![]() |
Ilustrasi perang, copyright:kebumen2013.com |
SELAMA ini, kebanyakan masyarakat Cirebon hanya mengetahui adanya Perang Diponegoro (1925-1930),
Perang Padri (1803-1838) ataupun perang lainnya yang terjadi di daerah lain.
Akan tetapi, jarang orang tahu bahwa rakyat Cirebon pernah melakukan perlawanan
terhadap penjajah. Saya pun
menelusuri peristiwa bersejarah yang puncaknya terjadi di tahun 1818 itu. Berbekal
wawancara dengan beberapa narasumber dan data dari beberapa buku, inilah
sekelumit sejarah Perang Kedongdong.
Perlawanan
rakyat Cirebon terhadap penjajah terjadi karena Belanda menerapkan peraturan
yang sewenang-wenang. Beberapa catatan menyebutkan, pemicu meletusnya perang
tersebut adalah karena penangkapan Pangeran Raja Kanoman dan penerapan sistem landrente (pajak tanah) yang
menyengsarakan rakyat.
Seperti
diketahui, pada tahun 1798, Sultan Anom IV wafat. Terjadilah pergolakan tentang
penggantinya. Kompeni pun turut campur dalam menentukan penggantinya.
Kebanyakan rakyat menghendaki sang putra mahkota, Pangeran Suryanegara
(Pangeran Raja Kanoman) menjadi sultan. Tapi Kompeni lebih memilih adiknya,
Pangeran Surantaka. Peristiwa tersebut telah mengobarkan api dalam sekam. Di
saat VOC dilikuidasi oleh Belanda pada 31 Desember 1799, huru-hara sebagai
bentuk perlawanan rakyat pun terjadi di mana-mana, puncaknya terjadi pada tahun
1802.
Tahun 1805, Pangeran Raja Kanoman pun diundang untuk datang ke Batavia (pusat kekuasaan Kompeni) untuk berunding. Tetapi, setibanya di Batavia, dia ditangkap dan diasingkan ke benteng Viktoria, Ambon. Rakyat Cirebon tidak terima. Sekitar 1.000-an orang melakukan aksi long march dari Cirebon ke Batavia dengan beberapa tuntutan, salah satunya agar Pangeran Raja Kanoman dibebaskan. Aksi yang diceritakan dikomandoi para kyai tersebut bisa diredam oleh Belanda dengan beberapa kesepakatan. Diantaranya mengembalikan Pangeran Raja Kanoman dan mengangkatnya menjadi sultan. Dengan catatan, dia harus membuat keraton baru, tidak boleh menempati Keraton Kanoman.
Tahun 1805, Pangeran Raja Kanoman pun diundang untuk datang ke Batavia (pusat kekuasaan Kompeni) untuk berunding. Tetapi, setibanya di Batavia, dia ditangkap dan diasingkan ke benteng Viktoria, Ambon. Rakyat Cirebon tidak terima. Sekitar 1.000-an orang melakukan aksi long march dari Cirebon ke Batavia dengan beberapa tuntutan, salah satunya agar Pangeran Raja Kanoman dibebaskan. Aksi yang diceritakan dikomandoi para kyai tersebut bisa diredam oleh Belanda dengan beberapa kesepakatan. Diantaranya mengembalikan Pangeran Raja Kanoman dan mengangkatnya menjadi sultan. Dengan catatan, dia harus membuat keraton baru, tidak boleh menempati Keraton Kanoman.
Meskipun demikian, api perlawanan rakyat
Cirebon tidak sepenuhnya padam, bahkan semakin membara. Setahun kemudian, 1806,
menurut laporan Residen Cirebon, Servatius, terjadi pemberontakan rakyat dengan
membakar semua pabrik gula dan tanaman tebu. Pergolakan dipicu oleh kebijakan
persewaan desa yang menyebabkan penderitaan dan beban berat rakyat. Dalam
praktik persewaan desa, para tuan tanah yang membebankan pajak. Tuan tanah itu
adalah mereka para pengusaha swasta kaya yang diberikan hak menyewa desa.
Disebutkan kebanyakan mereka adalah orang-orang Cina.
Perlu diketahui bahwa di tahun-tahun itu, menurut
Pramoedya Ananta Toer, di negaranya sendiri, Belanda sedang menghadapi masalah
pelik. Belanda berada di tengah pusaran perang di tanah Eropa. Pun akhirnya, Belanda
telah berada di bawah kekuasaan Perancis sejak 1795. Sehubungan dengan
sentralisasi kekuasaan yang semakin besar, maka Napoleon Bonaparte -Sang
Penguasa Prancis- mengangkat adiknya, Louis Bonaparte sebagai penguasa Belanda
pada tahun 1806. Dan pada tahun 1808, Louis mengirim Marsekal Herman Willem
Daendels ke Batavia untuk menjadi gubernur jendral (1808-1811).
Sejarawan Inggris, Ricklefs, mengatakan bahwa
Daendels datang ke Jawa dengan membawa semangat pembaharuan dan kediktatoran
yang sebenarnya membawa pada sedikit hasil dan banyak perlawanan. Dia memiliki
perasaan tidak suka terhadap gaya feodal para penguasa Jawa di daerah yang
dikuasai Belanda. Baginya, mereka bukan pemimpin melainkan pegawai administrasi
Belanda.
Bulan Februari 1809, pemberontakan memuncak
karena Daendels mengeluarkan peraturan tentang pengaturan tanah-tanah Cirebon.
Dalam peraturan itu juga disebutkan bahwa sultan ditempatkan sebagai pegawai
Belanda. Pelawanan rakyat melawan kolonial terjadi di Palimanan dan sekitarnya,
Kandanghaur, Distrik Blandong, Kedongdong dan Majalengka. Pemimpin perlawanan
tersebut yang dikenal yakni Bagus Rangin, Bagus Jabin, Nairem dan Bagus Serit.
Pemberontakan yang dipimpin Bagus Rangin dan
pemberontakan lainnya yang dilakukan di daerah-daerah terhadap penjajah pun
berlanjut hingga Daendels (Belanda-Prancis) mengakhiri jabatannya sebagai
gubernur jendral di tahun 1811 dan digantikan oleh Gubernur Jendral Raffles
(Inggris). Pergantian dilakukan beberapa saat setelah di Eropa, Inggris
berhasil mengalahkan Belanda-Prancis. Setahun kemudian, tahun 1812, Bagus
Rangin dan pengikutnya diberitakan ditangkap. Tapi banyak juga yang mengatakan
bahwa kabar tersebut tidak benar, Bagus Rangin tidak pernah tertangkap dan
terus melancarkan gerilyanya.
Tahun 1813, sebagaimana disebutkan dalam buku
Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20,
Raffles menghapus Kesultanan Cirebon. Dia beranggapan, perlawanan rakyat
Cirebon kepada kolonial karena merosotnya kedudukan sultan-sultan Cirebon
akibat tindakan kolonial. Kebijakan tersebut malah menjadi faktor tambahan yang
mendorong rakyat Cirebon terus melakukan perlawanan. Tahun 1816, Bagus Jabin
memimpin gerakan perlawanan di Indramayu dengan pusat gerakan di Kandanghaur.
Kemudian dia bergerak ke Launmalang Desa Lagun. Kelompok ini disebut pemerintah
kolonial sebagai kelompok Begal Jabin. Bagus Jabin juga membuat kerusuhan di
Distrik Blandong.
Gerakan perlawanan yang dilakukan rakyat
Cirebon tersebut dilakukan secara terus-menerus dengan strategi gerilya.
Strategi tersebut terbukti ampuh dan memporak-porandakan pemerintahan kolonial
di atas bumi Cirebon. Puncaknya, pada tahun 1818, gerakan perlawanan rakyat
Cirebon berada di pusat simpulnya yakni di Kedongdong Kecamatan Susukan.
Perlawanan terjadi di Januari-Februari dan Juli-Agustus 1818. Dalam buku Bâban Kâna disebutkan bahwa banyak
perwira dari pihak kolonial yang tewas saat perang yang melibatkan para kyai
dan santri tersebut. Di antara mereka yang tewas adalah Letnan van Hooorn,
Letnan Wessel dan Kapten Kalberg. Assisten Residen Cirebon, Heydenreich pun
turut menjadi korban dalam peperangan tersebut.
Demikian sekelumit sejarah perlawanan rakyat
Cirebon melawan penjajah yang berhasil berhasil dihimpun. Dengan segala keterbatasan, tentunya ini tidak sempurna. Tapi di dalamnya mengandung
harapan agar peristiwa heroik yang pernah terjadi di Cirebon dan sekitarnya
bisa diketahui khalayak. Sebagai bentuk penghargaan kepada para pahlawan dan
syuhada, sekaligus upaya menanamkan jiwa kepahlawanan itu pada setiap manusia
Indonesia yang merdeka. ***
Sumber:
- A. Sobana Hardjasaputra, dkk., Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga
Pertengahan Abad ke-20, Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi
Jawa Barat, 2011.
- KH Zamzami Amin, Bâban Kâna, Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2014.
Pramoedya Ananta Toer, Jalan raya Pos, Jalan Daendels, cetakan IX, Jakarta: Lentera
Dipantara, 2012.
- A. Syatori, Gerakan Sosial Rakyat Cirebon tahun 1818. Makalah disampaikan dalam
acara Diskusi Bulanan HU Fajar Cirebon 19 November 2014.
Comments
Post a Comment