![]() |
Peta Jawa Barat |
SEPERTI tak
pernah habis, wacana perubahan nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi
Pasundan terus bergulir. Sebelumnya saya juga pernah menulis di HU Fajar
Cirebon untuk mengomentari wacana yang sama. Saat itu, 9 November 2012, Forum
Diskusi “Nyaah Ka Dulur” bekerjasama dengan Dewan Guru Peguron Silat Tajimalela
dan Komunitas Mimbar Dhuafa menggelar diskusi “Kajian Manfaat Pergantian Nama
Provinsi dengan Nama yang Lebih Nyunda” di Gedung Indonesia Menggugat Jalan
Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung.
Dalam diskusi itu, Seniman Adjie Esa Poetra mengatakan bahwa
nama Provinsi Jawa Barat tidak senapas dengan nama komunitas, kebudayaan dan
potensi lokal genius masyarakatnya. Menurutnya, nama Jawa Barat sama sekali
kurang mencerminkan identitas masyarakatnya. Senada, Dede Mariana, Guru Besar
Ilmu Pemerintahan Unpad, mengatakan bahwa pergantian nama provinsi merupakan
politik identitas yang di baliknya ada harapan muncul eksistensi, harga diri
dan spirit baru.
Yang mutakhir, 4 Agustus 2015, tim pengkaji perubahan nama
Provinsi Jawa Barat mendatangi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), Yuddy Chrisnandi. Dalam pertemuan tersebut,
Yuddy menyambut baik aspirasi perubahan nama Provinsi Jawa Barat menjadi
Provinsi Pasundan, meski dia juga mengatakan bahwa ide tersebut tidak terlalu
massif digaungkan masyarakat sehingga urgensinya tidak nampak.
Adapun mereka yang mengusulkan perubahan nama provinsi
tersebut yakin bahwa masyarakat Sunda semakin kehilangan jati diri. Secara
geografis, menurut mereka, posisi Jawa bagian barat lebih tepat dialamatkan ke
Provinsi Banten ataupun Jakarta. Koordinator tim, Aji Saputra, bahkan
mengatakan bahwa dulu nama (Provinsi Jawa Barat) pernah jadi Tatar Sunda, lalu
menurutnya diubah oleh Belanda menjadi West Java. Perubahan nama menjadi
Provinsi Pasundan menurutnya dilakukan agar identitas masyarakat Sunda tidak
luntur.
Pernyataan Aji Saputra ini tak lain merupakan klaim yang
berdasar pada ego-sektoral, tidak obyektif sama sekali. Sejarah mencatat,
Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang di dalamnya terdapat banyak budaya,
bukan hanya satu macam saja. Kalau kita mengacu pada Peraturan Daerah (Perda)
Jawa Barat No. 5 Tahun 2003, paling tidak ada tiga suku asli di Jawa Barat
yaitu Suku Cirebon yang berbahasa Bahasa Cirebon (dengan keberagaman
dialeknya), Suku Betawi yang berbahasa Melayu dialek Betawi, dan Suku Sunda
yang berbahasa Sunda.
Dalam sejarah pembentukan Provinsi Jawa Barat berdasar UU no
11 tahun 1950 tertanggal 4 Juli tahun 1950 yang ditetapkan pada waktu itu di
Yogyakarta memutuskan dua hal penting yang perlu dicatat, diberi garis miring
dan catatan tebal. UU itu memutuskan bahwa pertama, menghapuskan Pemerintahan
Daerah Karesidenan Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, dan Cirebon, serta
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) karesidenan-karesidenan
tersebut; Kedua, menetapkan pembentukan Provinsi Djawa Barat.
Jadi, sepanjang sejarah republik ini, Jawa Barat adalah nama
pertama untuk sebuah provinsi yang merupakan fusi dari beberapa keresidenan
peninggalan Belanda. Tidak ada nama lain sebelum itu. UU yang ditetapkan oleh
Menteri Dalam Negeri, Soesanto Tirtoprodjo, dan Menteri Kehakiman, A.G.
Pringgodigdo, tersebut memang sudah banyak berubah, terutama karena sekarang
Jakarta dan Banten sudah menjadi provinsi yang terpisah dari Jawa Barat. Tapi,
dalam UU ini masih menyuratkan daerah lain seperti Cirebon dan Bogor yang tidak
boleh dikesampingkan eksistensinya.
Dari sini kita memahami bahwa nama Provinsi Jawa Barat
memang tidak lahir dan tidak untuk dilahirkan sebagai pengejawantahan dari nama
suku-suku yang ada di dalam wilayahnya. Jika orang-orang Sunda itu tetap
menggulirkan wacana perubahan nama provinsi, maka ada beberapa kemungkinan yang
sedang dan akan terjadi di Jawa Barat.
Kemungkinan pertama, Provinsi Jawa Barat berganti nama
dengan Cirebon dan Bogor di dalamnya.
Hal itu bisa terjadi karena ada payung
hukum yang mengaturnya yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 30 tahun 2012
tentang Pedoman Pemberian Nama Ibu Kota, Nama Daerah dan Pemindahan Ibu Kota.
Akan tetapi, kemungkinan ini bisa terwujud dengan catatan nama provinsi yang
baru mengakomodir semua unsur etnis yang ada di dalamnya. Sebab jika tidak,
tentu etnis lain selain Sunda akan memisahkan diri dan membentuk provinsi baru.
Dalam hal ini, Menteri PAN-RB, Yuddy Chrisnandi, mencoba
memberikan usulan nama yang lebih netral dibandingkan nama Provinsi Pasundan.
Harapannya, semua etnis bisa terakomodir. Menteri mengusulkan nama Jasun
(mungkin singkatan dari Jawa-Sunda), Sunda-Jabar, Parahyangan-Jabar atau
Pasundan-Jabar.
Tapi usulan dari menteri ini juga bukan solusi karena tidak
akan ada satu etnis pun yang akan setuju sebab selain nama tersebut terdengar
aneh, ahistoris, juga karena terkesan terlalu memaksakan diri.
Kemungkinan kedua, mengganti nama provinsi dengan nama
Pasundan atau nama lain yang nyunda. Jika benar terjadi maka bisa hampir pasti
semua etnis lain di Jawa Barat selain Sunda akan berbondong-bondong
mendeklarasikan provinsi sendiri-sendiri, Provinsi Cirebon contohnya. Atau
kemungkinan ketiga terjadi dan tidak ada perubahan nama provinsi sama sekali.
Masalah Kebudayaan
Di luar segala kemungkinan di atas, bisa pula terjadi berbagai skenario lain dan dinamika tak terduga di Provinsi Jawa Barat yang multi-etnis ini. Akan tetapi, dari sekian puluh tahun polemik ini bergulir, terpancar rasa takut yang begitu dalam. Sebagian orang yang memegang adat dan tradisi lokal takut kebudayaan masa lalu hilang di tengah pembentukan budaya baru, budaya nasional. Belum lagi serangan budaya Barat yang gencar di bawah payung globalisasi.
Pendapat Raymond Williams dalam bukunya Culture barangkali
bisa menjadi titik pijak yang mampu menjelaskan masalah ini. Dia mengatakan
bahwa sosiologi budaya terdiri dari tiga komponen pokok yakni lembaga-lembaga
budaya, isi budaya dan efek budaya (berupa norma-norma). Ketiga komponen pokok
ini selalu ada di setiap fase kebudayaan. Dengan dasar teori tersebut, bisa
kita tafsirkan bahwa pasca republik, kita masih memiliki (sisa) isi budaya dan
norma-norma kebudayaan masa lalu, akan tetapi sudah tidak memiliki lembaga
budayanya sama sekali.
Sebab, kerajaan –secara struktural- telah kehilangan
fungsinya sebagai lembaga sosial-budaya, digantikan oleh Pemerintah melalui
kementerian dan dinas berwenang. Kuntowijoyo pun pernah mengatakan bahwa
kebudayaan dapat menjadi tidak fungsional jika simbol dan normanya tidak lagi
didukung oleh lembaga-lembaga sosialnya atau oleh modus organisasi sosial dari
budaya itu.
Jadi, disadari atau tidak, hari ini kita mendapati perubahan
sosial-budaya dari yang berlandaskan pada tata kehidupan kerajaan menjadi
republik sudah selesai secara politik, tapi belum selesai sepenuhnya secara
kebudayaan. Kita juga mengetahui, di Indonesia hari ini terjadi kesenjangan
antara kultur dan struktur yang saya kira belum di(selesai)kan sepenuhnya.
Kuntowijoyo menyebutkan ada anomie, ada yang tidak beres dalam alam kebudayaan
kita saat struktur masyarakat berubah begitu cepat, tetapi kulturnya begitu
lambat, bahkan tak bisa mengikuti.
Efek perubahan budaya itu banyak, tapi sedikit di antaranya
yakni muncul atavisme dari golongan kultur lama yang mengambil bentuk dengan
wacana dan gerakan-gerakan bernuansa romantisme. Mereka bimbang dalam kekinian.
Tapi setelah mendapatkan kepercayaan dirinya, mereka lebih berani menggugat
kekinian dan menuntut kehidupan agar sesuai dengan bentuk-bentuk keluhuran masa
lalu. Padahal, lembaga-lembaga sosial dan budaya kekinian amat berbeda
dibandingkan dengan masa lalu.
Menurut hemat saya, sudah saatnya kita menyadari bahwa
menjadi Indonesia adalah kerelaan, rela untuk taat secara politik juga rela
secara budaya. Kita harus terbuka untuk menerima segala perubahan dalam alam
kebudayaan kita dan seiring sejalan dengan kebudayaan baru tanpa harus
meninggalkan nilai-nilai lama yang baik. Ingat, sejarah peradaban manusia
mencatat, bukan yang paling kuat yang akan bertahan tapi yang paling mampu
beradaptasilah yang bisa melewati setiap perubahan. Wallahu a’lam bishshowab.***
Comments
Post a Comment