![]() |
Ilustrasi: kanisiusmedia.com |
ORANG-orang menyebutnya Gagak
Ngampar. Pikirku nama yang aneh. Tapi mungkin lazim di zaman itu menyebut seseorang
dengan nama-nama hewan. Seperti nama Hayam Wuruk ataupun patihnya, Gajah Mada;
juga Walangsungsang.
“Gagak artine manuk gagak lan
ngampar iku maksude menclok ning lema, ndarat,” kata salah seorang tetua
kampung. Namanya Bapa Sutur.
Bapa Sutur begitu fasih jika
bercerita mengenai asal-usul dan legenda Desa Kertasura. Meskipun penglihatannya
terbatas, otaknya seperti alat penyimpanan semacam hardisk. Di dalamnya
bersemayam legenda-legenda yang ada di Cirebon pra-Islam berusia ratusan tahun.
Cerita yang ditakdirkan untuk menunggu waktu sebelum akhirnya lenyap dimakan
usia.
Meski beberapa puluh tahun yang lalu Bapa Sutur telah mangkat, tetapi orang-orang di kampung masih meyakini bahwa nenek moyang mereka adalah Gagak Ngampar, seorang petapa. Mereka percaya itu karena terlalu sulit untuk menjelaskan bahwa bisa jadi nenek moyang mereka bukan dia, atau paling tidak bukan seorang diri. Tapi mereka yakin dan keyakinan itu hidup menembus waktu dari generasi ke generasi.
Meski beberapa puluh tahun yang lalu Bapa Sutur telah mangkat, tetapi orang-orang di kampung masih meyakini bahwa nenek moyang mereka adalah Gagak Ngampar, seorang petapa. Mereka percaya itu karena terlalu sulit untuk menjelaskan bahwa bisa jadi nenek moyang mereka bukan dia, atau paling tidak bukan seorang diri. Tapi mereka yakin dan keyakinan itu hidup menembus waktu dari generasi ke generasi.
Keyakinan itu menjadi semakin
kokoh ketika mereka mengingat peristiwa ajaib yang terjadi di tahun 1996. Mereka
semakin yakin bahwa Gagak Ngampar benar-benar pernah hidup di atas tanah yang
dipijaknya. Keyakinan itu meluluhlantakkan segala klaim ketepatan dari pemuja catatan
dan prasasti.
Legenda menjadi semakin nyata
tepat dua tahun sebelum Presiden Soeharto lengser. Waktu itu Jalan Raya
Cirebon-Indramayu via Karangampel dilebarkan dari dua jalur menjadi empat
jalur.
Konon katanya, salah seorang
operator alat berat mengalami kejadian aneh saat membuat jembatan Karangsambung, sekarang masuk Kecamatan Suranenggala. Mesin alat berat selalu mati saat berada di
lokasi tersebut. Sedari pagi mesin dicek dan diperbaiki hingga siang, sore,
malam, besok pagi hingga sore lagi, masih juga tak mau bekerja.
Gegerlah seluruh masyarakat dan
media massa waktu itu. Hal ganjil terjadi di tengah proyek jalan nasional. Tak
lupa, para jurnalis memberitakan lengkap dengan bumbu mistisnya. Sebagai
pemanis berita-berita dari daerah yang katanya terbelakang karena jauh dari
kota.
Hingga malam kedua sejak mesin
mati, operator alat berat mengaku bertemu dengan seorang raksasa. Bentuknya
aneh. Tapi raksasa itu, kata dia, mengaku sebagai nenek moyang dari orang-orang
yang berada di daerah tersebut, nenek moyang masyarakat di sekitaran Kali
Karangsambung.
Seperti kisah dalam dongeng,
raksasa Kali Karangsambung itu berpesan kepada operator beko bahwa dia bisa saja melanjutkan
pekerjaannya jika bersedia membawa seorang keturunan dari menantunya ke Kali
Karangsambung, untuk matur kepadanya. Menantu yang dia maksud tak lain adalah
Gagak Ngampar.
*****
Pagi baru menjelang, Bapa Sutur
menyalakan klobot jagung yang sebelumnya sudah dia linting tujuh belas kali.
Jumlahnya harus pas tujuh belas agar lilitannya sempurna. Cara melinting juga
harus searah biar klobot tidak berantakan.
Menikmati lintingan klobot dan
segelas besar tebruk sudah menjadi rutinitas Bapa Sutur setiap hari. Rutinitas
yang sama bagi sebagian besar masyarakat kampungnya. Mereka setia dengan klobot
jagung Cap Gareng, Cap Petruk atau Cap Semar. Karena memang lebih enak
dibandingkan kretek. Enak di mulut dan enak di kantong. Klobot jagung rasanya juga
lebih manis dan asapnya tidak terlalu banyak. Besar kecilnya kolobot juga bisa
disesuaikan sesuai selera.
Kenikmatan nyeret klobot pagi
itu buyar seiring kedatangan seseorang dengan dandanan necis. Kalung besi
melingkar di lehernya. Kulitnya hitam pekat lengkap dengan kacamata hitam. Senada
dengan rambutnya yang kusut masai.
Tapi tamu tetaplah tamu, selain
dipercaya bisa memperbanyak rizki, tamu juga dipercaya mencitrakan tinggi
rendahnya kedudukan sosial seorang tuan rumah.
“Ini rumahnya Bapa Sutur?” tanya
Necis ragu.
“Iya bener, kula
Bapa Sutur. Pekara sapa? Bapa Sutur bertanya balik. Necis tersenyum
puas.
Tanpa komando, Necis menceritakan
bagaimana dia dan anak buahnya, pemborong proyek jalan mengalami peristiwa
ganjil di Kali Karangsambung. Tak secuil pun adegan keanehan itu tak dia ceritakan
kepada orang tua itu. Mulai dari matinya mesin alat berat, beberapa anak
buahnya yang kerasukan, teriakan tanpa wujud hingga mimpi bertemu dengan
raksasa aneh.
“Oh mekonon tah? Ayo gage miyang,”
kata Bapa Sutur seolah dia sudah memahami apa maksud mandor proyek yang rela
datang pagi-pagi ke rumah orang tua reot sepertinya.
Sesampainya di tempat, Bapa Sutur
ditunjukan satu lokasi. Di tanggul Kali itulah kemudian kakek itu diam.
Pandangannya menerawang ke atas. Mulutnya terlihat merapal. Tidak lama, hanya
beberapa menit saja setelah itu dia rampung. Melihat hal itu, langsung saja
Necis memerintahkan anak buahnya menyalakan mesin. Mesin distarter dan bekerja.
“Bagaimana bisa?” pikirnya.
Melihat mesin kembali menderu,
mandor pun tertawa lega. Sesekali dia perhatikan Bapa Sutur yang masih termangu.
Sekelebat kemudian, mukanya memucat dan kelopak matanya sedikit membiru. Mulutnya
komat-kamit dengan cepatnya, sepintas terdengar suara keluar dari mulutnya, ”Poma
sing nurut karo wong tua.” Bapa Sutur pingsan.
Suasana pun riuh. Beberapa warga
tergopoh-gopoh mengangkat tubuh kakek itu dari tanggul untuk kemudian
mengantarkan ke rumahnya.
*****
Lantunan gamelan sayup-sayup
terdengar di telinga, iramanya cepat dan tegas tapi tetap membuat hati terlena.
Melembut. Melunak. Mengajak hati menari bersama liukan angin laut dari Timur. Aku
menari bersama daun dan ranting pohon Siwalan.
Tempo irama meningkat, aku pun
ikut berjingkrak, menerjang segala yang ada di sekeliling. Menyikut dan menendang.
Sesekali kusempatkan berlari lalu berhenti dan diam. Setelah itu kembali
meliuk-liuk seirama suara yang keluar dari saron dan bonang. Teduh dan
menenangkan.
Lalu kemung ditabuh para nayaga dengan
cepat, berikutnya kendang lalu kecrek pun menyusul dengan tempo yang padu dan
saling melengkapi. Serbuannya tak kuasa membuatku kembali menggelora, menggila
dan berjangkit penuh tenaga.
Hingga terakhir kudengar suara
gong, ”Goooong.” Pertunjukan pun usai.
“Woi tangi, wis pragat,”
kata seorang teman yang duduk di sampingku. Mataku terbuka perlahan, nampak sebatang
daun weringin jatuh perlahan dan berakhir tepat di atas terpal biru.
Terpal itu menjadi peneduh bagi sebuah grup wayang cepak yang membawakan lakon
semalam suntuk. Di sebuah alun-alun di depan pesarean Ki Mantri, orang-orang
berdesakan. Mengantre untuk pulang setelah pagelaran selesai. Rupanya aku tertidur
pulas di tengah pertunjukan. Sambil berselimut sarung, aku terlelap. Semakin
lelap karena terbuai hangat penonton yang duduk berdesak dan berserak-serak.
Meski masih bingung dengan berbagai
adegan yang baru saja terjadi, aku pun melangkah pulang. Tak menghiraukan
anak-anak kecil dan remaja tanggung yang berebut aneka makanan dan minuman yang
menggantung di depan panggung wayang. Sambil berjalan, ku ingat-ingat lagi yang
sempat kukenal barusan.
“Namanya Gagak Ngampar,”
batinku. Kusimpan tanda itu dengan rapi. *****
Comments
Post a Comment