ADA yang unik tatkala manusia
percaya bahwa hanya dengan keadaan bebaslah dia bisa mencapai kemakmuran.
Kebebasan kemudian merasuk ke dalam setiap sisi kehidupan. Politik demokrasi
liberal, konsep kapitalisme pasar bebas, multikulturalisme dan pluralisme,
kebebasan beragama, kebebasan berekspresi dan berpendapat. Semuanya harus
berdasarkan kebebasan.
Kebebasan atau kemerdekaan
menghiasi langit politik dengan jargon anggunnya “pemerintahan yang baik adalah
pemerintahan yang paling sedikit memerintah”. Sebuah ungkapan fantastis dari
satu pihak dalam perseteruan ideologis waktu itu. Dan pihak itu adalah demokrasi
ala Thomas Jefferson, presiden Amerika kala itu.
Demokrasi lahir dari
ketidakpuasan solusi yang diajukan oleh Naziisme Adolf Hitler di Jerman,
Fasisme Benito Mussolini di Italia dan Komunisme Karl Marx di Soviet. Dimana
kita tahu bahwa ketiga seteru dari Jeffersen memilki satu wajah, yakni wajah
anti-kebebasan atau totaliterisme.
Pada perkembangannya,
totaliterisme tidak mendapatkan tempat di dunia ini. Dimulai dengan perang
dunia kedua, setelah itu negara di dunia hanya diwakili oleh demokrasi. Cerita
ini seperti alur yang banyak ditampilkan dalam film superhero. Demokrasi
sebagai pemenang membius warga dunia dengan kebebasannya.
Kebebasan diwartakan dengan
sesuatu yang sangat agung. Amerika dengan pengalaman hidup kegelapan dan
keterbelakangan bersaksi bahwa hanya dengan kebebasan-lah dunia bisa sejahtera.
Setidaknya Amerika bercerita tentang lentera di tahun 1776, Declaration of Independence:
Bahwa sesungguhnya kebenaran-kebenaran ini tidak perlu dipersoalkan lagi, yaitu bahwa setiap manusia diciptakan sederajat. Bahwa mereka dikaruniai oleh sang pencipta hak-hak tertentu yang tidak dapat dipisahkan dari mereka. Bahwa diantara hak-hak tersebut ialah hak untuk hidup, hak untuk merdeka, dan hak untuk mengejar kebahagiaan. Bahwa untuk menjamin hak-hak ini, dibentuklah pemerintah-pemerintah di kalangan umat manusia, yang memperoleh persetujuan dari rakyat yang diperintah.”
Warga Amerika memandang bahwa
hanya dengan mendirikan negara-lah kebebasan tersebut akan terjamin. Dan bahwa
pemerintah diangkat karena dia dipercaya sebagai pengemban amanat untuk
menjamin karunia dari sang pencipta. Yakni bahwa setia manusia adalah sederajat.
Dan setiap manusia mempunyai hak yang sama.
Walah, berat juga tugas yang
harus dipikul oleh pemerintah. Karena pada hakikatnya, tugas tersebut adalah
misi profetik. Hanya orang-orang
tertentu saja yang mampu melaksanakannya. Tugas yang biasanya diemban oleh
dewa-dewa pada zaman Yunani. Juga yang pernah dipikul dengan alim oleh para
nabi kaum Semit.
Beratnya tugas tersebut disadari
betul, termasuk oleh masyarakat di Perancis. J.J. Rousseau, kiblat pemikiran
politik Perancis dengan tegas tidak percaya pada demokrasi. Menurut dia ada
tiga alasan mengapa demikian. Pertama, pemimpin yang terpilih harus hanya satu
kehendak, kehendak umum. Kedua, pejabat legislatif, eksekuti dan yudikatif
adalah sekumpulan makhluk moral, jadi mereka bertanggung jawab terhadap Tuhan.
Ketiga, beban sosial rakyat makin rendah.
Keraguan itu pula yang muncul di
negara kita dalam dekade terakhir ini. Keraguan tersebut semakin menggurita.
Tak salah memang, karena dari awal negara ini dibentuk, kebebasan hanya dipahami
sebagai meniru gaya Amerika. Akibatnya, segala kebebasan yang berasal dari
negeri Paman Sam tersebut dipastikan laku di Indonesia. Termasuk demokrasi
liberal dan pakaian you can see.
Mencontoh tidaklah salah, tapi
meniru tidaklah lebih dari kekerdilan budaya. Adakah jawaban yang cerdas dari
pertanyaan kecil “kita ini maunya apa?”. Adakah tujuan-tujuan utama dalam hidup
kita sebagai bangsa?. Setidaknya ini adalah asumsi, jika manusia di dengan
latar masalah yang unik mempunyai kesadaran yang berbeda. Dan kesadaran yang
berbeda, tentunya akan melahirkan konsep solusi yang berbeda pula.
Dalam kemelut masalahnya sendiri,
bangsa indonesia setidaknya mempunyai solusi sendiri. Bukan menjiplak, ataupun
menyontek. Toh, kesadaran tidak bisa ditiru karena dia ada dalam alam ideal
manusia. jadi selama ini kita meniru apa? Kita meniru gaya-nya saja. Gaya orang
terjajah menampilkan kebebasannya.
Demokrasi yang berasaskan
kebebasan, seruan dari Amerika tidaklah salah. Bahkan dibanding dengan sistem
yang lain, demokrasi adalah yang terbaik. Untuk saat ini dialah jagonya sistem
negara. Tapi, sebagai peniru, ada kealpaan dalam proses transformasi tersebut.
Kita lupa menyadari bahwa kebebasan yang diserukan mempunyai akar unik Amerika.
Juga demokrasi sebagai pengejawantahan asas kebebasan juga unik Amerika. Setiap konsep solusi dan
pelaksanaannya selalu erat kaitannya dengan cara berbudaya bangsanya. Karena budaya dimaknai
secara ringan dengan cara manusia menyelesaikan masalah hidupnya.
Maka sebagai bangsa Indonesia yang unik ini, sudahkah
kita menemukan kemerdekaan, kebebasan dan demokrasinya
sendiri? Sudahkah bangsa Indonesia berdemokrasi dengan sebenar-benarnya? Berdemokrasi untuk menyelesaikan masalah hidup bangsanya? Berdemokrasi untuk kesejahteraan rakyat? Berdemokrasi untuk menegakkan keadilan? Ataukah kita baru sebatas berdemokrasi-demokrasian? Demokrasi gaya-gayaan? Demokrasi yang hadir di mulut tapi alpa di hati? Demokrasi yang hanya diamalkan untuk demokrasi? Bukan untuk rakyat? Atau bagaimana?
Comments
Post a Comment