkan kehidupannya. Itu berlaku di mana-mana, termasuk dalam satu negara,” sambungnya. Dan ini dia jawaban yang saya tunggu-tunggu. Jawaban yang tidak simpel, tegas dan penuh kejujuran.


Di Cirebon sendiri, menurut sepengetahuan Ajip, ada beberapa buku yang terbit dalam Bahasa Cirebon. Akan tetapi, buku yang dimaksud hanya terbit sekali-sekali saja, tidak tiap tahun. Pernah juga ada media yang menggunakan Bahasa Cirebon, tapi kelihatannya keduanya tidak banyak diminati orang di daerahnya sendiri.

Sampai di sini, Ajip berucap dengan penuh diplomasi untuk menjawab satu pertanyaan, “Ada atau tidak bahasa Cirebon?” Tapi itulah penjelasan yang saya amini setelah saya merenungkannya. Ada tidaknya satu bahasa memang bisa ditentukan dengan penelitian dan analisis bahasa. Tapi penelitian adalah kegiatan yang berjarak dari realitas kebahasaan itu sendiri. Bahasa Cirebon tidak akan semakin berkembang dan lestari dengan semakin banyaknya penelitian tentang bahasa Cirebon.

Secara sederhana, Ajip seakan ingin mengatakan bahwa proses kebahasaan-lah yang penting untuk diperhatikan orang Cirebon. Diantaranya dengan memperbanyak karya tulis berbahasa Cirebon. Dengan semakin banyak buku, atau media yang terbit dalam bahasa Cirebon dan semakin banyak orang yang membacanya, tentu bahasa itu dengan sendirinya akan lestari. Dari situ saya juga berkesimpulan bahwa kelestarian bahasa lahir tidak dari meja deklarasi tapi dia tumbuh dan berkembang dari kehidupan sehari-hari.

Dengan nada yang agak rendah, Ajip kembali berujar, “Sebenarnya, Cirebon merupakan daerah yang memiliki kekayaan budaya. Salah satunya yakni banyaknya naskah, seperti suluk, babad, dan lain lain yang berbahasa Cirebon yang tersebar di masyarakat Cirebon. Dari situ, orang Cirebon bisa saja menggali kekayaan budayanya itu untuk kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Dengan begitu, harapannya, akan banyak orang yang membaca buku tersebut,” katanya menerawang.

Ada raut keprihatinan yang terbaca sangat jelas terbit dari wajah Sang Budayawan kelahiran Jatiwangi Kabupaten Majalengka itu. Saya pun tidak berani untuk mengajukan pertanyaan susulan. Hingga akhirnya dia melanjutan kegundahannya sejurus kemudian.

“Sayangnya, anak-anak muda juga tidak membaca karya dalam bahasa ibunya, tidak hanya di Cirebon. Tapi hal itu terjadi juga di daerah lainnya. Sama seperti yang terjadi di Sunda, Jawa, Bali maupun daerah lainnya. Oleh karenanya perlu diperhatikan untuk pembelajaran bahasa daerah, jangan dulu diajarkan undak-usuk bahasa (strata bahasa),” tegasnya.

“Penggunaan aksara asli daerah dalam praktik bahasanya juga bisa mempersulit anak-anak muda untuk mempelajarinya. Lebih baik, gunakan saja bahasa Cirebon dengan menggunakan aksara latin yang sudah familiar di mata masyarakat,” lanjutnya.

Serentetan diplomasi, argumentasi, keprihatinan dan juga saran dari seorang Ajip mengalir deras tanpa penghalang. Tapi jelas terlihat bahwa semua pernyataannya tersebut bisa dilihat sebagai rangkaian premis mayor dan premis minor yang harus ditamatkan dengan sebuah kesimpulan. 


Pendiri Yayasan Kebudayaan Rancage tersebut mempunyai pendapat yang bulat bahwa bahasa Cirebon belum bisa disebut sebagai bahasa yang mandiri. Menurutnya, bahasa Cirebon itu bahasa Jawa dengan dialek Cirebon. Jadi, bahasa Cirebon belum bisa disebut bahasa, akan tetapi hanya dialek saja. Kesimpulan itu pun dengan teguh Ajip bawa ke atas panggung seminar dan dia sampaikan di depan peserta kongres tanpa tedeng aling-aling.

Pendapatnya tersebut sontak mengundang suara-suara, bahkan tudingan yang cukup keras dan menghujam Ajip. Suara itu datang, tentunya, dari para peserta Kongres II Basa Cerbon. Terutama, suara bernada protes tersebut datang dari budayawan Cirebon yang sudah sepuh. Mereka adalah Tandi Skober, Noerdin M. Noer dan Made Casta. Mereka kukuh berpendapat, bahasa Cirebon itu ada dan bukan dialek melainkan bahasa yang mandiri.

Meski sempat bersitegang dengan Tandi Skober (Tandi memplesetkan Rancage Award dengan Rancaekek dengan nadanya yang sinis), dengan bijaksana, Ajip pun menegaskan bahwa bagaimana pun perdebatan mengenai ada atau tidaknya bahasa Cirebon akan terus ada. Tapi, yang jelas, masa depan bahasa Cirebon amat bergantung pada orang Cirebonnya sendiri.

“Pastinya, perlu ada penelitian akademis untuk menentukan apakah bahasa Cirebon itu bahasa yang mandiri atau hanya dialek dari bahasa Jawa saja. Orang Cirebon harus bisa membuktikan itu secara ilmiah,” tegasnya.
Ajip Rosyidi

Akhirnya, setelah kongres tersebut berlangsung selama 3 hari, terhitung mulai dari Rabu-Jumat, 26-28 Juni 2013, kongres itu pun menghasilkan rekomendasi dalam upaya untuk menguatkan posisi bahasa Cirebon dalam berbagai aspeknya. Rekomendasi tersebut dirumuskan oleh panitia perumus dengan Made Casta  sebagai ketuanya, Rafan S. Hasyim sekretaris, dengan tiga orang anggota yakni Adin Imadudin, Nurdin M. Noer dan Supali Kasim.

Rekomendasi tersebut, menurut tim perumus akan digunakan sebagai alat untuk menekan pihak-pihak terkait agar lebih peduli kepada bahasa Cirebon. Menurutnya, Pemerintah Provinsi  Jawa Barat, Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon dan Kabupaten Indramayu perlu memerhatikan dengan serius hasil rekomendasi dari kongres tersebut. Sebab, kalau dilihat dari peraturan yang sudah dikeluarkan, hanya Perda Provinsi Jawa Barat saja yang sudah memperhatikan posisi bahasa Cirebon.

Selain itu, dalam rekomendasinya, kongres mendorong pemerintah setempat untuk memfasilitasi penyelenggaraan penelitian-penelitian tentang bahasa, sastra, dan carakan (aksara Cirebon). Penelitian demikian bertujuan untuk memantapkan keajegan bahasa Cirebon secara ilmiah. Selain juga sebagai bentuk perencanaan korpus pelestarian dan pengembangan bahasa Cirebon.

Dalam rekomendasi juga disebutkan bahwa pemerintah juga perlu melakukan pelestarian bahasa Cirebon melalui pembelajaran di sekolah-sekolah. Hal itu bisa dilakukan dengan terus mengajarkan bahasa Cirebon dengan pendekatan kultural bukan geopolitik. Pendekatan kultural dipandang bisa mengeliminir rasa ketidakadilan antar daerah. Tidak ketinggalan, perguruan tinggi yang ada di daerah setempat pun perlu untuk mengeluarkan kebijakan strategis untuk meningkatkan harkat ilmiah bahasa Cirebon.

Selain itu, semua elemen masyarakat yang sudah menggunakan bahasa Cirebon agar terus digunakan dengan penuh rasa bangga, memiliki dan tanggung jawab. 


“Ada berbagai elemen yang sudah tetap setia menggunakan basa Cerbon dalam rutinitasnya. Diantaranya pesantren salaf berbagai pagelaran kesenian, ritual-ritual daerah, bahkan kebiasaan komunikasi sehari-hari masyarakat. Semuanya harus tetap mempertahankan agar tetap menggunakan basa Cerbon dengan optimal,” kata Rafan.

Rekomendasi itu juga menginginkan agar keraton-keraton Cirebon bisa mengoptimalkan perlindungan, pengkajian, dan pengembangan naskah-naskah, ritus-ritus sebagai bentuk pelestarian pengembangan bahasa Cirebon.

Peran media massa di daerah setempat juga dipandang strategis untuk mempopulerkan bahasa Cirebon. Media perlu untuk memberikan porsi untuk mengoptimalkan pelestarian dan pengembangan bahasa Cirebon. Media perlu membuka ruang dalam rubrikasinya dengan memuat konten demikian.

Sampai di situ, entah saya sudah terlanjut terpengaruh dengan pendapat Ajip atau tidak, yang pasti dalam rekomendasi tersebut tidak memuat satu pun saran dari Ajip: melestarikan bahasa Cirebon dengan memperbanyak karya-karya berbahasa Cirebon. Dan saya pun kecewa. Tapi saya lebih memilih untuk membiarkan paradoks-paradoks tersebut hidup dalam pikiranku termasuk paradoks dalam diri bahasa Cirebon sendiri. Paradoks apakah gerangan yang saya maksud?

Bahwa kalau pengukuran bahasa yang mandiri itu dari nilai dan persentase keberbedaannya dengan bahasa lain, maka sudah saatnya orang Cirebon melirik bahasa sejatinya sendiri. Bahasa Cirebon sesungguhnya ialah bahasa yang sering dikatakan para budayawan Cirebon sebagai bahasa Cirebon bagongan, bahasa Cirebon kelas bawah, bahasa yang dipraktikkan sehari-hari. Bahasa Cirebon bagongan, menurut saya adalah bahasa yang benar-benar berbeda dari yang lainnya. Lain dengan bahasa Cirebon halus (babasan) atau bahasa krama, krama inggil atau entah apapun itu namanya, yang lebih mengadopsi bahasa Jawa.

Kata dalam bahasa Cirebon bagongan seperti iwak, klambi, srowal, jobong, tlawungan, pantas untuk dikaji dan dipandang sebagai bahasa Cirebon dengan tanpa embel-embel undak-usuk bahasa. Bukankah undak-usuk bahasa itu ciptaan penguasa zaman dulu kala untuk menundukkan rakyat? Dan bukankah Cirebon, dari semula adalah bangsa yang merdeka, bangsa para ingsun, bukan bangsa para kula, para abdi ataupun para sahaya? Wallahu a’lam bi showab. ***  

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: