![]() |
Ibu Sinta Nuriyah saat di Klenteng Talang, Rabu 2 Juli 2014. |
MENJELANG azan Maghrib berkumandang, orang-orang
berduyun-duyun datang dan berkumpul ke dalam satu majelis. Di antara mereka ada yang memakai kopiah, ada
yang berkerudung, ada yang bermata sipit dan ada yang begitu renta dan lusuh.
Pun juga, ada yang berbaju merah, hijau,
putih, hitam dan warna-warni lainnya dengan motif yang berbeda-beda.
Di tengah kerumuman, hadir sosok yang sudah tentu dikenali
hampir semua orang. Dialah istri mendiang KH Abdurahman Wahid atau yang biasa
akrab dipanggil Gus Dur, Ibu Sinta Nuriyah Wahid. Sore itu, Ibu Sinta menjadi
saksi berkumpulnya warna-warni dalam satu tempat yang tidak cukup luas
menampung mereka.
Di halaman tempat ibadah bersejarah di Cirebon, Klenteng
Talang itulah, sekitar seribuan orang berkumpul. Mereka datang dari latar
belakang, suku, agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Ada yang beragama
Islam, Kristen, Katolik, Konghucu, Budha, Hindu dan sebagainya. Ibu Sinta
sepertinya mendapatkan kata yang tepat untuk menggambarkan suasana sore yang
tampak semarak tersebut.
“Saya bahagia dan terharu karena saya melihat Indonesia yang
sesungguhnya. Begitu indahnya pelangi
Nusantara hingga membuat saya terharu,” ungkap Ibu Sinta diiringi senyum khasnya, Rabu 2 Juli 2014.
Pelangi Nusantara yang dikatakan istri dari Bapak Pluralisme
Indonesia ini mungkin adalah sejenis anyaman perbedaan yang motifnya begitu
indah. Perbedaan yang akrab dan intim dalam keseharian masyarakat Indonesia.
Ada Suku Jawa, Sunda, Batak, Dayak, etnis Cina, India, Arab. Ada yang beragama
Islam, Kristen, Katolik, Konghucu, Budha, Hindu, Baha’i dan lain sebagainya.
Semuanya ada di Indonesia.
Lebih lanjut Ibu Sinta menggambarkan, Pelangi Nusantara itu
harus dijaga, karena menjadi kekuatan sesungguhnya bagi Indonesia. Andai satu
saja warna dalam pelangi tersebut dihilangkan, tentu Indonesia tidak akan indah
lagi. Semua yang berbeda itu indah dengan bersatu. Dan perbedaan masyarakat
Indonesia akan indah dan kuat saat semuanya bersatu dalam ikatan persaudaraan
sebagai sesama warga negara Indonesia. Bukankah, Nusantara sendiri adalah
harmoni dari semua warna yang berbeda-beda?
Piwulang agung tentang pelangi Nusantara itu tidak pernah
bosan dituturkan berulang-ulang oleh Ibu Sinta. Kalau tidak salah, sudah tiga
Ramadan, beliau hadir di Cirebon untuk berbuka dan sahur bersama masyarakat.
Tentunya bukan sekadar makan dan minum belaka. Jauh-jauh datang dari Jakarta,
beliau hanya ingin kembali menyampaikan sebuah pesan puasa. Sebuah makna yang
harusnya semakin mengokohkan persaudaraan bangsa Indonesia dan seluruh umat
manusia.
“Puasa mengajarkan kepada kita tentang kesabaran, kejujuran,
keadilan, saling mengasihi, saling membantu, tidak boleh mengambil hak orang
lain dan sebagainya. Dengan puasa, kita bisa merasakan bagaimana rasanya
saudara kita yang kurang beruntung mencari sesuap nasi dalam keadaan lapar,”
tuturnya.
Nurani kita pun pada akhirnya tergugah dan akal kita sadar
sepenuhnya, Ibu Sinta mengingatkan kita bahwa puasa dapat semakin mempererat
jalinan warna-warni Indonesia dalam satu harmoni, pelangi Nusantara.***
Comments
Post a Comment