![]() |
Diadopsi dari cover buku Dekolonisasi Metodologi |
DI INDONESIA banyak sekali peneliti,
dosen dan akademisi. Mereka menghasilkan karya ilmiah yang tidak sedikit. Tugas
akhir kuliah, penelitian, buku, jurnal ilmiah dan lain-lain. Semua itu
membentuk suatu ilmu dan pengetahuan tersendiri. Karena semua penciptanya
adalah orang Indonesia, boleh kiranya jika kita sebut saja itu semua sebagai
pengetahuan Indonesia.
Pengetahuan Indonesia yang
dihasilkan para ilmuwan Indonesia itu, sayangnya masih banyak yang fotokopian, alias
hasil jiplakan atau plagiasi dari karya-karya lain. Ataupun kalau tidak, hasil
penelitian itu memaksakan teori-teori dari luar. Peneliti hanya berlindung di
balik teori-teori besar. Meski sebagian besar tidak klop, akan tetapi realitas
di Indonesia tetap “dibaca” dengan teori tersebut. Alhasil, bukan
ketersingkapan realitas yang didapat, tapi pemerkosaan realitas.
Patron dari pengetahuan luar yang
hadir juga dalam teori-teorinya sering memaksa ilmuwan untuk tidak memihak pada
realitasnya sendiri, realitas keindonesiaan yang tentunya berbeda dengan semua
realitas di negara lain. Ilmuwan banyak yang tidak mempunyai keberpihakan
terhadap realitas keindonesiaan, seperti kebinekaan. Pada akhirnya, ilmu
pengetahuan hasil dari proses keilmuan seperti itu hanya menghasilkan semacam
pameran seminar tanpa pelaksanaan keseharian. Pengetahuan yang dhasilkan menjadi
amat berjarak dengan realitas sebenarnya.
Tak heran jika kemudian
masyarakat seringkali mencibir atau bahkan merendahkan setiap ada akademisi
atau mahasiswa yang “turun gunung.” Barangkali, cibiran itu berangkat dari
pengalaman masyarakat yang menilai bahwa akademisi memang sudah demikian
berjarak dengan mereka. Ada gap yang semakin menganga lebar antara kehidupan
dan pengetahuan.
Bagaimana tidak? Nyatanya suatu
hari saya melihat judul tugas akhir mahasiswa seperti ini: “Rendahnya Tingkat
Kesadaran Warga di Daerah X terhadap Kesehatan” untuk menjelaskan banyaknya kobong
(jamban) di sungai. Atau “Rendahnya Keinginan Belajar Agama Masyarakat di
Daerah X” untuk menjelaskan sepinya kegiatan mengaji di suatu tajug di
daerah tertentu. Dan banyak lagi laporan penelitian sejenis yang terus
dibiarkan bereproduksi dari tahun ke tahun. Penelitian tanpa ruh yang mencoba
keras untuk mendapatakan “objektifitas” tapi kemudian terjebak ke dalam
justifikasi-dominasi yang berkedok ilmu pengetahuan.
Tentunya kita juga sering
mendengar bahwa profesor A mendapatkan gelarnya dari cara yang tidak benar. Dia
memfotokopi karya orang lain dan melegitimasinya sebagai karyanya sendiri. Atau
dia memeras akal dan pemikiran mahasiswanya yang kemudian disulap menjadi hasil
kontemplasi dan penelitiannya sendiri. Atau juga kita mendengar kejahatan
intelektual dengan dibukanya pintu-pintu jasa pembuatan tugas akhir. Wowww. Dan
Anda boleh percaya, masih banyak lagi yang lainnya.
Kembali ke masalah keberpihakan
kepada realitas, kebijakan politik juga sering mempengaruhi ilmu. Elit politik
yang cenderung menginginkan homogenisasi mengaburkan orientasi pengetahuan.
Pengetahuan sosial menjadi tidak berbasis pada kerakyatan tapi pada apa yang
diinginkan. Demikian yang seperti itu terjadi di Indonesia meskipun jelas hal
itu berbahaya.
Sekadar bercerita, di India, ilmuwan
sosialnya memrotes keras kolonisasi pengetahuan oleh Barat. Protes tersebut
mereka lakukan setelah sekian lama mereka mempelajari dan menguasai semua
pengetahuan yang berasal dari Barat. Setelah menguasainya, mereka pun mendapati
banyaknya kelemahan-kelemahan dalam keilmuan tersebut. Kelimuan yang terus
dipaksakan Barat untuk dipercayai sebagai sesuatu yang benar (yang ilmiah, pen.)
oleh bangsa lain itu ternyata juga cacat.
Protes terebut dilancarkan mereka
dengan menerbitkan karya-karya anti-kolonial. Mereka menciptakan madzhab baru
dan membuat Historiografi Sub-Altern, Sejarah Orang-orang yang Terpinggirkan.
Mereka membuat sejarah orang-orang
yang tidak disebutkan dalam sejarah sebelumnya. Mereka menyebutkan sejarah
orang-orang yang luput dari kaca mata ilmu kolonial. Mereka tidak menulis
sejarah dari catatan tertulis yang menurut Barat sebagai dokumen primer dalam
sejarah. Akan tetapi mereka menggunakan kesaksian sebagai sumber primernya.
Sumber sejarah mereka adalah narasi-narasi yang diceritakan orang: ingatan
kolektif, tradisi lisan, cerita rakyat, dll.
Sontak, penggunaan kesaksian
sebagai sumber sejarah pun menuai perdebatan banyak ilmuwan. Utamanya ilmuwan Madzhab
Barat yang mempertanyakan otentitas dan kepresisian kesaksian dalam menangkap
realitas kesejarahan. Lalu, ilmuwan sosial Madzhab India pun membalik
pertanyaan ilmuwan Barat dengan menanyakan hal yang sama terhadap catatan
tertulis: “Adakah catatan tertulis menghadirkan realitas secara presisi, persis
sama dengan realitas itu sendiri?” Jawabannya tentu saja tidak. Dan dengan
begitu runtuhlah semua dalil ilmiah yang selama ini menjadi pondasi pengetahuan
Barat.
Nyatanya tidak ada sesuatu apapun
yang diciptakan manusia itu persis sama dengan realitas. Realitas selalu binal,
plural dan ambigu. Dia tidak bisa dihadirkan dalam tulisan, ucapan, foto,
rekaman audio, ataupun rekaman audo-visual. Karena setiap manusia sudah
mempunyai “kaca mata” sendiri-sendiri dalam menangkap realitas dan hasil pembacaannya
pun menjadi subjektif. Realitas memang objektif hanya saat ada di dalam
dirinya, akan tetapi akan menjadi tidak objektif saat bercampur dengan subjek. Jadi
apa yang orang Barat tulis, rekam dan kaji bukanlah perwakilan dari realitas an
sich. Tapi dia muncul sebagai pengetahuan yang melekat dengan subjeknya.
Dan setiap manusia dan bangsa berhak menjadi subjek bagi pengetahuan akan
realitasnya sendiri.
Dari situ, kiranya perlu ada pengembangan
pengetahuan yang terlepas dari kolonisasi pengetahuan manapun, terutama
pengetahuan Barat. Ilmuwan-ilmuwan Indonesia harus meninggalkan tradisi
kelimuan lama dan segera bergegas membangun pengetahuan, teori dan metodologi
kelimuan yang berdasar atas realitas keindonesiaan. Pengetahuan yang merdeka
dan memerdekakan, bebas dari penguasaan pikiran dari bangsa manapun.
Tentunya hal seperti itu tidak akan terwujud, jika akademisi Indonesia tidak mau turun gunung dan menceburkan diri ke lumpur-lumpur sawah yang kotor. Kemerdekaan pengetahuan itu tak akan terjadi jika pendidikan dikhususkan bagi anak bangsa yang belajar di sekolah untuk bisa bekerja di pabrik. Kemandirian pengetahuan itu pun tidak akan bisa terwujud bila kita malas membaca, malas berdiskusi, malas meneliti dan abai terhadap masalah-masalah ril yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ayo, saatnya membebaskan pengetahuan Indonesia dari tangan-tangan kolonial. Wallahu a'lam bi ash-shawab. ***
Comments
Post a Comment