![]() |
Ilustrasi tari topeng kelana. Sumber: actanesia.com. |
SENI bisa
diibaratkan seperti barang antik yang cantik. Dia mengeluarkan cahaya berkilauan,
memukau semua mata yang melihatnya. Tetapi, keindahan seni sendiri bisa jadi
hanya keindahan artifisial yang selesai di tataran memuaskan syahwat. Di sisi
lain, dalam tataran yang lebih dalam, seni sejatinya amat erat kaitannya dengan
budi dan akal manusia, buddhayah.
Paradoks itu mungkin saja terjadi, setidaknya
hal itu bisa terasa saat melihat perbedaan ekstrem antara seni popular dan seni
tradisi. Dalam hal ini seni popular merupakan pengaruh kebudayaan barat,
sementara seni tradisi merupakan seni yang tumbuh dari kebudayaan Indonesia.
Bagi orang Timur, budaya yang berasal dari
kata jamak buddhayah (singular: buddhi) lebih menekankan bahwa proses kebudayaan
–dan seni di dalamnya- merupakan proses holistik manusia. Dalam hal ini, proses
kebudayaan merupakan wujud upaya manusia untuk memaknai kehidupan ke arah
dalam, keilahian.
Sementara bagi orang Barat, budaya (culture) berasal dari bahasa latin colere yang bermakna mengolah tanah atau
bekerja. Tidak heran jika kemudian para ilmuwan Barat, seperti Cornelis
Anthonie van Peursen, lebih memilih mendefinisikan kebudayaan sebagai hal yang
berkaitan dengan segala aktifitas dan kerja manusia dalam upayanya mengatasi
kesulitan hidup.
Seni sebagai bagian tidak terpisahkan dari
budaya, tentu saja akan berbeda sesuai dengan daerah dimana pun dia lahir.
Sepintas, tentu perbedaan itu bisa dilihat dari bagaimana mistis-nya suasana
saat menyaksikan tari topeng Cirebon. Kualitas batin serupa yang tidak
didapatkan ketika melihat tari kontemporer.
Perbandingan di atas sebagai
ilustrasi sederhana saja tanpa maksud mengerdilkan satu dari yang lainnya.
Hanya saja, kesadaran kebudayaan tidak cukup diraih hanya sebatas dengan
kepedulian pelestarian kesenian atau peninggalan budaya belaka. Lebih jauh,
kesadaran harus dibangun juga beserta pengetahuan dan nilai luhur yang
tersimpan di dalamnya.
Hal itu penting, mengingat orang kebanyakan sudah
mulai melihat seni tradisi hanya sebagai ajang tontonan, yang lain berpandangan
seni tradisi tidak lebih dari artefak, dan yang lainnya lagi seni tradisi
adalah benda mati, barang usang peninggalan masa lalu. Jadi seolah berlaku
pameo: di jaman ini, tidak ada gunanya menggeluti dan melirik seni tradisi.
Meskipun ada satu-dua yang masih berdiri pada bumi sendiri, meskipun ringkih.
Bahkan sulit dipungkiri, seni tradisi kini
kebanyakan hanya mampu hidup (dan dihidupkan) saat mewujud sebagai manik-manik
kapitalisme. Seni pun 'digubah' untuk memenuhi singgasana pasar. Hasilnya,
sukses besar tanpa kebermaknaan sama sekali. Keindahannya hanya sampai di mata,
tapi tidak sampai turun ke hati.
Meskipun demikian, rasa hormat yang sangat
besar adalah bagi mereka para seniman tradisi yang masih memegang teguh
prinsip-prinsip serta pepakem yang
sesuai dengan kearifan lokal Cirebon. Seribu kali pujian juga bagi mereka, para
seniman yang gigih mengembangkan aspek pengetahuan, filsafat serta teknik seni
tradisi yang semakin mengukuhkan betapa kayanya kebudayaan Cirebon.
Kolonisasi
Hingga ke Hati
Syahdan di zaman dulu, para penjajah belajar
banyak hal tentang pengetahuan bangsa kita untuk bisa menaklukannya,
menjajahnya. Atas dasar alasan yang sama, penjajah Belanda juga melakukan
kolonisasi terhadap bangsa kita. Berbarengan dengan politik etis yang
menggembirakan, turut juga di dalamnya misi penjajahan kebudayaan.
Semua itu berjalan beriring dengan stigma
yang terus digalakan kolonial Belanda, bahwa semua yang berasal dari Barat itu
bagus dan yang pribumi itu jelek, termasuk manusianya. Sadar atau tidak,
sebenarnya mereka sedang mengoloni bangsa kita. Menjajah secara budaya.
Kita diajarkan untuk membenci diri kita
senidri. Mata, kulit rambut, seni kita, rumah kita, tanah dan air kita. Kita
yang kaya, pandai dan berbudaya seperti kisah atlantis itu dipaksa untuk
mengakui bahwa kita tidak lebih dari makhluk tidak beradab.
Cara berpakaian
kita dihinakan, padahal itu merupakan cara kita menghormati alam. Cara
beribadah kita dicarikan lawan, dengan meneliti dan mendatangkan dari daerah
pusatnya. Cara makan kita dianggap jorok padahal penelitian membuktikan di
tangan manusia ada bakteri baik. Dan masih banyak lagi, dan kita mengangguk
saja.
Cara tes bahwa di pikiran kita sudah
terkoloni mudah saja. Masih banyak tersimpan di akal masyarakat bahwa tidak mungkin
ada bule jadi babu, tidak ada bule nyopet.
Padahal, di saat yang sama kita masih memegang teguh bahwa semua manusia
setara.
Bahkan, menurut peneliti penulis Atlas Walisongo yang terkenal itu,
Agus Sunyoto, bule di zaman dulu banyak yang dijadikan pembantu dan tukang
bangunan. Orang asing berada di struktur yang lebih rendah dari seorang sudra.
Catatan sejarah juga membuktikan demikian.
Jadi tidak ada salahnya mengagumi segara
kecemerlangan bangsa kita dengan kembali melirik seni tradisi karena dia adalah
kristalisasi budaya, dan budaya selalu adalah kristalisasi dari cipta rasa dan
karsa manusia. Menggeluti seni tradisi berarti juga menggeluti kristal-kristal
penuh makna yang menjadi simbol dan tanda kehidupan dan seluruh pranata nilai
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Menggeluti seni tradisi berarti juga
menemukan diri sendiri yang berada dan hidup serta dalam ruang dan waktu
tertentu. Tidak ada manusia hidup dalam dirinya yang otentik tanpa melihat
dalam dunia macam apa dia hidup. Nilai, tradisi dan pranata budaya macam apa
dia hidup dan berkehidupan.
Jadi menggeluti seni, adalah kegiatan mengenali diri, bercermin.
Melihat diri sendiri melalui kaca “seni tradisi”. Dari seni tradisi kita bisa
melihat gambaran diri seutuhnya. Tentu dengan kelebihan dan kekurangannya, kita
masih akan tetap tersenyum. Meskipun bentuk diri kita cemong, muka kita
coreng-moreng kita bisa tetap tersenyum dan yakin karena yang cemong itu diri
kita sendiri, bukan orang lain dan tidak ada keinginan menjadi yang liyan.***
Comments
Post a Comment