Relief perahu di Candi Borobudur. Sumber: wikimedia.com. |
KEBUDAYAAN sering dimaknai
sebagai benda, artefak, semisal prasasti, monumen, keraton, gua, keris, batu
dan sebagainya. Padahal, artefak itu lebih menunjukkan arti sebagai jejak
kebudayaan. Ada juga yang beranggapan kebudayaan itu sama dengan kesenian.
Meskipun tidak sepenuhnya keliru, tapi antara keduanya tidaklah sama. Kesenian
lebih merupakan pewujudan yang indah dari proses kebudayaan sineasnya. Kesenian
hanya bagian kecil saja dari kebudayaan. Lalu apa kebudayaan itu sendiri?
Kebudayaan sulit dikenali, direpresentasikan
dengan bahasa dan ditentukan definisinya. Istilah kebudayaan selalu menunjuk
pada sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan dan bukan substansinya. Kesulitan
yang sama juga saat berusaha mendefinisikan “manusia”. Kebudayaan dan manusia selalu
liat, berlari, dan menghindar dari semua upaya akal untuk mengategorikannya
dengan rigid.
Meskipun
demikian, mengartikan kebudayaan diperlukan untuk mendekatinya secara keilmuan.
Peursen mengartikan dengan sangat umum dengan mengatakan bahwa kebudayaan sebagai
segala sesuatu yang berkaitan dengan upaya manusia mengatasi kehidupannya
(Peursen, 1988). Sedangkan karakter tempat yang berbeda membuat manusia
mempunyai watak dan karakter masing-masing.
Meskipun diperkirakan berasal dari
satu jenis, lamanya waktu membuat manusia berkembang, menempati satu daerah dan
mempunyai identitas yang berbeda-beda. Watak dan karakter itulah yang lebih
dekat ke makna kebudayaan dan jejaknya bisa dilihat dari identitas yang melekat
padanya, mulai dari bahasa, kesenian, warna kulit, suku, agama dan lain
sebagainya.
Orang Kepulauan dan Orang Benua
Argumentasinya
mungkin tidak terlalu ilmiah, tapi tawaran pemikian dari Primadi Tabrani
sepertinya dapat dijadikan pertimbangan berharga dalam membaca kebudayaan
manusia. Primadi mengatakan, secara garis besar, kebudayaan bisa dibedakan
dalam dua jenis, kebudayaan benua dan kebudayaan kepulauan.
Selanjutnya
dia mendeteksi, orang benua cenderung tidak bisa menerima perbedaan
dibandingkan dengan orang kepulauan. Orang benua selalu berfikir memusnahkan
“yang liyan”. Hidup bagi orang benua tidak akan tenang sebelum semua orang
adalah golongan “kita” atau masuk ke golongan “kita”.
Tidak heran
kemudian, peperangan menjadi hal yang lumrah bagi orang-orang benua. Bahkan,
pembantaian etnis pernah menjadi satu tujuan ideologi tertentu untuk memuluskan
tujuannya. Katakanlah Nazi di Jerman yang mengaku sebagai ras paling unggul di
dunia: ras Aria.
Dengan dalih menciptakan kedamaian di atas dunia, Nazi
berkeyakinan harus membantai habis ras pesaingnya: Yahudi, yang disebutkan di
dalam alkitab sebagai ras unggulan. Selain itu, mereka berkeyakinan bahwa
kedamaian bisa diwujudkan apabila sudah tidak ada lagi perbedaan di dunia.
Implikasinya, dunia yang damai harus satu warna, satu suku, satu agama,
monokultur.
Daratan bagi
orang benua adalah medan perang yang harus dikuasai sepenuhnya untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya. Kalau tidak, maka siap-siap saja untuk dilibas “yang
liyan”, pilihannya mati atau menjadi budak. Agresifitas mereka menaklukan
bangsa lain bersumber dari rasa takut terkuasai suku lain.
Di jaman
modern, keyakinan seperti itu masih tetap terpelihara dengan baik. Hal itu terlihat
saat orang-orang Eropa menemukan benua baru: Amerika dan Australia. Penduduk
asli kedua pulau tersebut seperti suku Indian, Aztek, Maya dan Aborigin
dibantai dan dimusnahkan.
Berbeda,
orang kepulauan tidak mempunyai kekhawatiran daerahnya dikuasai “yang liyan”.
Sebab, orang yang datang ke pulau pastinya baru saja melalui perjalanan yang
sangat melelahkan. Tidak mungkin juga orang yang dalam keadaan lemah itu
kemudian dicurigai akan mengusai si tuan rumah. Orang kepulauan selalu
mempunyai naluri bahwa siapapun yang datang ke pulaunya itu sebagai tamu yang
wajib dimuliakan. Makanya orang kepulauan terkenal sangat ramah dibanding orang
benua.
Melalui Laut
Jawa, orang-orang dari pulau-pulau di Nusantara melakukan transaksi dan
interaksi. Laut menjadi alat perhubungan antar-pulau. Dia menjadi lahan penyatu,
bukan patok pemisah. Laut, dengan begitu, menjadi lambang persatuan, bukan simbol
perbedaan. Oleh karenanya, penduduk di kawasan Nusantara menyebut negerinya itu
tidak dengan country, fatherland atau motherland akan tetapi “tanah air”.
Dari situ akan
sangat bisa dimengerti kenapa para founding
father kita sangat “ngotot” bahwa Nusantara itu bukan hanya daratannya
saja, akan tetapi juga lautnya. Mereka memahami dengan benar kearifan dan
pengetahuan Nusantara yang memandang bahwa laut bukan faktor pemisah akan
tetapi pemersatu.
Percaya (Kepada) Diri
Percayakah
bahwa legenda Ratu Laut Selatan merupakan bentuk tafsiran nenek moyang kita
untuk membuat peringatan dini terhadap tsunami? Iya, kita lupa ada legenda yang
mengatakan bahwa saat air laut surut sampai ke tengah laut itu pertanda Ratu
Laut Selatan akan membuncahkan kemarahannya dengan memuntahkan air ke daratan.
Legenda ini
sama dengan dongeng di masyarakat Mentawai. Dongeng itu mengemuka setelah orang-orang
yang masih percaya pada dongeng itu lari ke gunung dan selamat dari tsunami
persis sebelum air laut menggulung kampung. Mereka percaya, saat air laut surut
itu pertanda akan ada ombak besar yang akan datang.
Tapi kita
alpa saat tsunami di Aceh misalnya, alih-alih menyelamatkan diri, ketika air laut
surut, orang-orang justru berlomba menangkap ikan yang menggelepar di pantai.
Hasilnya, ribuan nyawa melayang karena “lupa” pada kearifan lokal yang penuh
makna.
Percayakah
bahwa rumah gadang atau rumah panggung merupakan hasil eksperimentasi nenek
moyang mengatasi banjir? Pernahkah terfikir, kenapa nenek moyang kita lebih
suka menggunakan kayu, bambu dan daun sebagai bahan baku membuat rumah
dibandingkan batu-batu pegunungan? Ya, nenek moyang bangsa Indonesia sadar
betul tanahnya itu labil, rawan bencana, seperti gempa, tanah retak, gunung
meletus dan sebagainya.
Itulah semua
merupakan bagian kecil dari kebudayaan orang kepulauan yang biasa disebut
Nusantara. Kebudayaan yang kian lapuk dan dipercaya oleh orangnya sendiri sebagai
bualan, omong kosong, mitos, dongeng dan sama sekali tidak ilmiah. Sebagai
bangsa terjajah, semua yang berkaitan dengan “diri” adalah inferior, rendah,
buruk, kampungan dan tidak beradab. Dan semua yang datang dari penjajah Barat adalah
yang terbaik, superior, bagus, indah dan beradab.
Badan kita
telah merdeka, tapi jiwa kita belum. Bangsa kita telah merdeka tapi kebudayaan
kita belum. Masih hangat diingatan, bagaimana kebudayaan bahari semakin
terenggut saat kolonial membangun jalur darat dan “memaksa” kita melupakan
laut. Masih ingat tentunya saat Jalan Raya Pos (Jalan Deandels) dan pembangunan
rel kereta super panjang dibangun dan bagaimana fungsi pelabuhan dan sungai
mulai memudar. Pelan-pelan, kesadaran Indonesia direnggut dari laut. Manusia
Indoensia lupa dan masih belum ingat siapa dirinya, siapa Nusantara? Wallahua’lam.***
Comments
Post a Comment