Skip to main content

Kapal, Njaluk Duite!

Ilustrasi

ADA beberapa kebiasan di masa kanak-kanak yang kalau teringat, saya kerap kali tertawa sendiri. Waktu masih seusia anak sekolah dasar, saya dan teman-teman riang betul saat ada kapal mabur (pesawat terbang) yang kebetulan melintas di atas langit.

Kadang ada pesawat yang terbang tinggi hingga kelihatan kecil, kadang ada pula yang terbang agak rendah sehingga terlihat lebih besar. Kadang ada pesawat yang terlihat tak berasap, tapi kadang pula ada yang mengeluarkan asap dari ekornya. 

Betapa nikmat memandangi asap pesawat yang kian lama terus mengembang dan menghilang perlahan-lahan. Seperti bentangan coretan putih di papan tulis berwarna biru. Bila malam hari kebetulan pesawat yang lain lewat, tentu kelap-kelip lampunya juga menarik perhatianku.

Tapi dari sekian ketakjuban, kegirangan yang sangat itu tak lain karena cerita-cerita yang terdengar di telinga bahwa pesawat yang lewat hanya punya satu tujuan: menebar uang kepada para penduduk bumi. Entah dari mana cerita itu berasal muasal. Yang pasti saat itu, saya percaya, teman-temanku juga. Pesawat yang terbang di langit selalu membawa harapan bagi kami, anak-anak Pantura. Harapan untuk hidup yang lebih baik.

Di kampungku, Desa Kertasura Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, setiap kali ada pewasat terbang, anak-anak kecil, termasuk saya, terkadang ada juga orang dewasa, selalu berteriak “Kapal, njaluk duite! Kapal, njaluk duite!”

Tak cukup sekali atau pun dua kali, tapi teriakan itu berulang kali keluar dari mulut. Yang lucunya, waktu itu saya benar-benar memelas. Sepenuh hati sangat berharap dari dalam pesawat akan keluar uang, dan jatuh ke bawah untuk kami perebutkan.

Aku ingat betul, tiap kali ada pesawat melesat di atas ubun-ubun, anak-anak kecil berlarian mengikuti arah terbangnya pesawat, melewati rumah, pekarangan, blok demi blok, hingga kakinya yang kecil tak mampu lagi mengejar jet terbang itu. 

“Tak apa, besok akan kutunggu lagi pesawat yang lain. Barangkali ada yang lewat dan benar-benar menaburkan uang,” batinku.

Sekarang, keluguan dan kegilaan semacam itu sudah tak saya temui. Mungkin karena zaman sudah berubah. Cerita-cerita aneh dan irasional sudah tak lagi didongengkan orang tua kita yang saban sore sibuk menonton sinetron yang menceritakan gaya hidup orang-orang kota. Sejak saat itu, sejak saat televisi ada di setiap rumah, cerita tentang sebuah pesawat yang menebar banyak uang dan legenda-legenda tokoh serta sejarah desa lenyap sudah.

Banyak orang yang mengatakan, kini zaman sudah lebih maju. Tak ada lagi nasi aking, cengkaruk, gadung atau gaplek. Kini kita, orang-orang Cirebon, banyak yang menjadi lebih kaya dan bisa membeli apa saja yang dimau. Mangan lan jajan ora pernah ketriwal. Nikmat ini patut disyukuri, bukan?

"Kien zaman wis modern," kata salah seorang temanku.

Sayangnya, nilai-nilai dan kearifan lokal juga menguap berbarengan dengan datangnya kemodernan. Kita mulai berlomba meraih puncak kenikmatan dunia dan mengejar kebendaan. Meski tetap miskin, kita sekarang lebih suka yang instan, gampang tapi yang sekiranya dapat menghasilkan banyak uang. 

Kebanyakan dari kita tak mau dibayar murah meski mereka tak bisa dipercaya dan diandalkan. Mekaya yang merupakan serapan dari makarya (berkarya) berubah makna menjadi sekedar bekerja untuk mencari kekayaan. Kita lebih suka mencari kesenangan dan untuk ongkosnya kita tak segan meninggalkan keadaban yang sudah dibangun sejak masa Mbah Kuwu dan keponakannya. 

Rupa-rupanya, kita sudah tak lagi suka ke tajug untuk mengaji dan mengeja alif jabar a, alif jare i, alif pese u. Sudah lama tak mengeja realitas kehidupan seutuhnya dengan berfikir dan merasakan keseluruhan, harmoni alam dan manusia. Kita lebih suka membaca a, ba, ta. Katanya lebih instan dan lebih mudah. Tanpa peduli lagi bahwa yang berbunyi a adalah alif, yang lurus dan punya banyak cerita tentang kejujuran. Atau yang berbunyi ba adalah be yang bentuknya seperti perahu dan punya satu titik di bawah dengan segala filosofinya. Kita mengejar bentuk empiris yang nampak di permukaan tapi kerapkali lupa ruh dan akar.

Hingga pada suatu malam yang penuh bintang gumintang, saya kembali rindu masa lalu yang suram dan abu-abu itu. Entah kenapa, saya pun muak dengan segala rutinitas yang mekanistis, serba terukur dan ajeg. Saya sangat rindu ketidakajegan, ketidakpastian, ketakterukuran dan kegilaan. Saya kangen irasionalitas dongeng-dongeng yang membuat hidup lebih berwarna. Begitu pun, legenda yang secara tak sadar menciptakan kecerdasan menafsir para pendengarnya.

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: